Judul Buku: Entrok
Pengarang: Okky Madasari
Tebal: 288 hlm; 20 cm
Terbit: Cetakan 1, April 2010
Penerbit: Gramedia
"Anakku memang sudah mati. Ya, apakah masih hidup lagi ketika seseorang sudah menjadi PKI? Selama puluhan tahun, aku selalu berhati-hati menuruti apa pun yang diminta orang-orang yang punya kuasa hanya agar aku dan anak-cucuku tidak mendapat hukuman seperti ini. Tapi sekarang anak kandungku malah mendapat cap PKI. Duh, Gusti Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, karma atas apakah itu?" (Marni: 275-276).
Apa yang diratapi Marni berawal dari entrok, seperti judul dan gambar yang tampak pada sampul muka novel ini.
Singget, Magetan, 1950. Marni telah tumbuh menjadi perawan yang ditandai dengan mengalirnya haid dan tumbuhnya sepasang payudara di dadanya. Agar dadanya tidak nglawer-nglawer namun menyembul dengan indah, Marni membutuhkan entrok (bra atau BH). Sayangnya, Simbok tidak punya uang untuk beli entrok. Pekerjaan Simbok mengupas singkong di Pasar Ngranget hanya memberikan mereka makanan, dan bukan uang yang cukup dipakai membeli entrok. Entrok terlalu mewah, dan Marni tidak punya bapak yang bisa membanting tulang untuk mendapatkan uang.
Marni memutuskan untuk bekerja. Karena mengupas singkong tidak memberinya uang, ia terjun ke dalam pekerjaan laki-laki, yaitu menjadi kuli pasar. Setiap kali mengangkat barang, ia akan diupahi 1 Rupiah yang akan dikumpul membeli entrok. Setelah entrok terbeli, keinginan lain berkecamuk dalam hati Marni: punya uang banyak. Maka Marni membuka usaha bakulan setelah nyuwun (memohon) pada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa yang disembah Simbok. Usahanya berhasil. Dari menjual sayur dan bumbu masak, Marni menjadi penjual alat-alat rumah tangga seperti wajan, panci, dan ember. Rupanya Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa berkenan dengan pekerjaan Marni, maka Marni pun bakulan duit, membungakan uangnya kepada pedagang-pedagang pasar. Marni menjadi kaya, bisa membangun rumahnya, membeli sawah-sawah yang ditanami tebu, membeli kendaraan roda dua dan roda empat, membeli televisi yang pada masanya masih tergolong barang mewah.
Untuk memiliki uang yang banyak sebenarnya bukanlah hal yang mudah bagi Marni. Perubahan hidupnya dari perempuan miskin menjadi makmur selalu menjadi bulan-bulanan warga kampung. Marni disebut sebagai pendosa yang memberi sesajen pada setan, memelihara tuyul untuk mendapatkan uang, dan mencari pesugihan dengan menjanjikan tumbal.
Marni memang memberi sesajen kepada leluhur sebagai ungkapan terima kasih, namun ia percaya ia tidak berhak disebut pendosa karena itu. Ia tidak membunuh, mencuri, ataupun menipu orang.
Pak Waji guru SD Rahayu Ningsih, putri semata wayang Marni dengan suaminya Teja, yang sebenarnya berhutang banyak pada Marni menciptakan situasi yang mendorong Rahayu untuk memusuhi ibunya. Apalagi pengajaran Pak Waji telah membuat Rahayu percaya kepada apa yang dikenal sebagai Tuhan dan berdoa kepadanya lima kali sehari. Maka semakin bertambah usia, Rahayu semakin membuat jarak dengan ibunya. Apa saja yang dilakukan Marni yang tidak sesuai dengan agama samawi yang ia anut, mempertebal kebencian Rahayu pada agama leluhur ibunya. Mereka tidak pernah bisa memperbaiki hubungan hingga Rahayu meninggalkan Magetan untuk kuliah di Jogja.
Singget, Magetan, 15 Januari 1994. Rahayu telah kembali ke kampung halamannya, tanpa gelar sarjana, tanpa masa depan. Ia telah menjadi janda dari seorang pria yang berpoligami, masuk penjara gara-gara memperjuangkan warga yang menariknya masuk ke dalam kepercayaan seperti ibunya, dan sebagai korban penyiksaan dan pemerkosaan pria-pria berpakaian loreng. Tidak ada lagi semangat kehidupan dalam diri Rahayu karena untuk mencari pekerjaan saja susah karena tulisan khusus di KTP-nya yang membuatnya setara dengan PKI. Ketika ibunya menyodorkan calon suami, Rahayu tidak menampik. Hari ini, ia akan menikah dengan seorang tukang andong. Namun ternyata, tulisan di KTP Rahayu membuyarkan impian Marni ibunya yang dalam puncak putus asanya mengalami gangguan jiwa. Menyempurnakan penderitaan Marni yang telah ditinggal mati suaminya, yang kekayaannya telah dirampas pria-pria berpakaian loreng yang membawa pistol, yang telah ditindas hingga ke titik nadir oleh perkembangan zaman.
Singget, Magetan, Januari 1999, Rahayu memulai novel ini dalam prolog bertajuk Sebuah Kematian. Katanya, "Lima tahun aku menunggu hari ini datang. Pagi-pagi aku sudah mandi lalu berdandan. Hari ini aku akan lahir kembali. Aku akan kembali menjadi manusia yang punya jiwa. Tidak hanya raga kosong yang menunggu kematian"(hlm.11).
Entrok adalah novel perdana Okky Madasari, wartawan kelahiran Magetan (Jawa Timur) 30 Oktober 1984. Novel ini dikatakan lahir sebagai kegelisahan atas menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan di negara kita. Dan memang kedua hal inilah yang digambarkan dalam novel yang dinarasikan menggunakan perspektif orang pertama, Marni dan Rahayu, dalam delapan bagian yang terbentang antara tahun 1950-1999 ini.
Marni adalah perempuan Jawa yang tidak pernah mengenal Gusti Allah, dan ia hanya memuja leluhur sesuai cara yang diwariskan orangtuanya. Namun apa yang ia lakukan, berdoa kepada leluhur dan mempersembahkan sesajen berupa ayam panggang dan tumpeng dianggap berdosa oleh orang lain. Akibatnya, Marni harus berhadapan dengan tindakan sewenang-wenang masyarakat tempat ia tinggal dan oknum TNI yang menyeretnya tumbang dari singgasana kemakmuran. Sikap tidak toleran –yang menjurus pada kesewenang-wenangan- kepada kepercayaan tertentu juga digambarkan melalui sahabat Marni, lelaki Cina bernama Koh Cayadi. Untuk bisa hidup dan diterima di Indonesia, ia mengikuti salah satu agama samawi yang dibolehkan di Indonesia. Ketika ia pergi ke kelenteng ia dianggap melanggar peraturan dan mendapat peringatan yang harus dibayarnya dengan uang yang ia pakai sebagai modal usaha. Lalu, gara-gara menyumbang uang untuk latihan tari naga yang dimainkan tanpa sepengetahuannya ia harus menjadi buronan dan berakhir dengan nasib tidak jelas dalam penjara.
Rahayu tidak mengalami intoleransi kehidupan beragama karena ia memang menganut agama yang diakui di Indonesia. Namun ia turut merasakan tindakan sewenang-wenang yang diwakili pihak yang sama yang merampok harta ibunya. Padahal ia hanya memperjuangkan nasib tukang becak dan orang-orang yang dirampas tempat tinggalnya menggunakan bantuan tentara. Kehidupan idealisnya sebagai anak kampus berakhir dengan tulisan di KTP yang menggoyahkan semua sendi kehidupannya.
Ketidakadilan sosial mewarnai sekujur novel yang memberi efek menggetarkan hati ini. Dan ironisnya, hal ini dipantik oleh pemerintah yang mengakui bahwa negara ini berdiri di atas landasan Pancasila yang salah satu silanya berbunyi: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin sila itu diterapkan jika keadilan hanya bisa diperoleh lewat pertukaran materi? Yang tersisa hanyalah perasaan getir yang nyaris tidak berkesudahan.
Pak Tikno adalah gambaran tragis dari pelanggaran dasar tempat negara kita dibangun. Ia menjadikan kebun warisan leluhur yang hanya sepetak sebagai tempat mengais pencaharian. Demi supaya kampungnya ikut-ikutan punya gardu untuk pos keamanan, ia dipaksa menyerahkan kebunnya. Ketika ia menolak, ia dituduh PKI, diciduk dari rumah dan keluarganya, dipenjara dan hilang tak tentu rimbanya. Di kebun keluarganya didirikan gardu poskamling. Janji-janji pemerintah dalam kampanye pemilu untuk memberi ketenteraman bagi semua orang hanya menjadi pepesan kosong belaka.
Sebagai pengarang Okky bercerita dengan sederhana namun kuat. Ia memanfaatkan kata-kata yang tidak sulit dicerna, ia menghalau kemungkinan mempermolek ceritanya dengan metafora berbunga-bunga. Ia hadir bersahaja, namun meninggalkan parut yang susah hilang di benak pembacanya.
Pilihan Okky untuk tidak bermain di dunia chicklit atau teenlit patut dihargai. Bukan berarti kedua genre novel ini tidak bermanfaat, namun kenyataan membuktikan bahwa lebih sering memang tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya. Okky memilih menghamparkan keras dan jahatnya kehidupan ketimbang manis dan gurihnya percintaan romantis.
Pilihan yang mantap belum sepenuhnya diikuti Okky dengan penulisan yang teliti. Marni yang percaya pada kemampuan arwah leluhur untuk menolongnya memperbaiki kehidupan diceritakan memberi sesajen berupa tumpeng dan ayam panggang setiap hari kelahirannya (hlm. 56). Padahal sebelumnya (hlm. 15), melalui penuturan Marni sebagai narator, Okky menyatakan bahwa Marni tidak tahu kapan tepatnya ia dilahirkan. Sungguh kelengahan yang patut disayangi.
Apa yang ditulis Okky Madasari juga berakhir dengan entrok. Tidak semua orang bisa dengan gampang melepaskan entrok untuk melihat rahasia di baliknya.
0 comments:
Post a Comment