Judul Buku: Pollyanna
Pengarang: Eleanor H. Porter (1913)
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Ilustrasi sampul: Ella Elviana
Tebal: 312 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Orange Books
Barangkali, Anda pernah membaca atau mendengarkan istilah "Pollyanna principle" atau juga disebut "Pollyannaism". Istilah ini menggambarkan kecenderungan manusia untuk bersikap positif pada kondisi yang normalnya akan disikapi secara negatif. Konsep ini muncul berdasarkan arketip Pollyanna, seorang gadis cilik dengan takaran besar optimisme yang mampu menulari orang-orang di sekitarnya.
Sesungguhnya, Pollyanna adalah judul sekaligus karakter utama novel anak-anak klasik karya Eleanor Hodgman Porter (1868-1920). Novel ini tercatat sebagai novel bestseller di Amerika Serikat dan telah diadaptasi menjadi film layar lebar, film TV, dan sandiwara. Disebut-sebut sebagai novel anak-anak paling populer sepanjang masa, sejak diterbitkan tahun 1913, "Pollyanna" telah puluhan kali dicetak ulang.
Dikisahkan, setelah kematian orangtuanya, Pollyanna Whittier (11 tahun) dikirim ke Beldingville, Vermont, untuk tinggal dengan bibinya, Miss Polly Harrington. Wanita separuh baya yang belum menikah ini dikenal sebagai salah satu warga kota paling makmur, dirumorkan betah melajang semenjak berpisah dengan kekasihnya. Kesukaannya pada ketenangan membuatnya kurang bersimpati dengan kedatangan Pollyanna.
Bagi Pollyanna, tinggal dengan seorang bibi yang kaya berarti akan mendapatkan kamar yang indah; penuh tirai, permadani, dan lukisan. Bayangannya langsung pudar begitu menginjak kamar yang disiapkan untuknya. Tidak ada tirai, permadani, lukisan, bahkan cermin. Kamarnya berukuran kecil, panas, dan saat jendelanya dibuka, menjadi target kunjungan lalat.
Sepeninggal ibunya, Pollyanna hidup bersama ayahnya, John Whittier, pendeta gereja kecil bergaji minim. Dalam kehidupan yang berkekurangan, sang pendeta melatih Pollyanna melakukan "Permainan Sukacita". Segala perkara yang tidak menyenangkan mesti disetir menjadi menyenangkan. Tidak heran, dalam keadaan berduka, Pollyanna muncul di rumah bibinya mengenakan baju merah. Tidak ada baju hitam di dalam kotak amal yang diandalkan Pollyanna. Beberapa orang di Ladies'Aid yang merawatnya sepeninggal ayahnya gagal membelikannya baju berwarna hitam. Uangnya dianggap lebih pantas digunakan membeli permadani merah untuk gereja.
Itulah sebabnya, ketika bayangannya tentang kamar yang cantik memudar, Pollyanna terdesak menjalankan "Permainan Sukacita". "... Aku senang di sini tidak ada cermin, sebab TIDAK ada kaca yang memperlihatkan bintik-bintik mukaku," katanya (hlm. 34). "Lihat... jauh di sana, pohon-pohon, rumah dan menara gereja yang indah itu, dan sungai berkilatan seperti perak. Pemandangan seperti itu membuat kita tidak butuh lukisan. Oh, kini aku senang dia memberikan kamar ini." (hlm. 35).
Sikap optimis Pollyanna rupanya berjangkit. Orang yang pertama kali terinfeksi adalah Nancy, pembantu Miss Polly, disusul si tukang kebun, Thomas Durgin. Tidak hanya mereka yang terdorong memainkan permainan sukacita. Satu demi satu orang yang berjumpa dengan Pollyanna merasakan sisi positif permainan itu. John Pendleton, pria judes kesepian dan bertahun-tahun tidak bicara dengan orang lain kecuali terpaksa. Mrs. Snow, wanita tua lumpuh dengan putrinya, Milly, yang kelabakan menyikapi tingkah konyol ibunya. Dokter Chilton, pria ramah kesepian, tidak menikah, merindukan sentuhan wanita dan kehadiran seorang anak. Paul Ford, pendeta yang terpukul menyaksikan kondisi jemaatnya yang terpuruk. Belakangan, muncul nama-nama seperti Mrs. Benton, wanita yang selalu mengenakan busana hitam; Mrs. Tarbell si sakit yang berduka; Mrs. Tom Payson yang hampir bercerai. Juga Jimmy Bean, anak yatim piatu, yang mendambakan kehidupan yang lebih baik.
Satu yang diidamkan Pollyanna adalah Miss Polly dapat memainkan "Permainan Sukacita". Tidak mudah, tentu saja, karena Miss Polly tidak suka nama ayah Pollyanna disebut-sebut di rumahnya. Padahal, berbicara soal "Permainan Sukacita" selalu akan menyangkut Pendeta John Whittier. Miss Polly baru tahu perihal permainan keponakannya setelah secara tiba-tiba Pollyanna mengalami kecelakaan dan terancam lumpuh seumur hidup.
Sangat jelas bahwa dalam novel ini Eleanor H. Porter menyisipkan berita spesial: hidup bisa dinikmati jika kita mampu memetik kegembiraan dari setiap hal tidak mengenakkan yang kita alami. Beritanya sukses menjamah hati banyak pembaca. Karakter gadis sukacita yang dilahirkannya memunculkan gagasan papan permainan "The Glad Game" dan "Glad Clubs". Bahkan, seolah tidak ingin semangat Pollyanna meredup, kisahnya berkembang. Selama hidupnya, Eleanor hanya menulis dua buku tentang Pollyanna. Dua tahun setelah buku pertama diterbitkan, Pollyana dihadirkan kembali dalam novel "Pollyanna Grows Up". Namun, setelah ia mangkat, kisah Pollyanna berbiak menjadi serial berjuluk "Glad Books". Tercatat nama Harriet Lummis Smith, Elizabeth Borton, Margaret Chalmers, Virginia Moffitt dan Colleen Reece sebagai penulis. Saat ini, setiap musim panas, Littleton, New Hampshire, tempat kelahiran Eleanor, menjadi tuan rumah festival "The Official Pollyanna Glad Day".
Pollyannaism dipakai untuk menjabarkan sikap positif bias, seakan-akan optimisme Pollyanna -dalam novel- adalah optimisme berlebihan. Padahal, Eleanor tidak bermaksud demikian. Pollyanna-nya memang memainkan "Permainan Sukacita" sebagai tindakan preventif terhadap rasa kecewa. Namun Pollyanna sendiri meyakini terkadang ada hal yang terlalu sukar dijadikan materi "Permainan Sukacita". Pemakaman sepupu Miss Polly dan kematian ayahnya, misalnya. Atau saat ia sendiri mengalami kecelakaan dan terancam lumpuh. "... kalau tak bisa jalan... bagaimana bisa aku BERSUKACITA?" tangisnya (hlm. 254).
0 comments:
Post a Comment