Judul Buku: Winter Dreams
Pengarang: Maggie Tiojakin
Tebal: 294 halaman
Cetakan: 1, November 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Sejak awal Nicky F. Rompa sudah digambarkan sebagai anak muda yang tidak punya mimpi, tidak tahu apa yang ia inginkan dalam hidupnya. Kuliah di jurusan komunikasi, tapi tidak tahu apa yang ia cari di sana. Disiksa, tapi bertahan hidup dengan ayahnya. Ibu Nickylah yang ikut campur dan memutuskan Nicky tinggal sementara di Amerika supaya tidak sampai mampus. Nicky mematuhi keinginan ibunya, tanpa mengeluh, tanpa protes, tanpa bertanya sampai kapan ia harus melarikan diri.
Karena tidak punya rencana apa-apa, Nicky pun luntang-lantung dengan Leah, putri Riesma, sepupu jauh ibunya di Boston, Massachusetts. Tidak ada yang dilakukan Nicky sampai Riesma mengusulkan agar Nicky bekerja. Artinya, bekerja pun bukanlah inisiatif Nicky. Maka, Nicky pun bekerja di sebuah toko serba ada milik pasangan imigran asal Vietnam, Mr. dan Mrs. Fong. Saat Mr. Fong bertanya soal mimpi apa yang ingin Nicky realisasikan di Amerika, Nicky mengatakan: “Baru kusadari bahwa aku tidak datang membawa mimpi ataupun aspirasi. Aku tidak ingin jadi apa-apa. Aku cukup puas berbaring telentang di atas ranjang sambil menatap langit-langit kosong. Aku seperti pelampung yang mengapung di atas permukaan laut luas dan terkatung-katung tanpa arah, menelan perguliran hari dan makan tanpa henti seolah aku abadi.” (hlm. 43).
Orang-orang yang Nicky jumpai, para imigran yang datang ke Amerika, digerakkan oleh apa yang dikenal sebagai the American Dreams, sedangkan Nicky tidak punya sekerat mimpi pun. Richard Klaus, imigran dari Jerman. Polina si gadis Rusia. Keluarga Mr. dan Mrs. Fong dari Vietnam. Artin Ruci warga keturunan Albania. Esme, imigran asal Meksiko. Sammy, supir limusin dari Bouaké, Ivory Coast. Mereka semua punya mimpi. Bahkan, Dev Akhtar, imigran asal Pakistan, telah meraih mimpi sekaligus seorang gadis Amerika. Apa yang akan Nicky ingin lakukan kalau ia tidak punya mimpi? Tetaplah ia menjadi seorang illegal alien, buronan, terancam dipenjara atau dideportasi jika tertangkap, setelah visa kunjungannya habis.
Di luar waktu kerjanya, Nicky ngelayap tanpa tujuan. Berpesta, tamasya, konsumsi narkoba, dan bercinta dengan Polina. Riesma menyarankan Nicky mengambil adult education, dan Nicky memutuskan mengikuti kursus creativie writing di bawah pimpinan Artin Ruci. Tapi, jangan salah. Nicky tidak pernah berpikir menjadi penulis.
Winter Dreams adalah novel pencarian mimpi seorang anak muda yang tidak punya mimpi dalam hidupnya. Adakah sesuatu dalam perjalanan hidupnya di Boston yang mampu membuatnya bermimpi dan berkeinginan untuk mewujudkannya? Ada, tentu saja ada. Karena kalau tidak, novel ini tidak akan memberikan apa-apa bagi pembaca selain sekedar perjalanan seorang Nicky sewaktu hidup di Amerika. Artin Ruci membawa Nicky pada sebuah perenungan: “Semua orang ingin menjadi seseorang, terutama di Amerika – aku mengerti itu sekarang. Dan, entahlah, rasanya sungguh tidak nyaman jadi orang yang tidak ingin jadi apa-apa.” (hlm. 231).
Novel ini dituturkan dari perspektif orang pertama, yaitu perspektif Nicky F. Rompa. (Entah kenapa pengarang merasa perlu menambahkan huruf F di tengah nama Nicky dan tidak pernah mengungkap kepanjangannya. Padahal, Nicky kan bukan Charlotte A. Cavatica, si pemintal jaring dalam Charlotte’s Web, yang kepanjangan nama tengahnya tanpa diungkapkan tetap akan kita tahu dengan sendirinya). Seakan-akan pengarang mau menyatakan bahwa, inilah sebenarnya hasil dari keputusan akhir Nicky akan menjadi apa dirinya. Winter Dreams sesungguhnya merupakan hasil karya Nicky sebagai seorang penulis.
Winter Dreams menegaskan kepada kita bahwa keberhasilan sebuah novel tidak semata-mata karena memiliki cerita yang provokatif dan plot yang berpilin-pilin. Tidak ada cerita yang menggemaskan di sini, tidak ada plot yang mencengangkan. Cara penyampaian yang lugas cerdas dengan diksi yang eklektis untuk mengemukakan permasalahan yang kerap tidak luput dari kehidupan manusia, itulah salah satu keberhasilan Winter Dreams
Keberhasilan lain adalah kepiawaian pengarang dalam menghadirkan karakter yang dirancang dengan baik. Keberadaan karakternya, Nicky F. Rompa, sangat membekas dalam benak pembaca. Seorang pria muda yang tidak punya mimpi, tidak punya hasrat untuk menjadi seseorang (ironisnya, ia berada di tengah orang-orang yang mengejar the American Dreams) sehingga otomatis tidak ada keinginan mencapainya. Sejak muncul hingga novel hampir berakhir, karakter ini tetap tak tergoyahkan.
Masih ada kelebihan lain yang sangat menonjol, yaitu seting Boston. Hampir sebagian besar cerita berlangsung di Boston, Massachusetts. Pengarang menunjukkan bahwa ia mengenal dan menguasai Boston sehingga bisa menghadirkan ke hadapan pembaca dengan enteng. Pada gilirannya, pengarang yang pernah enam tahun menetap di Boston, berhasil menebalkan kepercayaan pembaca pada ceritanya.
Akhirnya, sebagaimana semestinya sebuah karya fiksi, Winter Dreams juga membawa pesan untuk kita. Bahwa kita sudah seharusnya bermimpi, sehingga kita bisa melakukan sesuatu untuk mewujudkan mimpi itu. Di sinilah kelebihan lain novel ini, tidak membawa pesan dengan cara yang sama seperti dalam buku-buku lain berslogan seperti “novel pembangun jiwa”, “novel motivasi” atau “kisah sukses inspiratif”. Dan memang, tidak perlu.
Novel ini dituturkan dari perspektif orang pertama, yaitu perspektif Nicky F. Rompa. (Entah kenapa pengarang merasa perlu menambahkan huruf F di tengah nama Nicky dan tidak pernah mengungkap kepanjangannya. Padahal, Nicky kan bukan Charlotte A. Cavatica, si pemintal jaring dalam Charlotte’s Web, yang kepanjangan nama tengahnya tanpa diungkapkan tetap akan kita tahu dengan sendirinya). Seakan-akan pengarang mau menyatakan bahwa, inilah sebenarnya hasil dari keputusan akhir Nicky akan menjadi apa dirinya. Winter Dreams sesungguhnya merupakan hasil karya Nicky sebagai seorang penulis.
Winter Dreams menegaskan kepada kita bahwa keberhasilan sebuah novel tidak semata-mata karena memiliki cerita yang provokatif dan plot yang berpilin-pilin. Tidak ada cerita yang menggemaskan di sini, tidak ada plot yang mencengangkan. Cara penyampaian yang lugas cerdas dengan diksi yang eklektis untuk mengemukakan permasalahan yang kerap tidak luput dari kehidupan manusia, itulah salah satu keberhasilan Winter Dreams
Keberhasilan lain adalah kepiawaian pengarang dalam menghadirkan karakter yang dirancang dengan baik. Keberadaan karakternya, Nicky F. Rompa, sangat membekas dalam benak pembaca. Seorang pria muda yang tidak punya mimpi, tidak punya hasrat untuk menjadi seseorang (ironisnya, ia berada di tengah orang-orang yang mengejar the American Dreams) sehingga otomatis tidak ada keinginan mencapainya. Sejak muncul hingga novel hampir berakhir, karakter ini tetap tak tergoyahkan.
Masih ada kelebihan lain yang sangat menonjol, yaitu seting Boston. Hampir sebagian besar cerita berlangsung di Boston, Massachusetts. Pengarang menunjukkan bahwa ia mengenal dan menguasai Boston sehingga bisa menghadirkan ke hadapan pembaca dengan enteng. Pada gilirannya, pengarang yang pernah enam tahun menetap di Boston, berhasil menebalkan kepercayaan pembaca pada ceritanya.
Akhirnya, sebagaimana semestinya sebuah karya fiksi, Winter Dreams juga membawa pesan untuk kita. Bahwa kita sudah seharusnya bermimpi, sehingga kita bisa melakukan sesuatu untuk mewujudkan mimpi itu. Di sinilah kelebihan lain novel ini, tidak membawa pesan dengan cara yang sama seperti dalam buku-buku lain berslogan seperti “novel pembangun jiwa”, “novel motivasi” atau “kisah sukses inspiratif”. Dan memang, tidak perlu.
0 comments:
Post a Comment