Pengarang: Aravind Adiga (2008)
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Tebal: viii + 360 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, 2010
Penerbit: Sheila (imprint dari CV Andi Publisher)
Bagi Balram Halwai alias Munna, hidup di India serupa berada di dalam kandang ayam. Jika Anda mengunjungi Old Delhi, pergilah ke belakang Masjid Jama, maka Anda akan melihat cara mereka mengurung ayam. Ratusan ayam betina dan ayam jantan dijejalkan dalam kandang kawat, saling mematuk dan mengeluarkan tahi di atas tubuh yang lain. Di meja kayu yang berada di atas kandang ayam, tukang jagal ayam duduk sambil menyeringai, memajang daging dan organ dalam ayam yang baru dipotong yang masih dilapisi darah. Ayam-ayam dalam kandang mencium bau darah saudara-saudaranya, melihat organ mereka bertebaran di mana-mana dan mereka tahu berikut adalah giliran mereka. Namun, mereka tidak memberontak, tidak berusaha melarikan diri dari kandang.
Tidak
selamanya Balram berniat hidup seperti ayam-ayam dalam kandang yang
menanti digorok. Walaupun untuk memberontak, ia harus melewati jalan
yang tidak pendek.
Balram
terlahir dalam keluarga pembuat gula-gula dari desa Laxmangarh di
Distrik Goya, India Utara -yang disebut-sebut sebagai "Kegelapan"
karena kelangkaan pendidikan dan listrik; Halwai berarti pembuat
gula-gula. "Tapi, jika kami Halwai, kenapa ayah saya tidak membuat gula-gula dan malah menarik rickshaw?
Kenapa juga saya tumbuh besar dengan memecah-mecah batu bara serta
mengelap meja, bukannya makan gulab jamun serta kue-kue manis kapan pun
saya mau? Kenapa saya kurus, hitam, dan tirus, tidak gemuk, putih, dan
penuh senyum seperti bocah yang sering makan gula-gula?"(hlm. 69).
Menurut Balram, kesusahan hidup yang menimpa keluarganya tidak lain
disebabkan oleh kemerdekaan India sendiri, 15 Agustus 1947, yang membuat
hukum rimba digalakkan dan para pemenang bertambah buncit. Akibat
penerapan hukum rimba itu, toko gula-gula milik kakeknya direbut dengan
bantuan polisi. "Singkat cerita –pada masa lalu, ada
sekitar seribu kasta serta garis nasib di India. Sekarang ini, hanya
tinggal dua: Kasta Perut Buncit dan Kasta Perut Rata. Dan hanya ada dua
nasib: makan atau dimakan."(hlm. 70).
Sebetulnya
Vikram Halwai ingin Balram, putranya yang takut kadal tapi pintar ini
melanjutkan sekolahnya. Balram adalah anak paling pintar di kelasnya
dan telah dijanjikan akan mendapat beasiswa. Namun utang keluarga dan
kematian ayahnya membuatnya harus meninggalkan sekolah. Setelah bekerja
di kedai teh Laxmangarh, ia pindah ke kedai teh di Dhanbad.
Pekerjaannya sama, bergaya bak manusia laba-laba untuk mengelap meja
dan memecahkan batu bara. Keinginan untuk hidup lebih layak mendorong
Balram untuk belajar menyetir mobil, dan membawanya bekerja di rumah
keluarga Bangau. Si Bangau (Thakur Randev) adalah salah satu tuan tanah
di kampung halaman Balram selain si Kerbau, si Babi Hutan, dan si Gagak
Hitam.
Balram
menjadi sopir putra Bangau yang baru pulang dari Amerika, Mr. Ashok
yang membawa istrinya yang cantik, Pinky Madam ke India.
Ketika
pemilu diadakan di Dhanbad, Sosialis Agung, penguasa Kegelapan muncul
di rumah keluarga Bangau dan menuntut uang sebesar 1, 5 juta Rupee.
Sosialis Agung mencatat kemenangan di Kegelapan secara gemilang dengan
cara-cara kotor, curang, dan kriminal. Ia menuduh keluarga Bangau telah
melakukan penipuan pajak dan mengambil batu bara secara gratis di
tambang milik pemerintah. Keluarga Bangau tidak mau memberikan uang
yang ditagih Sosialis Agung. Mereka memutuskan mencari pertolongan di
Delhi, langsung kepada pemerintah.
Balram
dibawa ke Delhi setelah menyingkirkan sopir nomor satu di keluarga
Bangau, Ram Persad, yang menyembunyikan identitasnya sebagai Muslim
demi bekerja di keluarga Hindu. Gaji tiga ribu Rupee sangat
menjanjikan, sekalipun Balram harus menginjak kota yang kacau dengan
polusi dan ribuan gelandangan dari Kegelapan yang berseliweran di
berbagai lokasi.
Awalnya,
Pinky Madam mencoba mengatasi ketidakinginannya untuk terus tinggal di
India. Namun suatu malam, setelah merebut setir dari Balram, menabrak
seorang anak laki-laki sampai tewas, Pinky Madam memutuskan kembali ke
New York. Mr. Ashok tidak bisa menerima kenyataan ini sampai akhirnya
ia berjumpa dengan mantan kekasihnya.
Usaha
menyuap pemerintah di Delhi gagal, apalagi Sosialis Agung semakin
mengembangkan kemenangannnya hingga ke ibukota India ini. Keluarga
Bangau pun memutuskan untuk menyetor 700 ribu Rupee kepada Sosialis
Agung. Jika tidak, keluarga Bangau akan dihancurkan.
Di
lantai Honda City yang dikemudikan Balram tergeletak botol Johnnie
Walker Black yang telah dikosongkan dua utusan Sosialis Agung. Botol
ini memang bagus dan kuat, di pasaran harganya mahal. Balram tidak
bermaksud menjual botol kosong itu, karena dengan pecahannya Balram
telah memutuskan untuk menghabisi nyawa majikannya yang baik hati. Kemudian kabur ke Bangalore, tempat yang menjanjikan masa depan. Tentu saja dengan merampok 700
ribu Rupee yang akan diberikan Mr. Ashok kepada Sosialis Agung. Demi
memuluskan jalannya menjadi seorang entrepreneur autodidak yang sejati;
Harimau Putih yang hanya muncul sekali dalam satu generasi –walau
harus melakukan tindakan yang menurutnya membuat, "Semua krim pemutih
kulit di pasar India takkan bisa membersihkan tangan saya lagi."
Ia telah berhasil mendobrak dan membebaskan diri dari kandang ayam.
The White Tiger
adalah novel perdana pria kelahiran Madras, India, 23 Oktober 1974,
yang dibesarkan di Australia, menamatkan studi di Universitas Columbia
dan Universitas Oxford, dan pernah menjadi koresponden India untuk
majalah Time. Aravind Adiga –nama pria itu, menjadi pengarang kelahiran India keempat yang memenangkan Man Booker Prize
(2008), menyusul Salman Rushdie, Arundhati Roy, dan Kiran Desai (walau
V. S. Naipul yang berdarah India pernah menerima penghargaan yang
sama, ia bukanlah warna negara India). Setelah The White Tiger, Adiga telah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Between Assassinations (2009).
Novel
yang kabarnya akan diadaptasi ke dalam film ini ditulis menggunakan
teknik epistolari ke dalam delapan bagian dengan judul yang menggunakan
waktu penulisan Balram sang narator orang pertama –malam atau pagi.
Balram dikisahkan sedang menceritakan biografinya kepada Wen Jiabao,
Perdana Menteri Cina di Beijing lewat surat yang panjang-lebar. Menurut
berita di All India Radio, Jiabao akan datang ke India dan berkunjung
ke Bangalore, tempat Balram tinggal dan menjalankan jasa taksi untuk
pekerja outsourcing. Jiabao ingin
mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang Bangalore yang sedang
berkembang menjadi metropolis dan bertemu dengan beberapa entrepreneur
India untuk mendengarkan kisah sukses mereka. Dan tentu saja, Balram
merasa dirinya adalah salah satu entrepreneur yang dimaksud.
Dari segi cerita sesungguhnya The White Tiger
tidak begitu istimewa. Namun Adiga menyajikan ceritanya dalam narasi
yang dikemas dengan baik menggunakan bahasa menggelitik yang bernas
dengan kejenakaan tersebar di mana-mana. Ia akan selalu berhasil
menggiring pembaca pada pemahaman yang lebih mendetail mengenai
kehidupan masyarakat India.
Kerap
dengan nada-nada sinis penuh sindiran dan ejekan ia mengelupas
kebobrokan yang berkembang di tanah airnya sendiri. Kehidupan kelas
bawah yang dililit kemiskinan dan pelecehan. Kehidupan kelas atas yang
berlumur uang suap. Janji-janji omong kosong besar dari pemerintah
untuk kesejahteraan rakyat. Rumah sakit yang tidak layak dengan
pelayanan kesehatan yang luar biasa buruk. Korupsi yang menjalar hingga
ke sekolah-sekolah desa di mana program makanan gratis hanya menjadi
wacana dan seragam untuk para siswa jadi dagangan gurunya, dan kisah
kondektur bis dari keluarga peternak babi yang bisa menjadi politikus.
Setelah
lepas dari penjajahan Inggris, India tetap belum merdeka. Inilah yang
menjadi kesimpulan Balram setelah membedah kehidupan masyarakat di
negaranya. Dan saya yakin, inilah juga yang menjadi kesimpulan Aravind
Adiga pribadi.
Mungkin
seperti yang disampaikan Adiga lewat Balram di awal novel unik ini
adalah gambaran menyeluruh novel ini. Bahwa semuanya hanyalah Omong
Kosong Besar. Namun acapkali sebuah Omong Kosong Besar bisa merenggut
simpati banyak orang. Maka bolehlah saya mengatakan bahwa saya berada
di antaranya, tanpa perlu 'menjilat 36.000.004 bokong suci para dewa'.
0 comments:
Post a Comment