Judul Buku: Lampuki
Pengarang:
Arafat Nur
Tebal: 433 hlm
Cetakan:
1, Mei 2011
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Sejarah Aceh yang kelam semenjak bergabung dengan Negara Kesatuan RI merupakan tema yang diangkat dalam novel Lampuki karya penulis Aceh, Arafat Nur. Novel ini dinobatkan sebagai pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010.
Lampuki adalah nama kampung di wilayah Pasai, Aceh, yang
terletak di daerah perbukitan. "Pertemuan
dua bukit itu menyerupai tubuh manusia telentang dengan kedua sisi kakinya
merenggang terkuak serupa selangkang perempuan. Sebab, di seluk situ tak ada
gumpalan, melainkan lubang," demikian kalimat pembuka sang pengarang
menceritakan bentangan alam Lampuki, yang mungkin menjadi sumber nama kampung
itu (hlm. 10).
Teungku Muhammad, didapuk Arafat Nur sebagai narator
novel yang benar-benar menguasai seting ceritanya, Lampuki. Ia adalah seorang
guru mengaji dan sesekali bekerja sebagai tukang bangunan.
Dari narasi yang ia sampaikan, pembaca belajar
mengenai kehidupan orang Aceh yang menetap di Lampuki. Menurutnya, orang-orang
Lampuki, baik penduduk asli maupun pendatang sama-sama memiliki perangai menyimpang.
Mereka memiliki perangai beringas dan pongah yang telah berubah menjadi semacam
penyakit turunan, yang dengan bangga mereka tularkan kepada generasi-generasi
berikutnya.
Perangai seperti itu memang
hanya ditampakkan dalam hubungan dengan sesama warga Aceh, tetapi ketika
berhadapan dengan serdadu pemerintah yang dikirim dari Jawa, mereka tidak
berkutik. Mereka hidup dalam ketakutan, dibayang-bayangi oleh kematian yang
disebabkan oleh pistol dan bedil para serdadu, dan juga angan-angan kosong.
"Mereka terus terbuai angan-angan panjang, beranggapan tak lama lagi kesultanan
Aceh yang gemilang bakal bangkit kembali, lalu memberangus semua serdadu
pemerintah yang pernah menampar dan memukuli wajah dungu mereka. Mereka yakin
Allah akan membela tanah ini--sebagaimana mereka meyakini bahwa tanah ini
adalah tanah suci dan mulia, bagian dari tanah Mekah, yang akan selalu berada
dalam lindungan dan rahmat Allah. Lalu Allah akan mengirimkan tentara-Nya untuk
melindungi Aceh sebagaimana saat ababil membinasakan pasukan Abrahah yang
hendak melumatkan Ka'bah---sementara mereka sendiri melalaikan sembahyang dan
semakin terlena oleh bualan tukang lamun di kedai kopi Pasar Simpang sehingga
mereka terus berleha-leha sepanjang hari, tanpa menghiraukan pekerjaan"
(hlm. 70).
Ketika cerita bergulir, Aceh
memang telah menjadi kancah pembantaian militer. Dari halaman novel kita
mengetahui bahwa semua berawal dari pemberontakan Teungku Daud. Sang ulama
adalah pemimpin perjuangan rakyat Aceh dalam menghadapi Belanda. Reputasinya
yang terhormat dan kelembutan hatinya dimanfaatkan oleh Soekarno, presiden RI
pertama. Rakyat Aceh mengumpulkan banyak sumbangan kepada pemerintah pusat.
Hasil sumbangan mereka dibelikan pesawat terbang untuk menyokong kebebasan dari
penjajah. Tapi setelah Indonesia merdeka, Soekarno berkhianat dan menghapus
kekuasaan sang ulama. Akibatnya, Teungku Daud memberontak, dan perang demi
perang meletus. Pada saat rezim Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto,
sang teungku tidak berdaya. Soeharto memulai Tahun-Tahun Pembantaian di Aceh,
mengasingkan Teungku Daud, hingga akhirnya ia meninggal setelah kembali dari
pengasingan. Tahun-Tahun Pembantaian di Aceh adalah tahun-tahun ketika nyawa
penduduk Aceh nyaris tidak berharga, dianiaya dan dibunuh, dan kaum
perempuannya diperkosa.
Setelah periode Teungku
Daud, muncullah Hasan Tiro yang mengadakan perlawanan terhadap pemerintah
pusat. Pada masanya, warga Aceh kian hidup dalam kesulitan di antara
pertentangan dua kubu: penjajah dan pemberontak. Menyusul Hasan Tiro, lahirlah
para pembangkang yang bergerilya melawan para serdadu pemerintah. Salah satunya
Ahmadi, tokoh sentral novel Lampuki,
yang adalah mantan berandalan.
Ahmadi muncul di bagian
kedua novel sebagai panglima laskar Sagoe Peurincun yang menguasai Lampuki dan
wilayah sekitarnya. Ia terkenal dengan kumisnya yang lebat. Oleh narator,
selanjutnya kumis ini akan menjadi bahan olok-olok. Narator yang kesal dengan
kumis Ahmadi, akan mengisahkan pula soal kumis sang gerilyawan yang
mendatangkan bencana bagi warga Lampuki yang berkumis tebal. Dengan suaranya
yang lantang Ahmadi menentang pemerintah dan menantang warga untuk mendukung serta
ikut dalam laskarnya. Menurut Ahmadi ia menjadi pembangkang karena ia tidak
bakal membiarkan serdadu pemerintah menistakan Aceh untuk selama-lamanya. Tentu
saja, umumnya warga menolak ajakan berperang Ahmadi. Orang-orang tidak ingin
mencari-cari penyakit dengan serdadu pemerintah. Mereka telah lelah, jiwa dan
raga, selama Tahun-Tahun Pembantaian. Dalam kondisi terdesak, mereka mendukung
perlawanan Ahmadi dengan setengah hati, menjadi bagian dari wajib pajak yang
ditagih oleh Halimah, istri Ahmadi.
Salah satu pemuda yang tidak
mengikuti ajakan Ahmadi adalah Jibral si Rupawan. Anak muda ini justru terlibat
perselingkuhan dengan Halimah. Perselingkuhan itu terjadi karena Ahmadi hidup
di gunung dan hanya mengunjungi Lampuki pada waktu-waktu tertentu. Jibral tidak
hanya melakukan perzinahan dengan Halimah, tapi kemudian dengan Hayati, istri
Puteh yang ikut bergerilya dengan Ahmadi.
Untuk mengisahkan semua
cerita dalam novel, Teungku Muhammad berhasil mengorek informasi berbagai
kejadian dari orang-orang yang menjadi
saksi mata Oleh karena itu, ia menjadi bebas mengomentari apa saja, sesuka
hati, sesekali mengolok-olok, menertawakan para karakter dan diam-diam menista
mereka.
Cerita utama dalam novel ini
terjadi setelah Tahun-Tahun Pembantaian berlalu, meskipun kemudian pembantaian
tetap terjadi di tanah Aceh. Masa-masa itu disebut sebagai Tahun-Tahun
Perlawanan yang dimulai saat para serdadu kembali ke tanah Aceh, setelah
Soeharto lengser. Masa-masa itu berkelanjutan hingga Megawati menjadi presiden.
Narator menginformasikan pada kita besarnya kekecewaan orang Aceh pada perempuan
yang pernah menjadi presiden RI. Sebelumnya si presiden telah ‘merengek-rengek’
meminta mereka untuk memilih partainya dalam pemilihan umum (yang gara-gara
perdebatan soal binatang yang menjadi lambang partainya, nyaris terjadi
pertumpahan darah di Lampuki). Dengan air mata berlinang, perempuan ini
berkata: "Percayalah, kalau saya
jadi presiden, tidak akan ada lagi darah orang Aceh yang tumpah setetes pun!"
(hlm. 414). Tapi, ketika ia jadi presiden, ia mengirimkan ribuan prajurit ke
Aceh. Ia adalah perempuan ular, narator menyampaikan sebutan warga Lampuki, dan
pasukan yang ia kirim adalah pasukan ular. Warga Aceh kecewa dengan janji
palsunya dan menyadari kesamaan dengan ayahnya: pengkhianat. Padahal orang Aceh
benci kepala negara yang berkhianat. Dalam hal ini, mau tidak mau, sang
narator, kendati kesal dengan kumis Ahmadi, harus bersimpati pada perjuangan
Ahmadi, apalagi pada Tahun Penuh Bencana ketika Megawati menjadi presiden.
Tahun Penuh Bencana adalah
masa-masa menakutkan ketika ulah gerilyawan pemberontak harus ditanggung oleh
warga yang tidak bersalah. Untuk menghadapi gerilyawan, serdadu pemerintah
menjalankan taktik membinasakan gerilyawan yang mana warga menjadi sasaran
pembantaian. Padahal sebelumnya warga juga telah mengalami penganiayaan yang
kerap di luar batas kemanusiaan. Kumis ala Ahmadi mendatangkan bencana, dan
serangan-serangan Ahmadi terhadap serdadu pemerintah membuat warga hidup dalam
ketakutan. Kaum pria harus mengikuti ritual penyuluhan, ritual yang dikatakan
sebagai ritual isi kepala warga Aceh yang dianggap kotor. Manakala serangan
gerilyawan di bawah pimpinan Ahmadi berulang, menghindari penganiayaan dan
ritual cuci isi kepala itu, kaum pria melarikan diri ke hutan, termasuk si
narator.
Narator mengatakan: "Hari-hari yang berlaku sekarang tidak kurang
menakutkan dari Tahun-Tahun Pembantaian" (hlm.417). Para serdadu
melakukan pembunuhan secara terbuka, dan "setidaknya rata-rata setiap hari ada tujuh sampai selusin orang mati
mengenaskan." (hlm. 422). "Waktu tinggal sebatang rokok
lagi" bagi Aceh untuk mendapatkan kemerdekaan tidak pernah tercapai.
"Siapa sangka, kecintaan, mimpi liar, hasrat, dan nasib malah
menghancurkan dan membinasakan banyak orang," kata narator di
tengah-tengah kemalangan warga Aceh yang tidak terhindarkan (hlm. 424). Warga
Aceh terjepit di antara dua pihak yang sama kasarnya: para serdadu dan para
pemberontak. "Kelak, setelah salah
satu kelompok binasa, mereka yang keluar sebagai pemenang akan mendapati tanah
ini telah hancur luyak." (hlm. 425).
Tak pelak lagi, pada
masa-masa itu Ahmadi menjadi sasaran kebencian warga Lampuki.
Lampuki adalah novel yang menggores hati ketika ia
menyingkapkan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang terjadi di tanah Aceh.
Pengarang adalah orang Aceh yang memiliki kepedihan terkait dengan penderitaan
yang dialami kaumnya. Oleh karena itu, semua yang disampaikannya bukanlah
racauan kosong. Ia mencabik semua kenangan ke atas permukaan agar pembaca bisa
menyelami lagi tragedi yang meluluhlantakkan Serambi Mekah. Mungkin, kendati
telah membaca berita-berita seputar pembantaian warga Aceh, pembaca akan
terperangah dengan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Tentu saja, ada harapan
dalam penyajiannya sebagai novel, tragedi kemanusiaan seperti itu tidak lagi
akan terjadi di Negeri Indonesia.
Selain menggambarkan
pembantaian di Tanah Aceh secara blakblakan, pengarang juga tak segan melakukan
kritik terhadap perangai kaumnya melalui komunitas Lampuki. Sebagai orang Aceh,
tindakannya menjadi cermin bagi warga Aceh untuk merekonstruksi tabiat yang
menghambat kemajuan. Rekonstruksi tabiat seperti ini akan menghindarkan
terwujudnya pemikiran konyol seperti yang muncul di benak Teungku Muhammad
menanggapi kemarahan Sukijan, seorang serdadu pemerintah. "... Aku
tidak setuju kalau bangsaku yang malang ini sampai harus dilenyapkan semua.
Perlu disisakan beberapa orang saja sebagai bibit agar negeri yang sudah rusak
luyak ini tidak tambah sepi, tambah senyap mati." (hlm. 285).
Kekuatan yang mendominasi
novel ini adalah kepiawaian pengarang menuliskan kepedihan dalam untaian
kalimat berbobot dengan sentuhan humor yang menggelitik. Perangai orang Aceh
diolok-olok dan para karakter ciptaannya ditertawakan. Tak terhindarkan, saat
membaca novel ini, kita akan tersenyum ataupun tertawa di tengah-tengah
keresahan warga Lampuki.
Keberanian pengarang hadir
dalam caranya menyentil tanpa tedeng aling-aling orang-orang yang benar-benar
pernah hidup. Soekarno, Soeharto, dan Megawati menjadi sasaran karena tindakan
mereka yang terkait dengan penderitaan orang Aceh. Ia juga mengemukakan apa
yang disebut mafia Jakarta, yang melakukan transaksi penjualan senjata dengan
pemberontak. Para pecundang tanpa jabatan itu menyerahkan senjata kepada
pemberontak, dan pemberontak membayar mereka dengan uang hasil penjualan ganja.
Novel apik ini disudahi
sebelum Tahun Penuh Bencana berakhir dan meninggalkan pertanyaan: apakah yang
terjadi pada Ahmadi dan rekah-rekan gerilyanya yang terus diburu oleh pasukan
ular? Sepertinya cerita akan berlanjut karena sebelumnya, terkait dengan nasib
Jibral si Rupawan sang narator menyampaikan: "Kelak, lama sesudahnya, setelah kumis Ahmadi dipensiunkan Tuhan, Jibral
akan segera menunjukkan kebolehan pesongnya, dan tak seorang pun menyangka
bagaimana semua kemusykilan itu dapat terjadi begitu saja atas dirinya."
(hlm. 383).
1 comments:
Ayoo ditunggu, ada film drama korea terbaru yang bisa anda saksikan dilayar smartphone anda, Download MYDRAKOR di GooglePlay secara gratis mudah dan cepat, MYDRAKOR nonton film drama korea.
https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/
Post a Comment