Judul buku: Interlude
Pengarang: Windry
Ramadhina
Editor: Gita Romadhona
& Ayuning
Desain & Ilustrasi
cover: Levina Lesmana
Tebal: viii + 372 hlm;
13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2014
Penerbit: GagasMedia
Romansa masih menjadi
andalan Windry Ramadhina dalam novel keenamnya, Interlude. Kecuali Metropolis (2009), novel-novel Windry
sebelumnya yaitu Orange (2008), Memori (2012), Montase (2012), dan London mengambil tema romansa. Kelebihannya, Windry mampu menghasilkan karya dengan
tema generik yang simpel tapi tetap menarik dibaca.
Sejoli karakter utama
dalam novel ini adalah Hanna dan Kai, dua anak muda yang hidup menanggung beban
psikologis yang berbeda.
Hanna Sjahrir yang
berparas jelita adalah seorang gadis korban pemerkosaan. Setahun setelah peristiwa
yang dialaminya, ia meninggalkan rumah orangtuanya dan melanjutkan kuliah yang
tertunda dua semester. Meskipun setahun telah berlalu, bayangan pemuda yang
memerkosanya masih tetap mengusik ketenangannya. Apalagi rekan-rekan
mahasiswanya menggunjingkannya dan menghadiahinya tatapan yang tidak biasa. Ia
indekos sendirian di sebuah apartemen, dan hanya ditemani suara-suara yang
direkamnya menggunakan alat perekam suara. Sementara itu, sembari menepis rasa
takut yang selalu muncul, sebulan sekali ia masih harus bertemu terapisnya.
Dia
ingin terjun ke laut dan berubah menjadi buih seperti Putri Duyung Kecil.
Dengan begitu, lukanya akan luruh bersama air dan dia bisa menghilang. Dia bisa
lari dari dunia, dari masa lalunya, dari tatapan dan gunjingan yang
menghakiminya... (hlm. 72-73).
Kai Risjad adalah
seorang pemuda produk dari keluarga disfungsional. Setelah anak-anak pasangan
Risjad dewasa, hubungan pasutri itu malah menuju kehancuran dan terancam
bercerai. Suasana dalam rumah yang tidak nyaman, membuat anak-anak keluarga
Risjad meninggalkan rumah. Kai masih belum resmi meninggalkan rumah. Tapi ia
lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Memamerkan keberengsekan pada
perempuan diabaikannya habis ditiduri. Bermusik sebagai gitaris grup musik jazz
-Second Day Charm- bersama Gitta dan Jun tanpa ambisi seperti kedua rekannya
untuk menjadi artis rekaman label rekaman besar. Menambah keberengsekannya, Kai
juga mabuk-mabukan. Ia sudah cuti setahun dari kuliahnya di Fakultas Hukum dan
tidak berniat melanjutkan kuliahnya itu. Padahal, selama enam semester, Kai
bisa mempertahankan IP 4.
Jadi,
untuk apa aku peduli? Aku tidak diinginkan. Di dunia ini, tidak ada tempat
untukku. Dan, semua jadi tidak penting. Keluarga, musik, kuliah. Tidak penting.
Perempuan juga. Aku tidak bisa serius dengan perempuan. Aku tidak percaya pada
hubungan. (hlm. 176).
Gitta, vokalis dan
pemain piano dalam Second Day Charm, adalah salah satu korban keberengsekan
Kai. Demi Kai, Gitta meninggalkan kekasihnya, tapi kemudian menghadapi
kenyataan dicampakkan oleh Kai. Selain apartemen Gitta yang berada satu
bangunan dengan apartemen Hanna, kedai kopi bernama Kofilosofi yang bagian
atasnya dimanfaatkan sebagai studio musik, Kai kerap menghabiskan waktu bermain
gitar di taman kecil di atap bangunan apartemen Gitta. Di sanalah, Hanna dan
Kai pertama kali bertemu dan Kai tidak bisa menolak minat yang muncul dalam
dirinya terhadap gadis secantik Hanna. Tapi Hanna menunjukkan respons ketakutan
yang dianggap Kai sebagai kepurapuraan dalam menghadapi laki-laki yang
menyukainya. Dari Gitta yang -kebetulan- juga kuliah di tempat yang sama dengan
Hanna, Kai mengetahui apa sebenarnya yang telah membentuk kepribadian Hanna. Kenyataan
itu membuat Kai ingin memperbaiki hubungannya dengan Hanna dan bertekad tidak akan
kehilangan gadis malang itu.
Tapi, setelah berbagai
upaya dilakukan untuk memiliki Hanna, Kai terbentur dengan realita kalau Hanna
belum bisa membebaskan dirinya dari belenggu masa lalu.
"Rasa
takut ini. Aku tidak yakin rasa takut ini akan pernah meninggalkanku."
"Itu
yang paling membuatku marah." Suara Kai meninggi. Kai merasakan emosi
memenuhi dadanya. "Kau membiarkan rasa takut itu menjadi begitu kuat. Kau
memeliharanya. Kau menyerah. Berhenti hidup seperti ini, Hanna. Kau berhak
bahagia. Aku bisa membuatmu bahagia. Masih ingat kata-kataku di Sepa? Aku
berjanji membantumu, kan? Aku tidak main-main. Kau hanya harus
memercayaiku."
"Bahagia?"
Hanna membalas Kai. Namun, suara gadis itu lirih dan parau. Matanya
berkaca-kaca. "Setelah apa yang terjadi, menurutmu, aku masih bisa
bahagia? Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali.
Dan, aku sudah hilang, apa kau tahu? Selamanya, aku akan seperti ini. Hidup
dalam mimpi buruk. Aku tidak bisa memaksa tubuhku lupa. Itu yang tidak kau
mengerti." (hlm. 292-293).
Dinilai dari tema
utama, Interlude jauh dari istimewa. Romansa dengan hambatan internal
seperti yang dialami Hanna dan Kai bukanlah hal yang baru. Selama membaca, mungkin
kita jadi teringat karya fiksi yang pernah kita baca yang menggunakan salah
satu dari karakter seperti itu. Kendati demikian, novel ini bukan tidak
menarik.
Sebagaimana dalam
karya-karya sebelumnya, Windry berhasil meramu sebuah kisah yang enak diikuti
sejak dimulai. Windry memiliki kecakapan merangkai kalimat dengan memanfaatkan
diksi yang tidak aneh-aneh. Rangkaian kalimatnya bernas, enak dibaca, dan kerap
inspiratif. Ia tidak perlu menghiasi kalimat-kalimatnya dengan koleksi
kata-kata dari bahasa asing untuk menunjukkan kemahirannya. Dialog-dialognya
pun enak dibaca dan sering mengesankan, terlebih dialog-dialog yang dibangunnya
di antara Hanna dan Kai. Rangkaian kalimat dan dialog-dialog yang diolah dengan
baik memberikan kekuatan pada karakterisasi Hanna dan Kai sehingga kedua
karakter ini tidak menjadi biasa-biasa saja. Kita akan dibuat penasaran dengan
perkembangan kedua karakter itu dari masa-masa pesimis hingga masa-masa optimis
dalam kehidupan mereka. Dan kita akan menyadari akhirnya, kalau kisah Hanna dan
Kai memang harus dihadirkan sebagai kisah cinta. Karena hanya cintalah yang
bisa menjadi katalisator penuntasan problematika kehidupan yang mereka alami.
Tentu saja, Windry
tidak hanya fokus pada kedua karakter utamanya. Selain kisah cinta Hanna dan
Kai, masih ada kisah cinta lain yang melibatkan Gitta, Jun, dan mantan kekasih
Gitta yang pernah dicampakkannya karena Kai. Seperti yang dirasakan Kai, kita
juga akan dibuat gemas dengan cinta segi tiga itu. Bergabungnya mantan kekasih
Gitta dalam Second Day Charm akan meramaikan dan memanaskan kisah cinta yang
satu itu. Windry sukses membuat kisah cinta ini sebagai bagian tak terpisahkan
dari konflik utama, dan bukan digresi yang sekadar mempertebal novel. Apa yang
dialami Gitta dalam hubungan cinta itu akan berdampak pada kelanjutan hubungan
Hanna dan Kai.
Mungkin, Interlude
akan lebih mengesankan jika disertai CD berisi soundtrack seperti novel-novel Andrei Aksana. Karena dengan begitu,
kita bisa mengetahui seperti apa nada-nada lagu berjudul Hanna yang diciptakan
Kai. Bagaimanapun, sekadar teks lagu (hlm. 367) belumlah cukup.
0 comments:
Post a Comment