Judul Buku: Enzo–The Art of Racing in the Rain
Pengarang: Garth Stein (2008)
Penerjemah: Ary Nilandari
Tebal: 408 hlm; 13 x 20,5 cm
Cetakan: 1, April 2009
Penerbit: Serambi
Di Mongolia ketika seekor anjing mati, ia dikuburkan di atas bukit. Ekornya dipotong dan diletakkan di bawah kepalanya. Seiris daging atau lemak dimasukkan ke dalam mulutnya sebagai bekal agar rohnya bertahan dalam perjalanannya. Sebelum mengalami reinkarnasi, roh anjing itu bebas menjelajahi bumi, berlari melintasi gurun selama yang ia mau. Itulah yang disaksikan Enzo dalam sebuah tayangan National Geographic, sebuah film dokumenter yang dibuat di Mongolia.
Tidak semua anjing akan terlahir kembali sebagai manusia. Hanya yang sudah siap. Pada usia yang ke-10 -menurut tahun kalender, Enzo sudah tua, sakit-sakitan, dan merasa siap untuk reinkarnasi. Ia telah belajar cara manusia berjalan, telah belajar menjadi pendengar yang baik, dan mengunyah makanan secara perlahan layaknya manusia. Ia tahu Denny Swift, majikannya, menyayanginya dan akan tetap berusaha mempertahankan hidupnya. Tapi, ia tidak ingin hidup lebih lama lagi. Tentu saja ia juga menyayangi Denny, namun memiliki lidah kecil untuk merangkai kalimat telah menjadi obsesi Enzo. Meski untuk itu, ia harus membayar dengan hilangnya semua yang pernah ia punya: kenangan dan pengalaman yang ia alami bersama keluarga Denny.
Menjelang ajal, di atas ubin dapur yang dingin, menyaksikan Denny Swift memanggang panekuk –yang tidak bisa lagi dia nikmati, Enzo mengenang kembali perjalanan hidupnya dengan Denny.
Denny membawanya pergi dari tempat kelahirannya, ketika berusia 12 minggu. Kelak, Denny mengatakan padanya bahwa pertama kali melihatnya, Denny tahu mereka telah ditakdirkan untuk bersama. Selama satu tahun pertama, mereka menjalin rasa sayang mendalam dan rasa saling percaya satu sama lain. Hingga Eve masuk ke dalam kehidupan Denny, membuat Enzo cemburu.
"Hati-hati sekali. Seperti ada telur di atas pedalmu, dan kau tidak ingin memecahkannya. Begitulah cara mengemudi dalam hujan," demikian kata Denny kepada Enzo (hlm. 23). "Pengemudi mobil takut hujan. Hujan memperbesar kesalahanmu dan air di jalur bisa membuat mobil bergerak tak terduga. Ketika sesuatu yang tidak terduga terjadi padamu, kau harus segera bereaksi; jika kau bereaksi dalam kecepatan tinggi, kau akan selalu bereaksi terlambat. Jadi sudah semestinya kau takut." (hlm. 59). Bagaikan pengemudi di jalur balap, bagi Enzo, Eve adalah hujannya, unsur tak terduga, ketakutannya. "Namun, seorang pembalap tidak boleh takut hujan, seorang pembalap seharusnya merangkul hujan" (hlm. 63). Maka, Enzo berupaya menjalin persahabatan dengan Eve. Apalagi setelah Eve melahirkan Zoë dan meminta Enzo untuk melindungi anak perempuannya itu. Bahkan suatu hari, Eve juga mencegah Denny menyakiti Enzo kala sesuatu yang menakutkan terjadi dan Enzo dipandang bersalah. Lambat laun Enzo merasa, bersama keluarga Swift, ia pun memiliki sebuah keluarga. Oleh sebab itu, kematian Eve membuatnya sangat terpukul.
Enzo sadar, penyakit yang merenggut nyawa Eve-lah yang menjadi pembuka kotak Pandora dalam hidup Denny. Setelah kematian Eve, Denny tidak hanya harus berjuang mempertahankan hak asuh anaknya, tetapi juga mesti menghadapi tuduhan pemerkosaan seorang remaja kenes. Sementara itu, Denny pun mengalami kesulitan finansial di tengah-tengah kewajiban membayar pengacara, menafkahi putrinya, dan merawat anjingnya yang sakit. Padahal bekerja di sebuah toko onderdil mobil dan sesekali menjadi guru mengemudi tidak cukup untuk menalangi semua pengeluaran.
Sebenarnya pekerjaan yang dijalani Denny bukanlah pekerjaan yang terbaik baginya. Sebagai fans terbesar dan pendukung paling setia karier Denny, Enzo yakin Denny sama hebat dengan Ayrton Senna. Enzo pernah menyaksikan aksi Senna pada Grand Prix Eropa tahun 1993 di TV. Ia juga telah menyaksikan rekaman video saat Denny mengikuti balap ketahanan di Portland. Baik Ayrton Senna maupun Denny Swift memiliki kecakapan mengemudi dalam guyuran hujan. Sayangnya, tidak ada yang tahu kemampuan Denny. Meskipun demikian, Enzo percaya, setelah semua masalah berlalu, setelah ia mengalami reinkarnasi, majikan tersayangnya akan menjadi pembalap profesional yang akan menjuarai Formula Satu. Sama seperti Ayrton Senna.
Kisah tentang Enzo dan keluarga Swift terdapat dalam novel bertajuk The Art of Racing in the Rain karya Garth Stein. Novel ketiga Stein setelah Raven Stole the Moon (1998) dan How Evan Broke His Head (2005) ini diedisi-indonesiakan oleh penerbit Serambi dengan judul Enzo. Dengan hasil terjemahan yang baik, pembaca akan dituntun mengikuti alur kisah yang dinarasikan oleh Enzo, seekor anjing keturunan labrador-terrier. Sekadar informasi, nama Enzo diambil dari nama pembalap Italia yang mendirikan tim balap Scuderia Ferrari, Enzo Anzelmo Ferrari (1898-1988).
Enzo adalah seekor anjing yang cerdas dan imajinatif. Ia belajar banyak dari Denny termasuk belajar mencintai balap, profesi yang menjadi pengejaran hidup Denny. Balap tidak hanya menjadi tontonan wajib Enzo di TV, tapi juga memberikannya pelajaran bahwa teknik-teknik di arena balap bisa membantu manusia menjalani kehidupan dengan baik. Selain Speed Channel yang menayangkan balap, Enzo juga menonton berbagai saluran TV seperti Discovery Channel, National Geographic, dan saluran yang memutar film-film yang dimainkan aktor-aktor favoritnya. (Secara berurut: Steve McQueen, Al Pacino, Paul Newman, George Clooney, Dustin Hoffman, dan Peter Falk).
Dalam keyakinannya untuk menjadi manusia, Enzo menantang Teori Evolusi Darwin yang dipelajarinya dari TV. Bagi Enzo, sebenarnya kerabat terdekat manusia bukanlah monyet, melainkan anjing. Enzo merasa perlu menyajikan bukti yang sesuai dengan teorinya (hlm. 31-32). Dengan bukti itu, Enzo makin yakin jika setelah mangkat, ia akan menjelma manusia.
Sempat Enzo berkhayal, ia akan diajari membaca dan mendapat sistem komputer yang sama dengan Stephen Hawking. Sehingga tanpa kemampuan seperti manusia, ia akan bisa menghasilkan buku yang hebat. Khayalan yang sama masuk dalam mimpinya ketika menanti putusan pengadilan majikannya (hlm. 381-385). Dengan cara berkomunikasi ala Stephen Hawking, Enzo bermimpi bisa membebaskan Denny dari pengadilan. Karenanya, apa yang tertulis pada sampul belakang novel sebenarnya keliru. Enzo sama sekali tidak, 'membebaskan majikannya dari pengadilan atas tuduhan pemerkosaan'.
Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan muncul di benak pembaca sebelum menyisir habis halaman novel adalah: apakah Enzo benar-benar menjelma manusia seperti keyakinan yang dipegangnya? Apakah Denny Swift sesuai harapan Enzo akan menjadi pembalap Formula Satu seperti Ayrton Senna? Kedua pertanyaan ini baru terjawab pada bagian pamungkas novel saat Enzo mengundurkan diri sebagai narator.
Tidak sedikit karya fiksi yang meriwayatkan hidup anjing. Tapi, tidak banyak novel yang mendapuk anjing sebagai narator. Salah satu dari yang tidak banyak itu adalah A Dog's Life karya Ann M. Martin (Gramedia, 2006) yang lebih dahulu terbit. Hanya, kisah dalam A Dog's Life berbeda dengan The Art Racing in the Rain. Jika A Dog's Life hanya berpusar pada kehidupan anjing dan karakter manusia sekadar pelengkap, The Art of Racing in the Rain mengangkat kehidupan anjing dan manusia sebagai sajian utama. Enzo sang narator tidak saja mengungkap kehidupannya sebagai anjing, tapi juga kehidupan dan konflik keluarga yang memeliharanya. Pengarang berhasil memanfaatkan Enzo untuk menggulirkan kisah racikannya yang memang tampil beda. Tampaknya pengarang sangat memahami anjing dan bisa memosisikan diri ke dalam pribadi si anjing. Di dalam kehidupan nyata, Stein memelihara seekor anjing bernama Comet. Pada masa kecilnya, keluarganya memelihara seekor anjing bernama Muggs. Jika Anda memperhatikan halaman dedikasi, Anda akan menemukan nama Muggs tercantum di sana.
2 comments:
mohon izin copy sebagian tulisannya :)
@gerobakbuku:
silahkan, dengan menyebut sumbernya, tentu saja. Thanks.
Post a Comment