Judul buku: Lelaki Yang Membelah Bulan
Pengarang: Noviana Kusumawardhani
Tebal: xiv + 82 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2011
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG)
Sebagai koleksi cerpen, Lelaki Yang Membelah Bulan karya Noviana Kusumawardhani tergolong irit. Di dalamnya hanya terdapat delapan cerpen yang lima di antaranya pernah dipublikasikan. Tapi, meskipun hanya delapan cerpen, koleksi ini cukup memberikan pengalaman baca yang mengasyikkan. Karena kedelapan cerpen ini ditulis berdasarkan gagasan simpel tapi imajinatif dengan rangkaian kalimat yang diolah dengan matang dan indah. Dalam cerpen-cerpen ini kita akan menemukan berbagai kisah dalam nuansa melankolis yang disampaikan lewat senja, malam, air mata, dan hujan.
Rongga
adalah cerpen pembuka yang langsung menetaskan kesedihan. Di sebuah desa,
kesedihan dipandang sebagai kejahatan sehingga tidak boleh dijadikan bahan
pembicaraan meskipun serasa hendak memecahkan dada. Ketika penduduk desa
membincangkan kesedihan, kerongkongan mereka akan berlubang dengan sendirinya
dan mereka tidak akan bisa berbicara lagi. Rongga di kerongkongan ini mesti
ditutup untuk mencegah infeksi yang menyebabkan kesakitan yang hebat. Karena
itu, setiap kesedihan datang, orang-orang akan menyembunyikan dengan sekuat
tenaga. Kemplu, jagoan desa, begitu gencar mengkampanyekan kesedihan sebagai
kejahatan besar. Pada waktu keluarganya hilang, ia tertawa gembira dan
mengadakan pesta besar. “Hanya
orang-orang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang
tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan,” kata Kemplu (hlm. 4). Lalu, setiap senja datang di mana situasi membuat kesedihan
tidak tertahankan lagi, Kemplu
menghilang di Hutan Gembira yang terletak di ujung desa. Setiap pagi, ia keluar
dari sana dengan penuh kegembiraan. Manakala kepala desa memutuskan membabat
hutan untuk membuat taman keriaan demi meningkatkan kebahagiaan, Kemplu tidak
terima. Apa sebenarnya yang disembunyikan Kemplu di dalam hutan? Sebelum benar-benar memungkas cerpen ini,
Noviana menulis: “Berterima kasihlah
kepada kesedihan dan air mata, karena bersamanya kita belajar kekuatan yang
sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus
bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.“ (hlm. 10).
Setiap senja datang, perempuan
dalam cerpen Perempuan Senja menari
dengan sangat gembira, dan saking gembiranya, ia pun menangis dengan luar
biasa. Tariannya bagaikan afrodisiak yang
menggelitik kehidupan para lelaki yang pada gilirannya akan menghidupkan
gairah kehidupan. Kebiasaan menari ini berhenti begitu si perempuan menikahi
lelaki yang memberikannya saputangan bersulam sepasang kolibri berwarna ungu. Dengan berhentinya tarian si perempuan, warna-warna di desa berangsur-angsur memudar.
Setelah hanya tersisa hitam, putih, dan abu-abu, kebahagiaan menjadi barang langka.
Ketidakbahagiaan mencetus kemarahan para
warga desa dan mengakibatkan perginya suami si perempuan senja.
Ketika dengan mencintai seseorang
kita kehilangan kebebasan, salah satu yang kita lakukan mungkin sama dengan apa
yang dilakukan oleh perempuan dalam cerpen Lampion
Merah Bergambar Phoenix. “Lampion
adalah tanda bahwa tak boleh ada tangan-tangan lain yang melata di atas
gairahku,” kata si perempuan pembuat lampion (hlm. 24). Setelah membuat hingga beratus-ratus lampion
bagi kekasihnya, ia memutuskan berhenti dan meninggalkan sang kekasih.
Di dalam cerpen Lelaki yang Membelah Bulan ada seorang pelacur berjumpa lelaki
dengan separuh tubuh mengeluarkan sinar keemasan. Lelaki ini telah mencoba
membelah bulan untuk melihat warna hitam di balik cahaya terangnya. Negeri
bulan murka dan merajamnya hingga separuh cahaya bulan ada di tubuh si lelaki. Bertemu
dengan pelacur pemilik kedai ini, si lelaki berharap akan mengisi separuh gelap
tubuhnya dengan cahaya. Harapan yang sukar diwujudkan si pelacur karena, “Begitu
banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku,” katanya (hlm. 39).
Cerpen Peti Mati mengisahkan tentang seorang lelaki yang mati dalam
kesepian. Sebelum mati, ia berpesan pada ketua RT setempat untuk menguburkannya
dalam peti mati. Amanatnya dipatuhi, tapi mayat lelaki itu tidak bisa masuk ke
dalam peti mati. Berkali-kali peti diganti, mayatnya selalu memanjang sehingga tidak
muat dalam peti. Secara mengejutkan, keberadaan mayat yang tidak bisa dikuburkan itu mendatangkan
kemakmuran bagi penduduk desa. Hanya saja, kemakmuran itu diikuti keserakahan
yang membuat desa itu mengalami kemunduran sosial yang pada gilirannya
menularkan kesedihan si lelaki yang sudah mati. Cuma ada satu jalan berisiko yang akan ditempuh oleh ketua RT untuk
menghentikan kondisi ini.
Cinta sejati tidak selalu mesti
bersatu. Ungkapan ini terlukis dalam cerpen Penari
Hujan. Seorang lelaki ingin menikahi perempuan yang ia cintai, tapi si perempuan
masih ingin mengejar mimpi-mimpinya. Meskipun menyatakan kepada si lelaki bahwa
cinta yang ia miliki selalu 'adi busana', selalu sejati, tetap
ia meninggalkan si lelaki.
“Kekasihku, kematian harus
dirayakan. Tertawalah seperti ketika hari kelahiranku disambut dengan suka
cita. Bunyikan musik penuh keriaan dan menarilah dalam dentam riang, karena
rohku akan kembali pulang. Kesedihan dan air mata tak akan menjadi bukan apa-apa,”
tulis seorang pelacur tua kepada kekasihnya yang entah berada di mana dalam
cerpen Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki
Mati. Saat menulis, pelacur ini memang sudah siap untuk benar-benar mati,
yaitu rohnya dilepaskan dari tubuhnya. Ia telah mempersiapkan dirinya dan
menunggu kemunculan si pencabut roh. Tapi, si pencabut roh tidak kunjung
datang. Mengapa? Noviana memberikan
sentuhan humor pada bagian penutup cerpen ini terkait apa yang terjadi pada si
pencabut roh. Si pelacur tua yang pernah kehilangan cinta itu pun berkata: “Mungkin
sebenarnya aku memang tidak usah mencari ke mana-mana cinta itu, karena rohku
adalah cinta itu sendiri.” (hlm. 68)
Koleksi cerpen ini ditutup dengan
cerpen berjudul Pemburu Air Mata. Adalah
sebuah desa di kaki gunung, luar biasa indah dengan segala sesuatu yang dibuat
dari kristal-kristal air mata yang membeku. Jalan-jalan, rumah, bahkan beberapa
baju yang dipakai warga dibuat dari pintalan kristal air mata. Memang, kehidupan penduduk
desa itu tergantung dari air mata. Semakin banyak seseorang mengeluarkan air mata,
maka semakin bahagialah orang itu. Ke mana saja mereka pergi, warga desa selalu
membawa botol besar air mineral kosong dan spons. Saat air mata mengucur
deras, mereka menyapu dengan spons, dan memeras air mata ke dalam botol. Air
mata itu dikumpulkan di sebuah koperasi unit desa untuk diolah menjadi
balok-balok kristal air mata sebagai bahan dasar benda apapun yang ada di desa.
Namun, kedamaian desa itu terusik dengan kemunculan salah satu warga yang sudah
lama merantau dan tidak bisa lagi mengeluarkan air mata. “Air mata hanya untuk
perempuan. Lelaki tidak menangis. Karena
hanya lelaki pengecut saja yang menangis.” (hlm. 74). Para lelaki yang
mendengar perkataannya spontan berhenti mengeluarkan air mata, dan tatkala mereka
berhenti mengeluarkan air mata, balok-balok kristal air mata yang dihasilkan menurun
kualitasnya. “Air mata pada akhirnya menjadi absurd maknanya, dan para pemburu
air mata tak pernah lelah memburunya. Mereka benar-benar tahu bahwa hidup mereka akan kembali penuh bila dengan air mata. Ya, karena dari air mata
akan lahir tawa,” tulis Noviana (hlm. 78).
Membaca cerpen-cerpen Noviana dalam
koleksi ini adalah semacam menikmati perayaan terhadap kesedihan, perpisahan,
dan kematian. Hal yang lumrah bila
mengingat kehidupan manusia tidak akan pernah steril dari tiga hal itu. Namun, seperti
pelangi sehabis hujan, di dalam
kesedihan, perpisahan, dan kematian, Noviana juga mengisyaratkan
adanya kegembiraan, penerimaan, dan kehidupan dalam semua cerpen yang
ditulisnya dalam genre realisme magis ini.
0 comments:
Post a Comment