12 February 2012

Tuhan Jangan Pisahkan Kami




Judul Buku: Tuhan Jangan Pisahkan Kami
Pengarang: Damien Dematra
Tebal: 238 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Januari 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Sebagai penghargaan atas perjuangan para penderita lupus yang dikenalnya, Damien Dematra menulis novel yang diberi judul Tuhan Jangan Pisahkan Kami. Ia mempersembahkan novel ini kepada Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia, dan semua odapus (orang yang hidup dengan lupus) di Indonesia. Harapan mulia Damien karyanya ini bisa mengangkat kesadaran masyarakat tentang penyakit lupus sekaligus memberikan semangat pada penderitanya untuk meyakini bahwa lupus bukanlah akhir dari kehidupan. Menurut pengakuannya, ia tersentuh dan terinspirasi oleh cinta seorang teman kepada istrinya yang meninggal setelah berjuang melawan lupus. Dalam proses kreatifnya, setelah riset selama satu bulan, novel ini bisa diselesaikan dalam waktu empat hari pada akhir tahun 2009, sekaligus dengan skenario filmnya. Wow!

Tanpa asmara, kisah (fiksi) perjuangan melawan penyakit apa pun tidak akan menarik untuk disimak. Maka Damien menciptakan kisah asmara seorang gadis penderita lupus dengan seorang pria –yang bukan pria biasa. Sang pria bernama Zahir Amara, berasal dari keluarga kaya tapi tidak akur. Latar belakangnya sebagai anak keluarga kaya dan arsitek lulusan New York membuat Zahir menjadi incaran banyak wanita. Mereka tidak tahu, Zahir tidak pernah merasa bahagia terlahir sebagai anak seorang arsitek sekaligus pengusaha (atau konsultan manajemen?) bernama Pramana Widogdo Amara dan perempuan gemar bergaya bernama Aryanti Amanda. Mereka tidak tahu, sepanjang hidupnya Zahir berjuang untuk mencintai ayahnya yang sering melakukan tindakan kekerasan padanya di masa kecil.

Zahir mengenal Prasasti Alanis, perempuan yang berhasil memikat hatinya ketika menjemput adiknya, Kersen, di planetarium sebuah pusat budaya. Sasti adalah pekerja planetarium yang mengambil kerja ganda sebagai penyobek karcis bioskop di lokasi sama. Perempuan berparas indah dan berpenampilan sederhana ini yatim piatu. Ia tinggal di sebuah tempat kos dan sedang mengumpul uang agar bisa melanjutkan kuliah untuk mewujudkan cita-cita menjadi penulis atau wartawan. Hingga dewasa dan hidup mandiri, Sasti tidak pernah bisa melupakan mendiang ibunya, Karina Maharani, yang meninggal sebagai pecandu heroin. Saat bertemu Zahir, ia sedang menjadi obsesi cinta supervisornya di planetarium, Salman Saputra, seorang astronom. Tapi, ia tidak bisa menyukai Salman lebih dari sekadar teman baik.  Sepanjang usia dewasanya, Sasti belum pernah jatuh cinta dan pacaran.

Pertemuan Zahir dan Sasti  yang kedua terjadi di kelas melukis. Untuk menambah penghasilan, Sasti melamar menjadi model lukis. Zahir, kebetulan, sedang belajar melukis di kelas bersangkutan. Tidak bisa dielakkan lagi, cinta tumbuh di antara mereka. Sikap Zahir yang blakblakan membuat Sasti dengan mudah bisa menerima Zahir. Sayangnya, cinta mereka tidak berlangsung mudah. Tidak hanya menghadapi kecemburuan Salman, mereka juga mesti menghadapi penyakit yang secara berangsur merampas kejelitaan Sasti.

Ketika Sasti dipaksa menerima vonis sebagai penderita lupus, penyakit autoimun yang disebabkan karena kelebihan antibodi, sesungguhnya Zahir tidak ingin meninggalkannya.  Tapi, karena Salman merasa dirinya yang paling layak merawat Sasti, dalam kebimbangan, Zahir mencoba mundur. Apalagi, secara mendadak, Zahir dijodohkan dengan Marsha, perempuan pilihan keluarga. Zahir tak menduga, tindakan mundurnya membuat Sasti mempersiapkan mental untuk hidup bersama Salman.

Novel ini bagaikan terbagi ke dalam dua bagian dengan konflik yang berbeda. 'Bagian pertama' berakhir saat Salman meninggal setelah sebelumnya sempat bertengkar dengan Sasti. Pada 'bagian kedua', Zahir yang telah kehilangan pesaing, harus memperjuangkan cintanya terhadap konfrontasi orangtuanya. Ia tidak peduli seandainya karena tekadnya ia didepak ayahnya. Ia ingin hidup dekat dengan Sasti, menolong kekasihnya berdamai dengan hati, pikiran, tubuh,Tuhan, dan lupus.

'Bagian pertama' memang bukan bagian yang paling menarik. Meskipun bermodal kebetulan demi kebetulan, Damien mampu memberikan sengatan yang signifikan pada 'bagian kedua'. Ia memulai dengan memperkenalkan Sasti ke dalam lingkup pergaulan keluarga Zahir, lalu membeberkan kenyataan demi kenyataan yang menghubungkan kehidupan Sasti dan Zahir, dalam dunia yang mendadak menyempit. Di dalamnya terdapat perkelindanan 4 kisah cinta di masa lalu yang diwarnai pengkhianatan, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, kebohongan, kasih tak sampai, dan cinta yang tidak melapuk oleh perjalanan waktu.

Pada saat 'bagian kedua' hampir berakhir, Damien menukik pada perjuangan paling menentukan dalam kehidupan Sasti, bagian yang menjadi inspirasi sentral ditulisnya novelnya ini. Dokter sudah mengatakan Sasti tetap bisa normal kendati mengidap lupus. Manajemen stres, olahraga teratur, makanan yang seimbang, dan menghindari paparan sinar matahari, akan membantu menjaga kesehatannya. Namun ternyata, Sasti tidak sepenuhnya bisa melaksanakan kepatuhannya pada nasihat dokter. "Tuhan jangan pisahkan kami," menjadi doa orang-orang yang mencintainya kala menyaksikan penderitaannya. Sanggupkah doa ini memulangkan Sasti dari ketidaksadarannya?

Novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami bergulir dalam alur yang tidak sukar ditebak. Begitu mulai masuk dalam konflik, niscaya pembaca sudah memahami tujuan pengarang akan mengarahkan ceritanya. Hampir klise, namun tidak sempat terpuruk sebagai bacaan yang mengecewakan –di luar niat luhur Damien untuk mengedukasi masyarakat tentang lupus.

Kelebihannya, Damien adalah penulis yang bisa mengalirkan cerita ke dalam plot dengan lancar. Ia menyertai narasinya dengan banyak dialog yang lincah dan segar khas anak muda. Sedikit terpeleset ketika Aryanti, ibu Zahir, mengatakan "please, deh" (hlm. 118) kepada anaknya. Duh, yang benar saja!

Tampaknya Damien tidak cukup andal dalam mendeskripsikan keindahan alam, karenanya, sebenarnya, ia tidak usah memaksakan diri. Terasa menggelikan saat ia menulis: "Ia merebahkan diri dan menatap langit biru. Awan putih menggantung lembut di udara, dan sang angin mempermainkannya, menerbangkannya ke kiri dan kanan, bergoyang, melambai, menari." (hlm. 139).  Untuk ini, saya ikut-ikutan bilang: "please, deh!"

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan