Judul Buku: The Lover's Dictionary
Pengarang: David Levithan (2011)
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Tebal: 216 hlm
Cetakan: 1, Juni 2011
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Ineffable, ks. tak
terlukiskan; tak terkatakan
Pada akhirnya kata-kata ini hanya akan jadi pantulan
paling samar, kehilangan sensasi yang tak dapat diungkapkan kata-kata. Mencoba
menulis tentang cinta pada akhirnya sama saja seperti mencoba memiliki kamus
yang menggambarkan kehidupan. Tak peduli seberapa banyak kata yang ada di sana,
mereka takkan pernah cukup.
(124).
Ineffable merupakan salah satu dari seratus sembilan puluh tiga lema dalam novel dewasa bertajuk The Lover's Dictionary (Kamus Sang Kekasih). Novel ini memang disusun seperti kamus, setiap kata merupakan inti dari apa yang akan disampaikan dalam narasinya. Susunan seperti ini unik, walaupun masih tergolong biasa dibandingkan The Last Window-Giraffe (Edisi Indonesia diterbitkan Penerbit Bentang, 2008). Dikreasi sebagai novel kamus, karya Péter Zilahy ini dilengkapi dengan foto dan gambar-gambar aneka warna yang indah.
Sayangnya, selain bentuk penulisan yang unik, novel ini tidak bisa dibilang istimewa. Yang disampaikan David Levithan, si pengarang, hanyalah sebuah kisah cinta yang teramat biasa dari dua anak manusia anonim. Kabarnya ditulis mengikuti tradisi Valentine’s Day yang dilakukan Levithan, menulis cerita untuk keluarga dan temannya.
David Levithan adalah pengarang gay yang telah menerbitkan
beberapa novel YA bertema homoseksual sehingga wajar jika awalnya timbul
pertanyaan: apakah novel ini merupakan kamus cinta sepasang gay? Tapi saya berkesimpulan bahwa si
"aku" adalah pria dan si "kau" adalah wanita.
"Aku", katakanlah seperti jenis kelamin sang pengarang meskipun dia gay, sedangkan "kau"
adalah wanita karena dia mengatakan kalimat ini: "Aku tidak
sungguh-sungguh melihat diriku. Dan ketika aku benar-benar melihat diriku,
biasanya aku masih seperti gadis berumur
delapan belas tahun, bertanya-tanya apa sebenarnya yang kulakukan."
(hlm. 110).
Cerita disampaikan menggunakan perspektif orang kedua, si pria sedang berbicara dan mengingatkan si wanita mengenai apa yang terjadi dalam hubungan percintaan mereka. Mereka berkencan lewat perkenalan online, menemukan sejumlah kesamaan dalam diri mereka, lalu si pria mengusulkan untuk tinggal bersama. Sekalipun tidak dalam status kencan dan tidak hidup terpisah, si wanita terbiasa menghitung hubungan mereka dalam hitungan kencan (kencan kedua, kencan kedua, kencan keenam, dst). Hubungan dalam hitungan bulan baru nanti diganti seiring perjalanan cinta mereka.
Mengenal si wanita lebih jauh, si pria mengetahui jika kekasihnya seorang alkoholik yang suka lupa menutup pasta gigi sehabis sikat gigi. Tetapi, ia mendapati juga jika wanita itulah yang dengan berani pertama-tama mengucapkan "I love you".
David Levithan |
Tapi kita mengetahui ternyata si pria tipe setia. "Sama seperti perselingkuhanmu, kesetiaanku juga tanpa pertimbangan." (hlm. 25). Meskipun marah besar dan sadar kalau tak ada yang bakal tetap sama lagi, si pria tidak memutuskan kekasihnya. Pengarang menuturkan dalam sebuah adegan manis setelah sebelumnya si wanita mengira hubungan mereka benar-benar sudah tamat.
Kau mulai menangis, dan aku bergegas mengatakan, "Bukan -maksudku bagian yang ini sudah tamat. Kita harus memasuki bagian berikutnya."
Dan kau berujar, "Aku tak yakin kita bisa."
Bahkan tanpa memikirkannya lebih dulu aku menyahut, "Tentu saja kita bisa."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" kau bertanya.
Dan aku berkata, "Pokoknya aku yakin. Tidakkah itu cukup?" (hlm. 195)
Keyakinan si prialah yang membuat mereka tetap bersama, tetap tinggal sekamar dan seapartemen. Tapi toh si pria tetap bertanya kepada kekasihnya apakah kekasihnya menyesali hubungan mereka. Si wanita menjawab: "Aku kehilangan beberapa hal. Tapi kalau aku tidak memilikimu, aku akan kehilangan lebih banyak lagi. " (hlm. 147). Adakah yang lebih manis dari jawaban itu jika Anda pria dan berada dalam situasi yang sama?
Mencoba menulis tentang cinta pada akhirnya sama saja
seperti mencoba memiliki kamus yang menggambarkan kehidupan. Tak peduli
seberapa banyak kata yang ada di sana, mereka takkan pernah cukup. (124). Itulah
kira-kira yang menjadi gambaran sesungguhnya novel ini. Takkan pernah cukup,
bagi pembaca yang menginginkan lebih.
0 comments:
Post a Comment