Judul Buku: The Magician's Elephant
Penulis: Kate DiCamillo (2009)
Penerjemah: Dini Pandia
Tebal: 152 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, September 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Peter mendorong orang-orang di sekelilingnya dan berhasil mendekati wajah si gajah. "Tolong," kata Peter, "kau tahu di mana adikku. Bisakah kau memberitahuku?" Lalu ia merasa tidak enak hati karena telah berbicara. Gajah itu kelihatan sangat lelah dan sedih. "Kumohon," Peter berbisik pada gajah itu, "bisakah kau, mungkinkah kau membuka matamu? Dapatkah kau menatapku?" Setelah lama sekali, gajah itu membuka mata dan memandang Peter langsung. Ia memandang Peter dengan tatapan tunggal, tajam, putus asa. Peter melupakan maksud kedatangannya, melupakan segala hal kecuali kebenaran mengerikan yang dilihatnya, apa yang dipahaminya dalam mata gajah itu. Sebaliknya bagi si gajah, untuk pertama kali sejak jatuh menerobos atap gedung opera, ia merasakan sesuatu yang mirip dengan harapan. "Jangan khawatir," Peter berbisik padanya, "akan kupastikan kau bisa pulang."
Cerita di atas adalah kutipan novel anak-anak bertajuk The Magician's Elephant karya Kate Di Camillo, pengarang fiksi anak-anak Amerika. Nama Kate sudah dikenal di Indonesia melalui novel-novel seperti Because of Winn-Dixie (2000), The Tiger Rising (2001), The Tale of Desperaux (2003), dan The Miraculous Journey of Edward Tulane
(2006). Semua yang disebut diterbitkan penerbit Gramedia. Pengarang
kelahiran 25 Maret 1964 ini telah memperoleh sejumlah penghargaan
termasuk Newbery Medal dan Newbery Honor. Penerbitan The Magician's Elephant
-serentak secara internasional pada 8 September 2009- sekali lagi
membuktikan kepedulian dan kecintaan sang pengarang pada binatang.
Setelah anjing, harimau, tikus, dan kelinci, kali ini –seperti dalam
judulnya, Kate menghadirkan gajah sebagai karakter signifikan.
Berlatar
kota imajiner Baltese, novel berhias ilustrasi karya Yoko Tanaka ini
berkisah tentang Peter Augustus Duchene, anak lelaki 10 tahun, yang
sedang mencari adik perempuannya, Adele, yang terpisah darinya. Menurut
Vilna Lutz, mantan tentara tua pelit yang mengasuh Peter dengan cara militer,
Adele sudah meninggal. Namun, suatu siang di musim dingin, sebelum
salju berguguran di kota Baltese, saat disuruh Lutz membeli ikan dan
roti, Peter melihat sebuah tenda peramal di pasar. Menggunakan uang
untuk membeli roti dan ikan itu, ia menanyakan nasib Adele kepada
peramal di tenda tersebut.
Menurut si peramal, Adele masih hidup. Gajah, demikian kata si peramal, kau harus mengikuti gajah, gajah betina itu akan membawamu ke sana.
Awalnya Peter merasa dipermainkan. Di Baltese tidak ada gajah, bahkan
binatang itu dianggap sebagai binatang khayalan. Si peramal mengatakan
bahwa: kebenaran selalu berubah. Akibatnya, Peter sendiri bingung. Siapa yang berkata benar? Vilna Lutz atau si peramal? Jawabannya akan segera datang.
Frederick,
penyihir berpengalaman namun dengan reputasi memudar, tengah
mengadakan pertunjukan sihir di sebuah gedung opera malam itu. Ia
berniat menampilkan pertunjukan sihir paling menakjubkan sepanjang
kariernya. Caranya dengan memunculkan bunga lili yang akan ia
persembahkan kepada Madam Bettine LaVaugh, bangsawan yang menyaksikan
pertunjukannya. Celakanya, sihir yang dikeluarkannya terlalu kuat.
Sihirnya tidak mendatangkan sebuket bunga lili, melainkan seekor gajah
betina yang dicabut dari habitatnya. Menerobos langit-langit gedung
opera, gajah itu jatuh di pangkuan Madam LaVaughn. Alhasil, kaki wanita
malang ini remuk dan ia harus menggunakan kursi roda. Frederick
dipenjara, sedangkan si gajah dirantai dan dikurung di istal kuda.
Kapten
polisi kota Baltese tidak bisa menemukan metode yang tepat untuk
menangani si gajah. Menurut Leo Matienne -polisi yang tinggal
separtemen dengan Peter- yang paling penting adalah mencari tahu dari
mana si gajah datang dan apa maksud kedatangannya di Baltese.
Beruntung, Countess Quintet membawa solusi. Perempuan yang kesal karena
kehadiran si gajah telah menghancurkan musim pergaulan orang-orang
elite, membawa si gajah ke rumahnya yang sangat mewah dan menempatkannya
di ruang dansa. Gajah itu menjadi miliknya. Menjadi haknya pula
membuka pintu rumah dan memberikan kesempatan penduduk Baltese menonton
si gajah secara gratis.
Peter
tidak ingin membuang kesempatan ini. Sebelum ibunya meninggal, Peter
telah berjanji akan menjaga adiknya. Ia berharap bisa mendapatkan
jawaban dari si gajah. Sayangnya, bukan mendapat jawaban, ia malah
jatuh iba kepada si gajah yang tampak merana merindukan habitatnya.
Untuk kedua kalinya, dalam sepuluh tahun kehidupannya, Peter membuat
lagi satu janji yang tidak gampang ditepati. Ia akan memastikan
kepulangan si gajah. Tetapi, bagaimana caranya? Apakah Frederick bisa
membatalkan sihir yang telah ia lakukan? Untuk Peter sendiri, apakah si
gajah benar-benar akan membawanya kepada Adele?
The Magician's Elephant
(Gajah Sang Penyihir) mengusung ide yang tidak sukar menjerat hati
pembaca. Ide tersebut dijabarkan cantik dalam perilaku dan aksi para
karakter. Ke dalam hati pembaca anak-anak, para karakter akan
memantulkan keberanian dan tekad yang kuat (Peter), kerelaan untuk
memaafkan sesama (Madame LaVaugh), dan kelembutan untuk mengasihi (Leo
dan Gloria Matienne). Seperti biasa, kendati tidak mengusung tema
konfrontasi kebaikan dan kebatilan, pengarang tetap memunculkan
karakter tidak simpatik, yaitu si mantan tentara Vilna Lutz. Dalam
dunia rekaan Kate DiCamillo, karakter ini tidak digiling habis-habisan
tetapi disayangi karena kelemahannya.
Penutup
membahagiakan sudah pasti menjadi pilihan terbaik bagi bacaan yang
ditargetkan untuk pembaca anak-anak. Kate DiCamillo menerapkannya untuk
menuntaskan kisah kasih Peter dan si Gajah. Setelah novel berakhir,
dipastikan tidak ada pembaca yang tidak dililit rasa haru.
Secara keseluruhan, The Magician's Elephant
tidak saja menawarkan rekreasi tetapi juga edukasi. Rekreasi untuk
kisahnya yang memikat, edukasi untuk pesan tentang keindahan dunia yang
dibangun dari harapan, kasih sayang, dan pengertian. Tidak dapat
disangkal lagi, pada waktunya, The Magician's Elephant akan menjadi salah satu novel fantasi klasik yang layak dibaca pembaca segala usia.
0 comments:
Post a Comment