Judul Buku: 9 dari Nadira
Pengarang: Leila S. Chudori
Tebal: xi + 270 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Oktober 2009
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Leila Salikha Chudori dulu dikenal sebagai penulis cerita-cerita remaja tahun 1980-an. Ia telah menghasilkan banyak karya fiksi remaja semisal Seputih Hati Andra, Sebuah Kejutan, dan Kelopak-kelopak yang Berguguran. Setelah itu secara mengejutkan, namanya muncul sebagai cerpenis di koran seperti Kompas dan Suara Pembaruan serta majalah Horison dan Matra dengan tema dan teknik bercerita yang lebih mumpuni dari kisah-kisah remajanya. Lebih matang dan intelektual. Tidak ada nama penulis perempuan yang bisa menandingi pencapaian Leila yang luar biasa. Ia membukukan sejumlah cerpennya dalam kompilasi bertajuk Malam Terakhir (Grafiti, 1989). Usai kumpulan cerpen ini nama Leila nyaris tidak berkibar di dunia perbukuan Indonesia. Kalau tidak salah karyanya pernah disertakan dalam sebuah buku antologi penulis perempuan –saya lupa judulnya. Kemudian tahun 2006 namanya dikenal sebagai penulis drama TV kurang sukses, Dunia Tanpa Koma, yang ditayangkan RCTI.
Tahun 1991, cerpennya yang berjudul Melukis Langit dipublikasikan majalah Matra.
Inilah yang menjadi awal terciptanya cerpen-cerpen tentang Nadira yang
kemudian dihadirkan dalam buku yang disebut Leila sebagai kumpulan
cerpen dengan judul 9 dari Nadira (Oktober, 2009).
Buku
kumpulan cerpen ini, seperti judulnya, berisi sembilan cerpen tentang
Nadira Suwandi, yang sedikit banyak disandarkan pada kehidupan pribadi
Leila sendiri. Seperti Leila, Nadira seorang wartawan majalah berita
yang berayah wartawan, bungsu dari tiga bersaudara, pernah bersekolah
di Kanada, penulis dengan kehidupan pribadi dan kegemaran setara. Tidak
heran Leila bisa menjiwai tokoh Nadira dengan mendalam.
Sambil
menyaksikan riak-riak Pedder Bay, selama dua jam Nadira menceritakan
sejarah kehidupannya selama 19 tahun, kepada salah satu lelaki yang
mencintainya (At Pedder Bay). Setelah lulus kuliah di
Kanada, Nadira kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai wartawan di
majalah Tera. Ia berhasil mengukir namanya sebagai salah satu wartawan
berbakat dengan mewawancarai Presiden Cory Aquino dan seorang psikiater
pembunuh sejumlah perempuan paruh baya. Yang terakhir –tentu saja-
menjadikannya buah bibir seisi kantor. Ia sukses menonjok si psikiater
saking jengkelnya. Mengapa Nadira sampai menonjok orang yang ia
wawancara? Karena si psikiater menghina ibunya. Menurutnya, Kemala
Yunus –ibu Nadira yang mati akibat bunuh diri- menuntaskan hidupnya
karena sudah lelah hidup.
Kematian
ibunya memang tidak bisa dipahami Nadira. Secara berulang ia
bertanya-tanya: mengapa ibunya memutuskan mati? Memang pada hari
kematian ibunya Nadira tidak tersedu-sedu seperti kakak sulungnya, Yu
Nina. Ia juga tidak bersimbah air mata seperti Kang Arya. Ia bahkan
bertindak pragmatis, mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pemakaman ibunya. Dan tentu saja, mencari seruni berwarna putih,
kembang kesayangan Kemala Yunus (Mencari Seikat Seruni). Ia bukan tidak bersedih, tetapi seperti pengakuannya, ia memiliki kekuatan luar biasa untuk mengunci gudang air matanya.
Atasannya
di kantor, Utara Bayu, mencintai Nadira. Sejak Nadira menjadi salah
satu wartawan di majalah Tera, ia telah merampas perhatian Tara. Semua
orang bisa membaca perasan Tara, tetapi Nadira tidak. Tara tergolong
lelaki yang tidak ekspresif, sehingga tidak pernah nyaman mencurahkan
perasaannya. Ketika satu ekspresi simpati ditujukannya kepada Nadira
dengan menawarkan cuti paska kematian ibunya, Nadira menolak. Ia tidak
tahu saking pedulinya, Tara berusaha menemukan tasbih milik Kemala yang
Nadira dambakan (Tasbih).
Setelah
kepergian ibunya, Nadira yang tinggal serumah dengan ayahnya tidak
lagi betah berada di rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk
pekerjaan, bahkan ia tidur di kantor, di kolong meja kerjanya (Melukis Langit). Sepeninggal ibunya, Nadira juga berubah, ia terlalu sibuk dengan tragedi dalam hidupnya (Sebilah Pisau).
Hingga akhirnya, Niko Yuliar, lelaki dengan ciuman maut, menyeruak
masuk ke dalam hidup Nadira. Ia bangkit dari kolong meja, bersolek,
kemudian secara mengejutkan minta cuti untuk menikah. Bagi Nadira,
setelah kematian ibunya ia seperti berada dalam kubur, dan Niko telah
mengulurkan tangan untuk mengangkatnya. Nadira memutuskan hendak hidup
bahagia, menyamakan kegemaran dengan Niko, dan mempersetankan keraguan
Arya, kakaknya, soal integritas lelaki yang ia hasrati (Ciuman Terpanjang).
Kendati lelaki, Arya memiliki kepekaan yang tajam. Hal sama telah
terjadi ketika Nina ingin menikahi seorang koreografer dan penari
bernama Gilang Sukma. Akhirnya Nina menceraikan Gilang, dan sesudah itu
kerasan tinggal di New York (Nina dan Nadira).
Seperti
apa yang dialami Nina, Arya memang benar. Pernikahan Nadira dengan
Niko berlangsung singkat. Walaupun telah memiliki satu anak , Niko
tidak pernah meninggalkan kebiasaan memangsa perempuan. Saat Niko
terlibat hubungan berbahaya dengan istri seorang pengusaha terkemuka,
Nadira memutuskan mencerai suaminya (Kirana).
Adakah
harapan bagi Tara yang seolah dadanya tertancap pisau ketika Nadira
memutuskan menikah? Rupanya, tidak. Sebab, setelah bercerai, Nadira
mengambil sabatikal dan memutuskan kembali ke Kanada. Tidak ada yang
tersisa untuk Tara, kecuali cinta dari wartawan cantik bernama Kara
Novena (Utara Bayu).
Seperti yang Leila mau, 9 dari Nadira
hadir sebagai kumpulan cerpen. Artinya, masing-masing cerita bisa
dinikmati sendiri-sendiri. Tampaknya ketika mulai menulis tentang
Nadira, Leila juga tidak punya maksud merekatkan kesembilan kisahnya
dalam satu buku. Memang, semua Nadira yang dikisahkan dalam buku ini
adalah Nadira yang sama. Bahkan mungkin, jika tidak membaca seluruh
cerpen yang ada, pembaca tidak akan memahami sepenuhnya kehidupan
Nadira yang kompleks dan problematis. Oleh sebab itu, kumpulan cerpen
ini hadir sebagai sebuah novel. Hanya karena ditulis satu per satu
–dalam jarak waktu yang tidak dekat untuk setiap bagian, kecuali untuk
proses revisi- gaya penulisannya memang tidak sama seperti penulisan
sebuah novel. Sebagai contoh secara tiba-tiba kisah Nadira tidak lagi
dituturkan dari perspektif Nadira –atau Nina, Arya, dan Tara, melainkan
oleh 'karakter asing' yang hanya sekali muncul pada bagian yang
dinarasikannya. Sebilah Pisau adalah kisah Nadira yang
dituturkan Kris, salah satu ilustrator di majalah Tera. Ia
memperhatikan dan mengamati kehidupan Nadira, mengungkapkan persepsinya
sendiri, dan diam-diam membuat sketsa-sketsa yang berhubungan dengan
Nadira. Terlepas dari penceritaan yang menarik –apalagi disertai dengan
sketsa-sketsa karya Ario Anindito, sesungguhnya Sebilah Pisau sekadar
repetisi cerita yang sudah dibaca dan dipahami oleh pembaca.
Ide
cerita tentang Nadira cukup menarik. Ia adalah seorang perempuan muda
cerdas, semangat dalam bekerja, pragmatis, tetapi punya kecenderungan
eksplosif. Namun ia juga rapuh dan menyimpan kegetasannya dalam diam.
Saat terjerat kemarahan, ia tidak bisa membahasakan kemarahannya, malah
mencelupkan kepala ke dalam bak mandi –karena dulu kerap dihukum Nina
dengan cara kepalanya dicelupkan dalam jamban berisi kencing. Ia
mengira kerapuhan yang ditimbulkan oleh ketidakseimbangan dalam
keluarganya bisa dilenyapkan dalam pelukan laki-laki, tetapi ternyata
tidak seperti itu. Pernikahan tidak menyediakan solusi bagi kehidupannya
yang hampir merenggut kewarasannya. Leila menyisakan satu pertanyaan
pada lembar terakhir ceritanya: apa yang akan terjadi dengan kerapuhan
Nadira?
Kemampuan
merangkai kalimat yang sedap dibaca masih bisa ditemukan di sini.
Sejak menjadi penulis cerita-cerita remaja, Leila memang dikenal gesit
bermain kata-kata. Sekarang kegesitan Leila makin terasah; semakin
bernas dan intektual. Namun saya sedikit kehilangan pesona Leila yang
ia tebar dalam kumpulan cerpen Malam Terakhir. Memang
menarik menengok dunia wartawan yang sesungguhnya –termasuk politik
kantor yang melibatkan kecemburuan akan prestasi seseorang. Menarik
pula mengikuti kehidupan keluarga disfungsional yang ditampilkan
melalui keluarga Suwandi. Ibu bunuh diri, ayah mengalami post power syndrome,
kakak perempuan yang terus dibayangi masa lalu, kakak lelaki yang
betah melajang demi cintanya pada hutan. Namun daya pikat ini jauh
lebih encer dari kandungan Malam Terakhir yang bergizi.
Kegesitan Leila bermain kata-kata juga membuat Leila terjebak untuk
menghomogenkan seluruh pencerita yang mengambil bagian. Baik surat atau
buku harian yang melengkapi narasi Leila, ditulis dengan gaya bahasa
yang sama. Dan sebenarnya buku harian Kemala Yunus terkesan tidak
realistis: terlalu melimpah dialog untuk sebuah buku harian. Satu lagi,
kendati cerpen terakhir menjadi pemantik kesedihan ternyata tidak
cukup menggetarkan. Yang bisa dipungut di sana untuk melengkapi
karakterisasi Nadira adalah: sesungguhnya ia termasuk salah satu
penganut aliran seks bebas.
Tentu saja ini tidak berarti kumpulan cerpen 9 dari Nadira
boleh dilewatkan kemunculannya. Apalagi bagi pembaca yang pernah
tertenung cerita-cerita Leila di masa lalu. Semoga buku ini bisa menjadi
karya pembuka untuk karya-karya Leila selanjutnya.
0 comments:
Post a Comment