26 February 2013

Montase


Judul Buku: Montase
Pengarang: Windry Ramadhina
Tebal: viii + 360 hlm; 13 x19 cm
Cetakan: 1, Desember 2012
Penerbit: GagasMedia

 




Perbedaan pilihan jalan yang akan ditempuh menuju masa depan antara seorang anak dan orangtuanya bukanlah topik yang baru dalam dunia fiksi. Windry Ramadhina mengangkat kembali topik yang sudah sangat jamak ini dalam novel keempatnya, Montase. Ia memberikan cita rasa baru dengan memasukkan topik ini ke dalam kisah yang bersinggungan dengan dunia perfilman, khususnya film dokumenter. 

Windry Ramadhina menjadikan anak dalam novel ini -bernama Rayyi Karnaya- sebagai narator orang pertama. Rayyi adalah putra semata wayang Irianto Karnaya, pemilik rumah produksi yang memproduksi sinetron dan film-film yang semata-mata dibuat untuk tujuan komersial. Irianto berkeinginan menjadikan Rayyi sebagai pengganti posisinya di kursi produser dan karenanya memutuskan Rayyi kuliah Peminatan Produksi di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Meskipun masih dalam dunia yang sama, keinginan Rayyi tidak sejalan dengan keinginan ayahnya. Pemuda yang dipanggil dengan nama Bao Bao oleh teman-teman kuliahnya ini sama sekali tidak berkeinginan menjadi produser. Lantaran diperkenalkan mendiang ibunya dengan film dokumenter The Man with a Movie Camera karya sineas legendaris Uni Soviet, Dziga Vertov, Rayyi tertarik menjadi pembuat film dokumenter. Tidak heran ia senang menyusup ke kelas Peminatan Dokumenter. Bersama tiga teman dekatnya -Sube, si bule Makassar; Bevina, gadis dengan kecantikan Natalie Portman; Andre, si pendiam- mereka masuk kelas Dokumenter yang diampu Samuel Hardi, produser sekaligus sutradara film dokumenter terbaik Asia. Sekalipun untuk itu, ia tidak mendapat kredit apa pun. Bagi Rayyi, yang penting adalah bisa belajar film dokumenter sehingga mampu membuat film sekelas The Man with A Movie

Di kelas Peminatan Dokumenter ini, Rayyi bertemu Haru Enomoto, seorang gadis Jepang yang ceroboh. Haru adalah mahasiswi Tokyo Zokei University yang dikirim kampusnya untuk belajar dua semester di IKJ. Ia mengambil Peminatan Dokumenter karena kedua orangtuanya menyukai film dokumenter. Padahal, sebenarnya, Haru lebih senang melukis. Hanya saja, berbeda dengan Rayyi, gadis itu lebih bisa berdamai dengan keinginan orangtuanya. Sebelumnya, Rayyi pernah bertemu gadis mungil dengan senyum perahu naga itu di sebuah festival film dokumenter berskala nasional di Jakarta yang diselenggarakan oleh Greenpeace. Dengan film tentang sakuranya, Haru mengalahkan Rayyi karena berhasil lolos seleksi. 

Oleh Samuel, para mahasiswa diberikan tugas membuat film pendek berdurasi lima sampai tujuh menit sebagai tugas pertama. Secara tidak terduga, Rayyi menemukan kalau Haru bisa dimanfaatkan untuk menjadi objek dalam film pendeknya., dan ternyata Haru tidak keberatan. Setelah berhasil merekam Haru yang sedang mengamati sculpture setangkai lili raksasa di ruang pameran Galeri Nasional, timbul ketertarikan intens dalam hati Rayyi. Pemuda yang awalnya tidak peduli dengan Haru berubah semakin menikmati kehadiran gadis itu dan ketagihan merekam gambarnya. The Girl with a Movie Camera adalah judul film pendek mengenai Haru yang dibuat Rayyi. Dengan film ini, Samuel diam-diam mengakui bakat Rayyi dan menawarinya magang di rumah produksinya. 

Sayangnya, bukannya magang di rumah produksi Samuel, Rayyi malah mengikuti tuntutan ayahnya untuk magang di rumah produksi Karya Karnaya. Ia mesti terlibat pembuatan film yang diproduseri Irianto. Rayyi pun terpaksa menolak saran Samuel untuk bersama Haru mengikuti International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), kompetisi tahunan yang diadakan oleh Jan Vrijman. Sekalipun materi untuk kompetisi ini telah tersedia. Haru-lah yang mencoba mengingatkannya. "Rayyi, kalau kau menyukai film dokumenter, jangan bersikap setengah-setengah," kata gadis itu (hlm. 123). 

 
Windry Ramadhina
 Sebagaimana ketiga novel terdahulunya, Orange (2008), Metropolis (2009), dan Memori (2012), Montase yang dikembangkan dari cerpen berjudul Sakura di Bulan April merupakan novel yang sedap dibaca. Windry Ramadhina menggerakkan kisahnya menggunakan kalimat-kalimat yang rapi dengan bahasa yang baik dan upaya untuk menghindari narasi yang bertele-tele. Kali ini ia sangat  memahami konsekuensi pemilihan sudut pandang orang pertama untuk menggulirkan kisahnya sehingga sejak awal hingga akhir tidak terpeleset menjadikan Rayyi narator maha tahu. Kendati tidak sangat gamblang, Windry Ramadhina pun bisa  menyajikan proses pembuatan film dokumenter dan jenis-jenis kamera dalam pembuatan film ini dan mampu meyakinkan pembaca. Romansa yang dihidupkannya di antara Samuel Hardi dan Bevani yang bergulir bersamaan dengan romansa Rayyi-Haru mampu disiasati tanpa mennciptakan digresi. 

Konflik di antara Rayyi dan ayahnya akan menerbitkan pertanyaan dalam benak pembaca selama membaca meskipun penyelesaiannya tidak sulit ditebak. Apakah Irianto tetap akan bersikeras menjauhkan Rayyi dari kegemarannya pada film dokumenter? Ataukah Rayyi tetap akan memperjuangkan passion-nya sekalipun berarti harus menentang ayahnya? Dalam penyelesaian konflik itu, Haru akan mempengaruhi keputusan yang diambil Rayyi. Kita akan bisa menebak akhirnya, karena bagaimanapun, Montase tetaplah novel bermuatan cinta. Dan bukankah cinta memiliki kekuatan untuk mencerahkan kehidupan? 

Selain kisah perjuangan menggumuli passion dan meraih mimpi serta cinta, Montase juga bermuatan kisah persahabatan. Momen terindah yang tumbuh dari persahabatan di dalam novel ini muncul di bagian berjudul Semangkuk Internet Asin. Saat itu, Rayyi bersama teman-temannya merayakan ulang tahun Haru yang kedua puluh satu sambil makan mi instan. Sangat mengharukan, apalagi ketika kuah mi instan Rayyi menjadi asin karena bercampur air matanya sendiri.

Dalam skenario film, istilah montase dipakai untuk menunjukkan pengambilan adegan berkesinambungan dan membentuk satu rangkaian kendati diambil dari beberapa lokasi berbeda. Misalnya jika seorang sedang terkenang dengan kekasihnya yang telah tiada, beberapa adegan berdua semasa kekasihnya masih hidup ditampilkan secara berurutan dalam durasi yang singkat. Istilah ini dipakai menggantikan judul awalnya, Sakura Haru. Seperti yang bisa kita baca dalam situs pengarang, Sakura Haru tidak hanya mengalami penggantian judul, melainkan juga perombakan cerita. Menurut Windry, perombakan yang terjadi lebih dari tujuh puluh persen bagian novel mencakup konflik, karakter, seting, dan adegan. Ia dituntut melakukan riset mengenai film dokumenter, berkunjung dan ikut kuliah di IKJ agar bisa membangun suasana perkuliahan di dalam novelnya. Latar belakang fotografi yang dibangun sebelumnya diubah menjadi sinematografi, dan Erod Matin, fotografer yang juga pernah muncul dalam Orange disilih dengan Samuel Hardi. "Pada akhirnya, saya melahirkan novel yang nyaris baru," katanya.

Meskipun terjadi perombakan, sebenarnya tidak perlu terjadi penggantian judul. Judul kedua tidak sekuat judul pertama dalam mencerminkan isi novel. Bukan sekadar karena Rayyi akan membuat film dokumenter dengan judul Sakura Haru, tapi sakura dalam pandangan Haru memiliki makna yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka.

"... Pohon sakura berbunga satu tahun sekali. Calon bunganya mulai terlihat sejak pertengahan Januari, tapi baru akan mekar pada awal April.  Sakura yang telah berkembang bertahan selama satu sampai dua minggu, lalu gugur dan kelopak-kelopaknya terbawa angin. 

Keindahan sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia begitu berharga.

Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi."

(hlm. 347). 

Saya memberikan apresiasi untuk desain sampulnya yang keren. Sederhana, tapi unik. Ilustrasi sampulnya benar-benar melukiskan kehidupan dua karakter dalam novel ini.  

Tapi harus diakui, terlepas dari semua yang sudah saya sampaikan, Montase tidak menjadi karya terunggul Windry Ramadhina. Dari semua novelnya yang telah diterbitkan, Metropolis masih tetap yang paling istimewa dan menyita perhatian. Meskipun begitu, patut dihargai keinginan Windry Ramadhina yang selalu berupaya menyodorkan hal-hal yang baru dalam novel-novelnya. 




 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan