Judul Buku: Memori
Pengarang:
Windry Ramadhina
Desain
Sampul: Jeffri Fernando
Tebal:viii
+ 304 hlm; 13 x19 cm
Cetakan:
1, 2012
Penerbit:
GagasMedia
Salah satu keunggulan novel-novel produksi GagasMedia adalah desain sampul yang ciamik. Demikian pula desain sampul yang dikerjakan Jeffri Fernando untuk novel ketiga Windry Ramadhina yang bertajuk Memori. Apa yang hendak disampaikan dalam novel terwakili dengan baik dan elegan dalam sampul. Rumah.
Novel
ini memang bercerita tentang rumah. Setelah meninggalkan rumah ayahnya
bertahun-tahun termasuk empat tahun menetap di Virginia, Mahoni, seorang
arsitek, kembali ke rumah ayahnya. Ia memutuskan pulang walaupun tidak akan
bertemu dengan ayahnya lagi. Sebuah kecelakaan mobil telah memutuskan
kemungkinan mereka bisa bertemu.
Sebenarnya,
Mahoni sangat mencintai ayahnya, hanya saja sikapnya berubah semenjak laki-laki itu
berpisah dengan Mae, ibu Mahoni, kemudian menikahi Grace. Mahoni mengikuti
ibunya, dan setelah lulus kuliah bertahun-tahun kemudian, ia pergi ke Amerika.
Di Virginia, ia bekerja di sebuah biro arsitek yang meneguhkan idealismenya
selaku arsitek.
Rencana
untuk segera balik Virginia terpaksa tertunda karena tidak ada yang akan
mengawasi Sigi, anak ayahnya dan Grace. Padahal Mahoni membenci Sigi
sebagaimana ia membenci Grace. Tapi yang terjadi kemudian, demi Sigi, ia malah
urung balik Virginia, dan tinggal lebih lama di Jakarta. Meskipun keputusannya
ini membuatnya harus mengorbankan ambisi untuk bekerja sama dengan arsitek yang
dipujanya, Frank O. Gehry.
Kepulangannya
ke Jakarta secara tidak terduga membuka jalan ke ‘rumah’ lain yang ia
tinggalkan begitu lulus kuliah. Terkadang, rumah memang berbentuk darah dan
daging, dan rumah yang satu ini bernama Simon Marganda, si pemuja arsitek Rem Koolhaas.
Tapi, rumah yang adalah kekasih masa lalunya ini telah dimiliki perempuan lain.
Semula,
saya mengira, tulisan di sampul belakang novel dikutip dari dalam novel,
sebagaimana mestinya. Ternyata, tulisan tidak penting itu berdiri sendiri dan
tidak terkait secara signifikan dengan isi novel. Tulisan di sampul belakang ini
berpotensi menyesatkan pembaca karena apa yang terkandung di dalamnya bukanlah
inti permasalahan dalam novel. Memori
memang bermuatan kisah cinta, tapi hanya salah satu lapisan dari berbagai lapisan cerita
lainnya.
Lapisan
dalam Memori terdiri dari jalinan cinta
yang rumit, hubungan anak dan orangtua yang tidak harmonis, kegagalan rumah tangga yang menggerogot
nyali, kebencian yang tidak bisa dilampiaskan, dan rasa kekeluargaan yang
tumbuh pelan-pelan seiring terbangunnya kebersamaan. Semua materi itu diletakkan
dalam sebuah dunia profesi bernama arsitek lengkap dengan problematika yang
biasa muncul di dalamnya. Baik Mahoni maupun Simon berprofesi sebagai arsitek seperti
pengarang.
Meskipun
tidak istimewa dari segi cerita, Memori
bukanlah novel yang membosankan dibaca. Pengarang sangat bertalenta dalam hal
membangun karakterisasi dan mengolah rangkaian kalimat. Hal yang sama telah ia tunjukkan dalam dua novel sebelumnya, Orange dan Metropolis. Sehingga dalam waktu singkat, didukung penyuntingan yang apik, novel ini akan bisa dikhatamkan.
Berbeda
dengan Orange dan Metropolis, dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Penggunaan
sudut pandang ini hampir sempurna kalau saja ia tidak sempat sedikit terpeleset. Seharusnya,
adegan Sofia mengajak bersulang teman-teman di Studio Moss tidak boleh muncul
karena narator tidak menyaksikannya (hlm. 276-277).
Lalu,
mengapa judul novel ini Memori? Karena
memori yang menggerakkan kehidupan Mahoni. Ia meninggalkan Jakarta dan pergi ke
Virginia karena memori. Ia meninggalkan Virginia dan kembali ke Jakarta karena
memori juga. Lantas, setelah tinggal di rumah almarhum ayahnya, rombongan memori
yang umumnya getir itu bermunculan satu demi satu, kemudian dinikmati oleh kita, para pembacanya.
0 comments:
Post a Comment