Judul buku: Mencari Tepi Langit
Pengarang: Fauzan Mukrim
Tebal: viii + 284 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2010
Penerbit: GagasMedia
Pengalaman hidup dan pekerjaan bisa menjadi sumber penulisan karya fiksi. Tidak disangsikan lagi, hasilnya akan menampilkan karakterisasi dan latar yang terpercaya. Fauzan Mukrim mengangkat pengalaman hidup dan pekerjaannya sebagai wartawan televisi dalam sebuah novel bertajuk Mencari Tepi Langit. Seperti yang diinformasikan pada bagian 'Tentang Penulis', pria kelahiran Watampone -Sulawesi Selatan- ini pernah menjadi camera person program petualangan Jelajah di Trans TV, kemudian belakangan menjadi Asisten Produser program berita Reportase Pagi dan Safara di televisi yang sama.
Mencari Tepi Langit dimulai dari kehidupan seorang gadis bernama Horizon Santi. Pada ulang tahunnya yang ke-22, ia menerima email dari seseorang yang menamakan dirinya Tepi Langit. Surat elektronik itu menggiring pada penyingkapan jika orangtua yang dikenalnya bukanlah orangtua kandung. Merasa tidak pantas menghuni rumah keluarga Bahtiar Johan, Santi hengkang dengan alasan mencari orangtuanya. Kabar pamungkas yang ia peroleh, orangtuanya berada di Makassar. Tentu saja, jalan pintas yang paling tepat adalah Tepi Langit, sehingga Santi ingin mencari tahu identitasnya.
Sembari bekerja sebagai petugas cleaning service pesawat terbang di bandara, Santi mencari orang yang bisa menolongnya menemukan orangtuanya. Nama yang ia temukan di dunia maya adalah Senja Utama Senantiasa, lelaki asal Watampone yang bekerja sebagai wartawan sebuah TV swasta.
Kesibukan kerja yang kerap membuatnya meninggalkan Jakarta tidak mempermulus niat mulia Senja menolong Santi. Di sisi lain, pria yang terobsesi bertemu Noordin Mohammad Top (NMT) ini juga sedang melacak keberadaan adiknya Tisong, dan sahabatnya, Ari.
Saat kisah berbiak, Senja bisa mengetahui nasib Tisong dan Ari. Keduanya bergabung dalam kelompok teroris yang meledakkan bom di berbagai tempat di Indonesia –namun tidak ingin disebut teroris. Bahkan, dalam suatu pertemuan tak terduga, Ari menawari Senja sebuah 'gambar' bagus, yang tidak lain adalah peledakan bom yang direncanakan mereka yang menyatakan telah menerima 'pinangan bidadari'.
Lebih dari setahun sejak mendengar permintaan Santi, Senja belum mendapatkan akses informasi menuju orangtua Santi. Sampai akhirnya pada akhir 2004, Aceh digoncang kedahsyatan gempa. Di Calang, salah satu tempat yang mengalami kerusakan parah, Senja berjumpa seorang wartawan yang sudah lama bertugas di Aceh. Wartawan yang masih muda itu mengingatkan Senja pada ungkapan Bugis kuno yang berkata: Hanya satu jalan yang tak bisa kau tempuh, hanya tepian langit! Ia adalah Wiring Bittarae yang menyimpan kunci pintu pencarian Santi.
Mencari Tepi Langit mungkin merupakan novel pertama yang mengisahkan pelaku dunia jurnalisme televisi. Ochan –panggilan Fauzan Mukrim- menggambarkan bahwa kehidupan para wartawan televisi sesungguhnya sekadar disemangati keinginan mengabarkan sesuatu apa adanya. Meskipun begitu, ia tidak mengingkari munculnya kecurigaan akan kegemaran mereka pada musibah seperti perang atau bencana alam. Ia bahkan menyodorkan kegegabahan seorang wartawan TV swasta yang minta seorang tawanan GAM ditembak untuk mendapatkan gambar cantik. Secara jujur, Ochan juga menyampaikan bahwa berada di lokasi konflik atau bencana menjadi kemewahan bagi wartawan. Ya, bayangkan saja jika bisa memiliki liputan eksklusif yang tidak sembarang wartawan bisa miliki. Dari dunia wartawan yang disebutkan tak terpengaruh SARA, Ochan juga mengungkap sebenarnya ada juga wartawan yang berubah pengecut manakala hendak dikirim ke lokasi konflik atau bencana alam.
Merespons pertanyaan yang mengemuka di tengah masyarakat ikhwal TV yang sering menayangkan berita kriminal, penulis yang pernah menyumbang cerpen dalam antologi Saya Halimah dari Pidie dan Kupu-Kupu dalam Kotak Kaca ini menyodorkan jawaban melalui Senja. Ternyata, menurut Nielsen, penonton Indonesia menyukai berita semacam itu sehingga menghasilkan rating yang tinggi. Tidak jauh berbeda dengan infotainment yang makin marak. "Gila itu! Makin nggak jelas penonton maunya apa. Mereka suka melihat orang lain menderita, kawin cerai, kena narkoba, atau apalah." (hlm. 125). Secara tegas, Ochan menyatakan gejala tersebut sebagai voyeurism: mendapatkan kesenangan dengan mengintip wilayah orang lain, tapi tidak mau terlibat.
Mungkin karena bekerja di dunia pencari berita, pengetahuan Ochan melimpah. Saat ia menyinggung suatu hal, dengan segera ceritanya akan berbiak. Dengan murah hati ia akan menyuguhkan latar belakang. Seperti yang ia lakukan seputar Miyabi, Syekh Yusuf, KRI yang ditumpangi Senja ke Aceh, ataupun waria di Karebosi. Pembaca mendapatkan tambahan 'pengetahuan', tanpa sempat merasa jenuh.
Yang tak terabaikan pula adalah orang-orang yang ditemui Senja, nyata atau fiktif. Nur El Ibrahimi yang punya kisah jarum suntik yang ditinggalkan patah di lengan Daud Beureuh, pemimpin DI/TII. Inaq Rohani, perempuan Lombok yang menggigit tetangganya sampai mati. Briani Hasrawati, supervisor awak kabin maskapai penerbangan yang bertugas saat seorang aktivis HAM tewas. Atau Asrari Khudi, yang mengungkap skenario kepolisian dalam proyek pemberantasan terorisme di Indonesia.
"Aku bawa banyak cerita untukmu. Cukup untuk jadi satu buku," demikianlah yang disampaikan tokoh lelaki pada seorang gadis di bagian Prolog. Jadi, novel Mencari Tepi Langit tidak lain adalah cerita yang disampaikan si lelaki. Kisahnya sendiri akan menjadi pembuka setiap bagian. Karenanya, sewaktu cerita sekonyong-konyong berpindah ke perspektif orang pertama, kita menyadari itulah saatnya si lelaki sedang berceloteh pada si gadis. Misalnya waktu pengarang mendaftar ledakan bom (bab 13), kisah Fientje de Feniks, Syekh Yusuf, atau menyusupkan nama Artalyta Suryani (hlm. 93).
Mengapa Mencari Tepi Langit tetap enak dibaca kendati disarati atraksi pengetahuan sang pengarang, agaknya dikarenakan keandalan Ochan menjalin kata. Novel diraciknya dengan bahasa yang mudah dicerna, terlihat lincah di sana-sini, tak pernah gagal menaburkan kejenakaan dalam jalinan kata. Kemahiran Ochan menerbitkan senyuman tampak dalam kalimat-kalimat seperti: "Bu Frida bukan tipe ibu-ibu bermaskara tebal dan berambut disasak tinggi seperti di sinetron konyol yang selalu menor ketika makan dan tidur sekalipun" (hlm. 21). "Senja semakin mengutuki dirinya. Rasanya seperti Clark Kent yang ketahuan menyimpan rasa terhadap Lois Lane. Dan Lois lebih mencintai Superman, bukan Clark Kent." (hlm.98). "Itulah untungnya menjadi lelaki. Engkau selalu dibekali antena gaib untuk menangkap sinyal-sinyal tak terduga. Psikolog karbitan menyebutnya dengan istilah dua huruf. GR." (hlm.123). Atau, "Adakalanya seseorang laki-laki memang perlu menjadi androgini. Laki-laki yang menangis. Itulah Senja." (hlm. 221).
Small world phenomen, istilah yang disinggung dalam novel, seolah merupakan pembelaan diri pengarang atas tudingan yang mungkin mampir. Bahwa ia mengandalkan kebetulan pada bagian penting novel. Sebuah usaha yang cerdik sebenarnya, kendati tetap mesti disampaikan kalau Mencari Tepi Langit bukanlah satu-satunya novel yang memegang teguh faktor kebetulan.
0 comments:
Post a Comment