Judul Buku: Inkheart
Diterjemahkan dari : Tintenherz (2003)
Pengarang: Cornelia Funke
Penerjemah: Dinyah Latuconsina
Tebal: 536 halaman; 15 x 23 cm
Cetakan: 1, Januari 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Inkheart merupakan perwujudan dari impian Cornelia Funke, penulis buku anak dan remaja paling terkenal di Jerman, untuk menulis cerita dengan karakter-karakter yang melompat ke dunia nyata dari halaman-halaman buku. Adalah Mortimer Folchart atau Mo, pecinta buku yang bekerja sebagai dokter buku (restorator buku); pasiennya adalah buku-buku yang rusak sampulnya atau yang halaman-halamannya terlepas. Selain itu, Mo adalah si Lidah Perak, suaranya yang indah tidak hanya memesona pendengarnya, namun juga mampu memukau para tokoh di dalam buku yang namanya ia lafalkan, untuk keluar ke dunia nyata.
Ketika
novel mulai bergulir, dikisahkan bahwa sembilan tahun sebelumnya, Mo
membacakan buku Tintenherz karya pengarang Fenoglio untuk Teresa,
istrinya. Capricorn, tokoh utama dalam buku tersebut, yang jahat dan
memiliki hati sehitam tinta, menyeruak ke dunia nyata. Ia melesat
keluar dari buku bersama anak buahnya, Basta, si pemain pisau yang
kejam. Secara simultan, Straubfinger, tokoh lain yang sebenarnya enggan
bermigrasi, ikut tersedot membawa Gwin, musang bertanduknya, dan
Teresa, istri Mo, menyelundup ke dalam buku. Demi menghindari para
tokoh fiksi yang menjelma darah dan daging itu, Mo meninggalkan rumah
dan berpindah-pindah tempat tinggal. Sayangnya, setelah sembilan tahun,
Straubfinger berhasil menemukan tempat persembunyiannya yang terakhir,
di mana Mo hidup bersama putrinya yang berusia 12 tahun, Meggie.
Memang, hanya Mo yang memiliki kemampuan untuk memulangkan Straubfinger
ke dalam dunianya, dan ia juga memiliki buku Tintenherz terakhir yang
bisa dilacak Straubfinger. Capricorn telah merampok semua eksemplar
Tintenherz yang beredar di pasaran atau yang dimiliki kolektor buku.
Berbeda
dengan Straubfinger, Capricorn membutuhkan Mo bukan untuk kembali ke
dunianya. Baginya kecakapan ajaib Mo akan membantunya merealisasikan
rencananya. Dengan suaranya yang fantastis, Mo akan menjarah harta dari
buku-buku yang berkisah tentang harta karun untuk membiayai kejahatan
Capricorn di dunia. Mo juga akan menggiring keluar sahabat Capricorn
dalam buku, yaitu sang Bayangan, makhluk imortal yang diciptakan
Capricorn dari abu orang-orang yang mati dibakarnya. Namun, tidak mudah
untuk memaksa Mo bekerja sama. Jalan satu-satunya yang terbuka untuk
memaksa Mo adalah meringkus Meggie dan membawanya ke kediaman
Capricorn. Yang tidak mereka semua sangka, bahkan juga oleh Meggie
sendiri, ternyata ia memiliki kemampuan ajaib yang sama dengan ayahnya.
Inkheart adalah
novel fantasi dengan daya pikat yang tidak gampang memudar. Oleh sang
pengarang, dunia buku yang selalu menggairahkan dijadikan mataair ide
yang sangat orisinil demi menghidupkan novel ini. Semua karakter
bertautan dengan buku: para penggila buku dan para tokoh di dalam buku.
Mo, si Lidah Ajaib, adalah penggila buku yang
menurunkan kegilaannya kepada Meggie, yang selalu membawa buku sebagai
bekal ketika harus bepergian. Tapi yang paling gila adalah Elinor
Loredan, salah satu pelanggan Mo yang adalah bibi dari istrinya (pada
halaman 40 disebut sebagai bibi Meggie). Perawan gaek ini tidak bisa
melepaskan diri dari ketamakannya akan berbagai buku dari seantero
dunia –baginya semua kolektor buku adalah perampas dan pemburu.
Kebanyakan uangnya dipakai membeli buku dan membuat Mo takut Elinor
tidak bimbang menjajakan jiwanya jika ada iblis yang bisa memberikan
buku yang ia dambakan. Ketimbang membayar biaya listrik yang
berlebihan, Elinor lebih suka membelanjakan uangnya untuk membeli buku.
Hampir semua kamar dalam rumahnya telah berkembang menjadi perpustakaan
dengan koleksi tak terhitung yang di antaranya akan membuat Elinor
membunuh agar tidak disentuh sembarang orang. Perpustakaannya
dilengkapi alarm yang sangat mahal sebagai bagian dari tindakan
proteksi buku-buku yang diperlakukan Elinor bagaikan anak-anaknya.
Ketika para tokoh antagonis menyambangi rumahnya, mengosongkan
perpustakaannya, dan membakar buku-bukunya yang paling berharga, dunia
Elinor bagaikan hangus binasa. Seperti katanya, "Di tempat buku dibakar, di sana manusia pun akan segera hangus binasa." (hlm. 174).
Kendati
bukan penggila buku, melainkan tokoh di dalam buku yang terpental
keluar dari labirin aksara, Straubfinger, si pemain akrobat api,
mungkin adalah tokoh signifikan yang paling menonjol. Pembaca akan
menaruh sayang padanya karena sampai novel berakhir, kerinduannya pada
'kampung halamannya' tidak kunjung terpuaskan. Namun memang, jika ia
dihalau pergi secepatnya dari 'dunia tinta', kemungkinan pesona novel
ini akan lekas meluntur.
Dalam
seting kontemporer, Cornelia juga meminjam karakter Kisah Seribu Satu
Malam yaitu Farid untuk menambah warna dalam ceritanya. Farid disedot
keluar dari negerinya kala Mo dipaksa menjarah harta karun dari buku
yang dibacanya. Terjalin relasi antara Farid dan tokoh-tokoh ciptaan
Cornelia lainnya yang membuatnya masih akan dijumpai dalam sekuel novel
ini.
Cerita
fantasi tentu saja tidak cukup hanya dengan menghadirkan deretan
karakter fantastis yang membuat pembaca termehek-mehek. Mereka juga
mesti dililit konflik yang menggugah. Seperti biasa, para protagonis
dipersulit, dan di dalam kesulitan itu mereka dipaksa berjuang
mempertahankan hidup dan bersitekad mengungguli konfrontasi. Inkheart
memiliki kecukupan konflik yang mencegahnya terpuruk menjadi sekadar
hidangan hambar.
Seperti
yang bisa dibaca dalam website-nya, sebetulnya Cornelia tidak
merencanakan sekuel, namun saking terpukaunya pada tokoh-tokoh
novelnya, ia pun memutuskan melanjutkan ceritanya. Maka, setelah
Inkheart, menyempurnakan kisah para penggila buku ini, menyusul Inkspell (Tintenblut), dan Inkdeath (Tintentod).
Kendati edisi Indonesia ini diterjemahkan langsung dari edisi Jerman,
untuk judul Gramedia melekatkan judul yang sama dengan edisi Inggris, Inkheart.
Penetapan judul ini kemungkinan besar dikarenakan pada bulan yang
sama, Januari 2009, film yang diadaptasi dari novel ini, beredar dengan
judul Inkheart. Keputusan yang laik mengingat penerjemahan judul Tintenherz ke dalam bahasa Indonesia akan melahirkan judul yang ganjil.
Rupanya,
sebagai penggila buku, sebagaimana yang tampak dari banyak kutipan
buku yang diimbuhkan mengawali bab baru, Cornelia Funke adalah penikmat
buku yang imajinatif. Saat membaca buku, ia pasti kerap membayangkan
tokoh-tokoh dalam buku mewujud dalam darah dan daging. Efek yang
mungkin hanya terbit jika buku yang dibaca ditulis dengan luar biasa.
Ya, sama halnya dengan Inkheart, yang memang ditulis dengan luar biasa, oleh pengarang yang bergelimang ketajiran imajinasi.
0 comments:
Post a Comment