Judul Buku: Snow
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Tebal: 731 hlm; 13 X 20,5 cm
Cetakan: 1, April 2008
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Tebal: 731 hlm; 13 X 20,5 cm
Cetakan: 1, April 2008
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Ferit Orhan Pamuk atau Orhan Pamuk adalah novelis Turki yang sangat populer dalam sastra pasca-modernis. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa dan mendapatkan berbagai penghargaan di dalam negeri dan internasional. Puncaknya, pada tanggal 12 Oktober 2006, Pamuk menggondol Nobel bidang kesusastraan atas karya-karyanya. Ia menjadi pengarang Turki pertama yang memperoleh penghargaan ini. Untuk diketahui, Nobel Sastra diberikan pada pengarang yang "karyanya paling bagus dan memiliki idealisme yang maju" dan karya ini merujuk pada keseluruhan karya si pengarang, bukan kepada karya satuan.
Pamuk secara teratur mulai menulis sejak tahun 1974 dengan karya perdana bertajuk Karanlık ve Işık (Darkness and Light) yang menjadi salah satu pemenang Milliyet Press Novel Contest tahun 1979. Novel perdana ini diterbitkan pada tahun 1982 dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları (Mr. Cevdet and His Sons) dan memenangkan Orhan Kemal Novel Prize. Selanjutnya ia menulis novel-novel pemenang berbagai penghargaan seperti Sessiz Ev (The Silent House, 1983), Beyaz Kale (The White Castle, 1985), Kara Kitap (The Black Book, 1990), Yeni Hayat (New Life, 1995), dan Benim Adım Kırmızı (My Name is Red, 1998). Novel yang disebutkan terakhir di Indonesia telah diterbitkan Serambi sebagai Namaku Merah Kirmizi (2006). Novel inilah yang kian menjulangkan reputasi Pamuk di kancah literatur internasional.
Kar (Snow, 2002), novel ketujuh Pamuk, diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi menjadi Di Balik Keheningan Salju. Edisi Prancis novel ini, La Neige, memenangkan penghargaan Prix Medicis Etrange tahun 2005 dan oleh New York Times dinyatakan sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik tahun 2004.
Tokoh utama Snow
adalah Kerim Alakuşoğlu yang lebih suka dipanggil inisialnya, Ka,
seorang penyair yang masih lajang dalam usianya yang ke-42. Ia
meninggalkan Istanbul menuju sebuah kota bernama Kars, dalam sebuah perjalanan di tengah-tengah badai salju. Ka
baru datang dari Jerman setelah 12 tahun meninggalkan Turki dan
menjadi tahanan politik, kendati ia tidak pernah benar-benar menjadi
aktivis politik. Ka adalah seorang pria yang jujur, beriktikad baik, dan
melankolis (hlm. 11). Ia bermasalah dengan kebahagiaan, menghindari
kebahagiaan karena takut akan kepedihan yang mungkin mengikuti
kebahagiaan itu.
Sebenarnya
Ka datang ke Istanbul hanya untuk menghadiri pemakaman ibunya. Tapi
setelah 4 hari di kota itu, ia memutuskan mengadakan perjalanan ke
Kars, kota yang ia pernah kunjungi 20 tahun berselang. Ia datang ke
Kars dengan tujuan meliput pemilihan walikota yang akan segera
berlangsung setelah walikota Kars tewas dibunuh. Selain itu ia
bermaksud menguak misteri epidemi bunuh diri yang melanda sejumlah
gadis di Kars, salah satunya, gadis dari kelompok 'gadis-gadis
berjilbab'.
Seorang
teman sekelas Ka dahulu di Istanbul, si cantik Ipek Yildiz, ternyata
telah menetap di Kars bersama Turgut, ayahnya yang ateis, dan Kadife -adiknya, mantan model yang telah menjadi pemimpin 'gadis-gadis
berjilbab'. Mereka mengelola Hotel Istana Salju. Ipek telah bercerai
dari suaminya, Muhtar, yang berambisi menjadi walikota Kars. (Saya
tidak setuju dengan sinopsis sampul belakang novel yang menyebutkan
bahwa Ka berhasrat untuk menemukan cinta masa lalunya karena dalam
novel tidak digambarkan jika Ka pernah jatuh cinta atau menjalin cinta
dengan Ipek sebelumnya). Di Kars, Ka menghuni Hotel Istana Salju
sambil melakukan investigasi. Seiring dengan investigasinya, badai
salju menutup jalan keluar dari Kars dan membuat kota ini terisolasi.
Kedatangan Kar dalam posisi sebagai jurnalis koran Republican
membuat berbagai kalangan penasaran dan ingin tahu motivasi Ka yang sebenarnya. Hal ini membuat hidupnya mau tidak mau berpapasan dengan
berbagai karakter seperti pengelola koran lokal Kars (Serdar), anggota
kepolisian, prajurit pembela negara sekuler Turki, agen MIT, syekh
karismatik bernama Saadettin Cevher, seorang lelaki cacat yang
menganggap dirinya sebagai agen Islam tetapi bermental Casanova,
murid-murid madrasah aliah yang tengah bergelut dengan cinta dan
cita-cita serta seorang seniman teater yang mencoba bangkit dari
kegagalan karier masa lalunya. Kars yang terisolasi dalam selimut
salju, ternyata bukan tempat yang damai dan bebas teroris seperti yang
diungkapkan oleh Kasim Bey, asisten kepala polisi Kars.
Diawali
dengan peristiwa pembunuhan direktur Institut Pendidikan Kars -Profesor Nuri Yilmaz- oleh seorang ekstremis Muslim yang disaksikan Ka dan Ipek di sebuah toko kue, investigasi Ka berubah menjadi
usaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Ia mesti melalui rangkaian
peristiwa yang akhirnya meledak dalam sebuah kudeta berdarah pada sebuah
pementasan teater dan berakhir dengan terbunuhnya seorang seniman teater
yang ambisius.
"Sejarah
dan teater terbuat dari bahan yang sama, seperti dalam teater, sejarah
memilih siapa orang yang tepat untuk menjadi pemeran utama. Dan, sama
seperti para aktor yang mengerahkan seluruh keberaniannya di atas
panggung, sedikit orang yang terpilih sebagai pelaku sejarah juga harus
melakukan hal yang sama," demikian keyakinan Sunay Zaim (hlm.
335-336). Keyakinan inilah yang memanaskan konflik yang memang merebak
di Kars, kemelut antar agama dan sekularisme serta keruhnya suasana
karena keputusan-keputusan negara sekuler Turki. Dan di tengah-tengah
panasnya konflik ini Ka terjebak, berusaha memperjuangkan kebahagiaan
yang ternyata hanya akan mengukuhkan keyakinannya sendiri bahwa kepedihan
memang berpotensi membuntuti kebahagiaan.
Sebagian
besar isi novel dituturkan dari perspektif orang ketiga, dari sudut
pandang Ka, sang karakter utama. Tapi, terkadang Orhan Pamuk, sang
novelis, menggulirkan cerita dari sudut pandang orang pertama, yakni
dari sudut pandang teman lama Ka. Teman Ka berkisah berdasarkan buku
catatan Ka dan berbagai sumber yang ia temukan ketika menelusuri
kehidupan Ka sampai di Kars, setelah 4 tahun berlalu dan tokoh utama
ini tewas dibunuh. Dialah yang menulis novel berjudul Snow ini,
menggunakan judul buku Ka yang belum sempat diterbitkan. Narator orang pertama
ini yang kemudian diketahui bernama Orhan, tidak lain adalah Orhan
Pamuk sendiri dalam novel. Hal ini diperkuat oleh keterangan di bab
penutup novel bahwa ia telah menulis novel The Black Book
dan memiliki seorang anak perempuan bernama Rüya, nama yang sama kepada
siapa novel ini dipersembahkan Orhan Pamuk.
Dalam
novel ini, Orhan Pamuk memperlihatkan dirinya sebagai novelis yang
senang menggunakan narator spoiler. Narator yang ada dalam novel tak
segan-segan menceritakan apa yang akan terjadi pada tokoh-tokoh yang
ditemui Ka, sementara dalam ceritanya Ka sendiri belum mengetahuinya. Dan hal
ini telah dimulai sejak bab pertama. Yang paling menonjol (dan bikin
saya jengkel tapi juga geli) adalah tentang kematian Necip dan salah
satu matanya yang akan tertembus peluru.
Snow
hadir bagaikan refleksi kehidupan bangsa Turki sendiri. Sebuah bangsa
yang terbelah antara tradisi, agama, dan modernisasi. Terdapat kalangan
yang membenci modernisasi dan pengaruh Eropa, tapi juga ada kalangan
yang menyukai dan mendukungnya. Eropa dianggap kafir dan menjadi
impian yang membuat bangsa Turki mengabaikan kebudayaannya sendiri.
Pertentangan dua kubu membuat terciptanya perseteruan yang merambat ke
dunia politik antara kaum sekuler dan kaum islamis. Dalam novel ini
pertentangan diperlihatkan secara jelas melalui kasus pelarangan
pemakaian jilbab terhadap siswa-siswa perempuan di institusi pendidikan
yang antara lain telah menyebabkan seorang gadis berjilbab memutuskan
mengakhiri hidupnya sendiri. Pelarangan ini merupakan keputusan negara
sekuler Turki. Hal ini tentu saja mendatangkan kemarahan pada berbagai
kalangan Muslim yang mendukung teguh pemakaian jilbab dan rela
membela walau harus melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya, di
Turki, memang tidak leluasa warganya untuk memilih keyakinan yang
diinginkan. Lihat saja apa yang membawa Ka bertengger di ujung tanduk.
Secara tak terduga, Snow menjadi sebuah thriller
politik berbumbu romansa percintaan yang cukup kental. Ka, yang dalam
hidupnya berusaha menjauhkan diri dari dunia politik, tak menyangka
keputusannya datang ke Kars justru memerangkap dirinya dalam
intrik-intrik dunia politik sebuah kota kecil yang mencekam.
Keterlibatan dirinya bahkan menjadi teori atas tewasnya dirinya pada
suatu malam di jalanan Frankfurt dan dunia kehilangan puisi-puisi yang ditulisnya di balik keheningan salju Kars.
Tapi, meski Snow menjadi sebuah kisah thriller, Orhan Pamuk tidak bermaksud (atau tidak mampu?) membuatnya menjadi thriller
yang mengundang penasaran pembaca. Orhan Pamuk menguak kematian Ka
terlalu cepat. Saya lebih suka membayangkan kematian Ka baru
disingkapkan di penghujung novel. Jika ketahuan di penghujung novel
pembaca akan terus-menerus bertanya nasib Ka di Kars, apakah ia akan
tewas dalam situasi yang mencekam atau justru selamat dan meninggalkan
Kars. Pada titik tertentu Orhan Pamuk menggambarkan betapa keberadaan Ka
di Kars membuat ia terjebak di antara hidup dan mati sehingga
berpotensi menciptakan ketegangan. Sayangnya sudah ketahuan ia akan
lolos dari Kars dan meninggal sekitar 4 tahun kemudian.
Sejatinya, Snow
adalah novel yang baik, mengusung kisah lokal membumi yang tidak
mengada-ada. Kisahnya juga tidak sulit untuk diikuti. Pantaslah kalau
novel ini dinobatkan sebagai salah satu buku terbaik oleh media massa
tertentu. Hanya saja, untuk bisa menikmati novel ini bagi yang tidak
terbiasa dengan gaya penulisan Orhan Pamuk (atau pengarang
internasional sejenis) perlu kesabaran untuk menuntaskannya. Kendati
gemar spoiler, Orhan bukanlah penulis ringkas. Pembaca mesti bertahan
membaca narasinya yang panjang-panjang dan dialognya yang pada beberapa
tempat juga panjang-panjang dan terkesan sedang mengkhotbahi pembaca.
Gaya penulisan seperti ini di sisi lain memang memberikan kontribusi
yang baik bagi novel. Orhan Pamuk jadi memiliki ruang yang leluasa
untuk mengeksplorasi karakter-karakter ciptaannya beserta dengan
pikiran dan perasaan mereka. Hal ini berdampak pada eksistensi
karakter-karakter yang terasa sangat kuat.
Hal
yang mengundang penasaran saya adalah 19 puisi yang diciptakan Ka
selama 3 hari berada di Kars. Orhan, sang narator orang pertama dalam novel, bisa mengisahkan proses terciptanya puisi-puisi itu setelah 4 tahun Ka
mengalami writer's block. Tapi, tidak ada 1 pun puisi yang
dikutip dalam novel (termasuk puisi yang diketahui Orhan dari sebuah
video rekaman). Aneh juga jika Ka mencatat detail-detail kejadian yang
ia alami beserta proses kreatif puisi-puisi tersebut, tapi tidak
menulisnya dalam jurnal yang dijadikan salah satu sumber data oleh
Orhan, bapaknya Rüya. Manuskrip kumpulan puisi Ka –kemudian-
diceritakan, mungkin, dibawa pergi pembunuh Ka, sehingga Orhan tidak
tahu isinya.
Snow (Salju) bagi Kadife dan Ipek adalah tentang 'betapa
indah dan pendeknya kehidupan dan meskipun saling membenci, semua
orang memiliki banyak persamaan. Karena itulah salju mempersatukan umat
manusia. Salju seolah-olah menjadi selimut yang menyelubungi
kebencian, keserakahan, dan kemarahan, dan membuat semua orang merasa
berdekatan' (hlm. 191). Saya rasa inilah yang mau disampaikan oleh
Orhan Pamuk pada pembaca. Keberadaan perbedaan di antara manusia
bukanlah alasan untuk menciptakan pertikaian dan saling membunuh.
Hasil
terjemahan edisi Indonesia terbilang bagus sehingga secara pribadi
saya bisa membacanya dengan lancar. Hanya saja, menurut saya nama-nama
seperti Hotel Istana Salju, Kedai Teh Teman Bahagia, Pondok Bir
Kegembiraan (ada juga Rumah Bir Kesenangan), Jalan Prajurit, Toko Kue
Hidup Baru, dan Studio Foto Istana Cahaya sebaiknya tetap memakai
bahasa asli. Karena edisi Indonesia ini diterjemahkan dari edisi
Inggris, saya yakin pengalihan nama-nama itu dari bahasa Turki telah
terjadi dalam proses translasi ke bahasa Inggris. Padahal, menurut saya,
lebih tepat jika menggunakan bahasa Turki dan diberi terjemahannya.
Saya
juga bertanya-tanya soal Lazuardi yang pada beberapa tempat
menggunakan nama Biru dan Blue (hlm. 49 & 557). Karena saya tidak
membaca edisi Inggrisnya, saya menduga Lazuardi adalah inisiatif penerjemah edisi Indonesia yang sayangnya tidak konsisten.
Selain itu, sepertinya novel terjemahan ini masih membutuhkan
catatan-catatan tambahan untuk kesempurnaannya. Seperti yang dilakukan
Anton Kurnia dalam novel terjemahannya, Lolita (Serambi, Maret 2008),
terkadang catatan kaki memang dibutuhkan. Misalnya penjelasan sebutan
Bey atau Ham1m, MIT, PKK, atau siapa itu Edward G. Robinson.
Sebelum masuk ke dalam novel, kita akan membaca sebuah kutipan yang mengatakan bahwa: "Politik
dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di
tengah-tengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil
diabaikan" (Stendhal, The Charterhouse of Parma, hlm. 7). Orhan Pamuk telah menembakkan 'pistol' ke tengah-tengah novel Snow,
sebuah konser penuh warna dari sang bintang yang telah
terbit di Timur, yang sungguh sayang untuk dilewatkan. Setidaknya, bagi saya.
2 comments:
Terimakasih reviewnya, jadi semakin penasaran untuk baca karya beliau..
Thanks review nya lengkap
Post a Comment