Judul Buku: Aggelos
Pengarang: Harry K. Peterson
Penyunting: Nuraini Mastura
Desain sampul: Kebun Angan
Tebal: 515 hlm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Mizan Fantasi
Malaikat (Yunani: Aggelos) yang menjelma menjadi manusia bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia fiksi. Harry K. Peterson, pengarang usia muda, mengusung tema ini dalam novelnya yang bertajuk Aggelos. Kata sahibulhikayat, sebuah kotak musik dicuri dari altarnya di Surga. Salah satu malaikat bertekad tidak membiarkan pencurinya meloloskan diri. Ia hampir berhasil ketika sebuah anak panah menembus jantungnya. Si malaikat terjerumus ke bumi bersama kotak musik yang jatuh dari tangan si pencuri.
Syahdan,
malaikat yang jatuh ke bumi itu menjelma sebagai remaja pria bernama
Slaven Dulton. Ia bersekolah di Te Anau International College, Selandia
Baru, dan menjadi buah bibir di kalangan anak
gadis. Slaven tertarik pada Viola Mondru, balerina yang kerap
mengajaknya bersilat lidah. Viola sedang mencari pengiring pribadi agar
bisa mengikuti kontes balet yang akan diadakan di Celeste Pons, tempat
berkumpul para balerina di Selandia Baru. Saat hampir putus asa, Viola
mendengarkan permainan biola Slaven yang amat memukau. Slaven bisa
memainkan musik yang pernah didengar Viola dari sebuah kotak musik,
yang ia yakini, dalam mimpi.
Menjadi
balerina yang bisa menari di tempat yang menjadi saksi percintaan Mary
dan James, pasangan penari yang dikaguminya, sudah merupakan obsesi
Viola. Tahun sebelumnya ia gagal mengikuti kontes karena kakinya
terkilir. Padahal demi Celeste Pons, Viola rela membuang kesempatan
pindah ke Paris bersama orangtuanya. Keputusan Slaven untuk mau
mengiringnya disambut Viola dengan antusias. Satu hal yang
membingungkannya, Slaven mengindikasikan ketidaksukaannya pada Daniel
Scoot, kekasih Viola. Tidak jadi masalah bagi Viola, yang penting ia
bisa mengikuti kontes balet. Namun, berdekatan dengan Slaven dan
menikmati kepeduliannya yang sinis tak urung membuai Viola. Tanpa bisa
dicegah, ia jatuh cinta dan ternyata mendapatkan balasan setimpal.
Perasaan mereka mungkin tidak menjadi persoalan kalau Slaven Dulton
manusia biasa.
Di
bumi yang oleh penghuni Surga disebut Dyfed, Slaven yang kehilangan
ingatan tengah mengemban misi penting. Ia mesti menemukan Jovett –nama
kotak musik, yang hilang dan bersaing dengan Zuiver, malaikat sesat
yang juga menginginkan Jovett. Jika ia kalah dan Zuiver mendapatkan
Jovett, tidak terelakkan lagi, malapetaka
gigantis akan terjadi. Sebenarnya Cupid alias Elsker telah berusaha
menggusah Zuiver dengan melontarkan sepasang anak panah bertuah.
Sayangnya llyr-nya meleset; satu menembus jantung Slaven yang lain
menghunjam jantung Viola. Kegagalan Cupid tidak saja menghilangkan
Jovett, tetapi juga mendatangkan masalah monumental. Slaven dan Viola
terbuhul cinta terlarang, padahal Aggelos tidak mungkin menjalin cinta dengan Dyfed.
Pertanyaan
yang akan mengeriap di benak pembaca adalah yang manakah Zuiver di
antara karakter-karakter yang bertebaran? Mungkinkah si tampan Signore
Vecchia, guru seni baru, yang melarang hubungan Viola dan Slaven?
Ataukah salah satu anak muda yang bersekolah bersama-sama Viola dan
Slaven di Te Anau International College? Tampaknya pengarang
mengandalkan resep klasik yang tidak pernah usang: si jahat biasanya
paling pintar memalsukan penampilan.
Aggelos
adalah novel perdana Harry K. Peterson. Berseting Te Anau, kota kecil
cantik di Selandia Baru, di mana Suku Maori memegang keyakinan sebagai
keturunan dari hasil percintaan terlarang Dewa Langit dan Dewi Bumi,
pengarang menggelontor kisah fantasi yang menginternasional. Dengan
menenun bersama-sama unsur mitologi, keagamaan dan seni, ia berhasil
menghasilkan cerita bermodal kekuatan imajinasi yang memesona kendati
tidak tergolong baru. Masih ditemukan kalimat-kalimat yang menuntut
penyiangan agar tampil lebih bersih dan mengilap. Namun harus diakui
bahwa sesungguhnya Harry cukup terampil dalam segi permainan kata.
Keunggulan Harry yang lain tampak dalam menghadirkan dialog. Lebih
banyak mengandalkan bahasa Indonesia yang baik, tetapi kelenturannya
terjaga, dialog-dialog tetap tampil segar dan berbobot. Dari seluruh
aspek penulisan, penetasan gagasan, dan pemetaan konflik yang memadai,
kita bisa berharap pengarang yang satu ini akan menelurkan novel berikut
yang tidak kalah seru. Dalam buku ini, disebutkan, ia sedang menulis
sekuel Aggelos.
Kemahiran
Harry membangun latar belakang karakter patut disanjung. Ia
mendedahkan Surga sebagai wilayah yang diatur hierarki, ada Eligos
dengan para malaikat yang memiliki fungsi khusus. Dalam dunia
Kristiani, misalnya, Tuhan dipercaya memiliki banyak malaikat. Ada
serafim bersayap enam, kerubim yang mengawal tabut perjanjian, ada juga
penghulu malaikat seperti Gabriel dan Mikhael. Lucifer yang
memberontak adalah malaikat pemimpin pujian yang berdiri di dekat arasy.
Di sini, Harry menciptakan dua kategori malaikat, Sprixie dan Quierro
(mungkin dalam sekuel akan dimunculkan kategori anyar). Slaven Dulton
termasuk golongan Quierro, malaikat tingkat dasar, tidak punya status
dan kekuatan serta tidak bisa terbang. Golongan Sprixie yang arasnya di
atas Quierro bisa terbang, memiliki kekuatan dan pelbagai kemampuan
seperti main musik dan memprediksi masa depan. Tidak mengherankan yang
menjadi pemimpin pujian atau Orpheus adalah malaikat golongan Sprixie.
Antagonis dalam novel, Zuiver, adalah salah satu Sprixie. Pengarang
memiliki alasan kuat sewaktu menggambarkan Slaven dari kategori Quierro
bisa terbang dan bermain biola: berada di bumi, Slaven mengalami
transformasi, dari Quierro menjadi Sprixie. Sebagai pelengkap, Harry
meminjam Cupid dari mitologi Yunani. Sosok bayi bersayap yang membawa
panah ini menjadi salah satu karakter penting.
Keterbiasaan
pengarang dengan dunia anak muda yang didedahkannya dalam novel
membuat cerita memiliki bonafiditas yang tinggi. Ia, misalnya, tanpa
keraguan mengurai pengetahuan tentang balet dengan mengimbuhkan istilah
balet dalam narasi. Namun yang paling mengesankan adalah
keberhasilannya berkisah menggunakan sudut pandang orang pertama
melalui Viola, seorang remaja putri. Kendati lelaki, ia bisa menampakkan
kedalaman penjiwaan karakter Viola. (Maafkan saya karena sempat
mengira Harry K. Peterson hanyalah pseudonim seorang pengarang
perempuan).
Penggunaan
perspektif orang pertama, bagaimanapun, memiliki keterbatasan.
Mungkin, sesekali pengarang perlu mengalihkan cerita ke perspektif
orang ketiga, seperti ketika ia menceritakan pertarungan kedua Sprixie
dalam memperebutkan Jovett (bab 23). Saya percaya, pertarungan dengan
porsi sedikit lebih banyak –tidak sampai berlebihan- akan membuat novel
ini lebih bersinar.
0 comments:
Post a Comment