The Thirteenth Tale (Dongeng Ketigabelas) adalah karya Diane Setterfield, penulis perempuan asal Inggris. Novel berseting Inggris ini diterbitkan pertama kali pada bulan September 2006 dan seminggu kemudian mencapai peringkat satu bestseller New York Times.
Puluhan
tahun sebelum masa kini novel, seorang pemuda bersetelan cokelat,
mengaku sebagai wartawan Banbury Herald datang mewawancarai Vida
Winter, penulis Inggris yang paling dicintai. Ia telah menulis banyak
novel yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pada perjumpaannya
dengan si pemuda, yang sangat membekas dalam benak Miss Winter adalah
ucapan, "Miss Winter, ceritakan yang sesungguhnya".
Permintaan ini datang mengusik lagi ketika Miss Winter sadar jaraknya
dengan ajal kian tipis. Ia memutuskan mengungkapkan 'cerita yang
sesungguhnya", kisah hidupnya, kebenaran yang telah menjadi sumber
kepenasaranan banyak orang.
Untuk
menuliskan kebenarannya, Miss Winter tidak sanggup melakukan sendiri.
Maka, ia mengundang Margaret Lea, putri pemilik sebuah toko buku antik
di Cambridge untuk menjadi biografer kisah hidupnya yang misterius.
Margaret telah menulis beberapa studi biografi beberapa penulis tidak
penting berdasarkan riset arsip di toko buku ayahnya. Salah satu esai
tentang tiga bersaudara yang ditulisnya membuat Miss Winter memilihnya.
Tentu
saja Margaret tahu siapa Vida Winter. Ayahnya adalah salah satu
penggemar karya perempuan bermata hijau dan berambut tembaga ini.
Tetapi Margaret bukan penikmat fiksi kontemporer, dan seumur-umur belum
pernah membaca karya Miss Winter. Saat mencoba berkenalan dengan karya
perempuan itu, Margaret menemukan buku Miss Winter yang dikoleksi
ayahnya, "Tiga Belas Dongeng Perubahan dan Keputusasaan".
Buku ini adalah salah satu yang selamat ketika edisi ini ditarik dari
pasaran. Karena, setelahnya, buku yang sama diterbitkan dengan judul "Dongeng-Dongeng Perubahan dan Keputusasaan".
Margaret
sempat ragu untuk menerima undangan Miss Winter. Ia menulis biografi
orang yang telah mati, bukan yang masih hidup seperti Vida Winter.
Namun, setelah membaca buku-buku Vida Winter, Margaret terpikat dan
memutuskan menerima pekerjaan itu. Ia pergi dan tinggal di Yorkshire,
di rumah sang pengarang. Meski sepakat dengan syarat yang diajukan
pihak Miss Winter, saat wawancara dimulai guna menggali kenangan Miss
Winter, Margaret tidak sepenuhnya percaya kebenaran cerita yang ia
dengar. Miss Winter adalah seorang penulis dan bisa saja ia membangun
kisah menurut risetnya sendiri sebagaimana proses kreatifnya sebagai
pengarang. Margaret mencari berbagai sumber mengenai Miss Winter dan
menemukan jika Miss Winter memang tidak berdusta. Sebagai biografer,
tugasnyalah untuk bisa menangkap dengan jeli semua yang dituturkan Miss
Winter. Sebab sambil bercerita, Miss Winter dengan cerdik menguji
kecerdasan dan kepekaan Margaret.
Maka,
mengalirlah kisah panjang ihwal kehidupan sebuah keluarga aristokrat
yang aneh dan rapuh di Angelfield House, Oxfordshire. Kisah mereka
berawal dari suami istri George dan Mathilde Angelfield. Sembilan tahun
setelah Charlie, anak sulung mereka lahir, Mathilde melahirkan anak
perempuan, Isabelle, yang membuatnya kehilangan nyawa. Duka George
membuatnya menarik diri dari kehidupan normal. Meski kehadiran Isabelle
sempat mengusiknya, ia tidak sepenuhnya bangkit dari kesedihan karena
ditinggalkan istri. George meninggal setelah Isabelle meninggalkan
rumah dan menikah dengan Roland March. Hanya, sepeninggal Roland,
Isabelle kembali ke rumah membawa sepasang anak perempuan kembar,
Adeline dan Emmeline. Sayang, seperti ayahnya, anak kembarnya tidak
melahirkan perasaan orang tua dalam diri Isabelle. Si kembar pun
tumbuh liar tanpa kendali dan kasih sayang orang tua. Kenakalan mereka
susul-menyusul dengan salah satu dari si kembar sebagai pemeran utama.
Sebuah
kejadian di rumah Angelfield mengukuhkan diagnosis dokter Maudsley
untuk membawa Isabelle ke rumah sakit jiwa. Lantas Charlie mengulang
tradisi mengurung diri ayahnya. Di tengah situasi tak terkendali,
Hester Barrow datang ke Angelfield. Ia datang untuk mengajar si kembar
yang tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah. Tidak cukup sekedar
menjadi guru si kembar, bersama dokter Maudsley, Hester menjelma
peneliti yang memosisikan si kembar sebagai subyek eksperimen. Hester
tidak berhasil, dan ia menghilang dari Angelfield.
Kematian
demi kematian mendatangi rumah Angelfield. Satu demi satu orang
dewasa di dalamnya meninggal. Lalu Ambrose Proctor, tukang kebun,
menyeruak masuk dalam hidup si kembar. Tanpa disadarinya, Ambrose
menciptakan masalah. Masalah yang berbuntut panjang pada terbakarnya
Angelfield House dengan puing-puing yang terlontar hingga ke masa
depan.
Puing-puing
masalah itu masih tersisa di Angelfield. Margaret pergi ke sana dan
menemukan sisa-sisa rumah keluarga Angelfield. Di sana juga ia bertemu
dengan Aurelius Love, seorang tukang kue bertubuh 'raksasa' dan seorang
perempuan bernama Karen dengan dua anaknya, Tom dan Emma. Lambat laun
semua keping cerita bertaut, menjawab semua misteri yang diikat satu
simpul: Angelfield.
Simultan
dengan itu, bayang-bayang yang menghantui Margaret, masa lalu yang
disembunyikan orangtuanya dari dirinya, tersingkap. Margaret, sebagai
narator novel, yang menceritakan kisah hidupnya dan menuturkan kembali
kisah hidup Miss Winter akan membeberkan dengan tuntas, demi pembebasan
dirinya sendiri.
Membaca judul The Thirteenth Tale (Dongeng Ketiga Belas)
dengan sampul depan edisi Indonesia yang seperti sampul buku dongeng,
saya sempat mengira buku ini sebagai antologi tiga belas dongeng
dengan akhir yang mengejutkan. Tetapi dugaan saya keliru. Novel ini
adalah fiksi kontemporer untuk pembaca dewasa. Dan, meskipun ada
ungkapan 'hantu' di dalamnya, sama sekali tidak ada unsur fantasi.
'Hantu' di sini hanya sekedar menggambarkan masalah psikologis
karakter-karakter tertentu. Judul ini mengacu pada kisah ketiga belas
yang tidak bisa diselesaikan Miss Winter. Judul yang sangat pas untuk
karya debutan perempuan kelahiran Reading (Inggris) 22 Agustus 1964
yang saat ini tinggal di North Yorkshire.
Novel
bergaya gotik ini beralur terbilang lambat. Hanya kelambatannya bukan
berarti sarat lanturan. Penulis perlu menggemulaikan alur untuk
mengedor rasa ingin tahu pembaca, membuat pembaca penasaran
bertanya-tanya sambil menikmati keindahan dan kemisteriusan muatan yang
digelontornya. Karena pada pamungkasnya, dengan mahir penulis
menghantam pembaca dengan memanfaatkan berbagai kejutan yang
dipersiapkan secara baik dan tuntas. Pembaca mesti sabar dan cermat
mengikuti ayunan plotnya agar benar-benar dapat menikmatinya.
Satu
yang bikin saya gatal adalah kepiawaian Vida Winter sebagai penulis.
Bagaimana caranya ia bisa menjadi pengarang ternama? Apakah ia sempat
mengenyam pendidikan yang menyanggupkannya menulis buku-buku yang
disukai pembaca? Atau, apakah ia memang memiliki bakat alami?
Pertanyaan ini mungkin tidak penting bagi Diane Setterfield (atau
pembaca lain), tetapi tetap menggoda untuk saya lontarkan mengingat
novel ini mengungkap riwayat hidup Vida Winter.
Akhirnya,
inilah sebuah novel bergizi ihwal manusia bermental serapuh sayap
kupu-kupu, hasrat mencintai dan dicintai, kematian, bunuh diri, inses,
dan permasalahan pelik anak kembar. Semuanya saling kelindan
memproduksikan novel saspens misterius yang menggoda. Saya
rekomendasikan novel ini untuk pembaca yang gemar fiksi kontemporer
yang mengedepankan misteri kehidupan sebagai daya tarik (seperti saya).
Kalimat di bawah ini, yang katanya dinukil dari "Dongeng-Dongeng Perubahan dan Keputusasaan" karya Vida Winter mungkin akan membuat Anda penasaran.
"Semua
anak memitoskan kelahirannya sendiri. Itu karakteristik umum. Kau
ingin mengenal seseorang? Hati, pikiran, dan jiwanya? Tanyakan padanya
tentang saat dia lahir. Yang akan kaudapatkan bukanlah kebenaran: kau
akan mendapatkan sebuah dongeng. Dan tak ada hal yang lebih menggugah
selain dongeng". (hlm. 9/ 49).
0 comments:
Post a Comment