Judul Buku: Cerita
Calon Arang
Pengarang: Pramoedya
Ananta Toer
Tebal: 96 hlm; 13 x 20
c
Cetakan: 5, Februari
2010.
Penerbit: Lentera
Dipantara
Tidak diketahui siapa pencipta kisah Calon Arang. Kisah ini merupakan salah satu cerita rakyat yang dikenal di Bali dan Jawa dan dihidupkan dalam tradisi dongeng. Usaha untuk melestarikan kisah Calon Arang telah dilakukan beberapa kali dalam karya fiksi Indonesia. Toeti Heraty dengan prosa lirik berjudul Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000), Femmy Syahrani dengan novel Galau Putri Calon Arang (2005), dan Cok Sawitri dengan Janda dari Jirah (2007). Sebelum ketiga perempuan penulis itu, Pramoedya Ananta Toer telah mendokumentasikan kisah Calon Arang dalam buku berjudul Dongeng Calon Arang yang kemudian diterbitkan kembali dengan judul Cerita Calon Arang (diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Dipantara, 2003).
Calon
Arang adalah seorang perempuan setengah tua yang mempelajari mantra hitam dan
menebarkan teluh kepada banyak orang dengan izin Dewi Durga yang disembahnya.
Pramoedya menggambarkan bahwa sebenarnya sebelum Calon Arang mengganas dengan
teluhnya, ia telah dikenal sebagai perempuan jahat yang tidak disukai warga sedusun, Girah. Akibatnya, warga pun menjauhi putri tunggalnya,
Ratna Manggali. Tidak ada seorang lelaki pun yang mau meminang Ratna Manggali
untuk menjadi istri walaupun ia seorang perempuan cantik.
Gara-gara
tidak ada lelaki yang berminat memperistri putrinya, Calon Arang yang pada
dasarnya sudah jahat, memutuskan untuk membalas dendam dengan menebarkan teluh
di dusunnya. Akibatnya banyak orang yang tewas, dan kegelisahan pun menyebar hingga ibukota kerajaan Daha. Raja Erlangga segera mengutus pasukannya untuk
menangkap Calon Arang, dan menyabdakan bahwa jika ia melawan, Calon Arang boleh dibunuh. Tapi ketika para prajurit berhadapan dengan Calon Arang,
mereka tidak sanggup melawan perempuan itu. Tiga di antara mereka bahkan
terbakar oleh api yang disemburkan dari mata, hidung, kuping, dan mulut Calon
Arang.
Kedatangan
pasukan Raja Erlangga untuk menangkapnya membuat Calon Arang semakin murka.
Kali ini meminta restu Dewi Durga, Calon Arang memutuskan menebarkan teluh
hingga ke ibukota kerajaan, termasuk ke dalam istana raja.
Erlangga
tidak tinggal diam. Atas arahan sembahannya, Dewa Guru, ia meminta bantuan Empu
Baradah, satu-satunya orang yang bisa mengatasi keganasan Calon Arang. Tindakan
pertama yang dilakukan Empu Baradah adalah menikahkan Empu Bahula, salah satu
muridnya dengan Ratna Manggali. Apa yang menjadi tujuan Empu Baradah sangat
jelas yaitu bahwa setelah menikah dengan Ratna Manggali, Empu Bahula bisa
menemukan rahasia gelap Calon Arang. Rencana Empuh Baradah berhasil karena
dengan memperdaya istrinya, Empu Bahula bisa membawa rahasia kekuatan Calon
Arang ke hadapan gurunya.
Pada akhirnya, Empu
Baradah siap berhadapan langsung dengan Calon Arang. Mengira bisa mengalahkan
Empu Baradah, Calon Arang tidak segan melecehkan sang pertapa. Tapi
nasibnya telah ditentukan, Calon Arang tetap harus mati, dan ia mengalami dua
kali kematian.
Dari pengantar yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, diketahui bahwa buku ini disusun sebagai
buku anak-anak untuk membangkitkan cerita lama dalam diri mereka. Itulah sebabnya,
gaya bercerita Pramoedya di sini seperti orangtua yang sedang menceritakan
dongeng kepada anak-anak. Dan sebagai buku anak-anak -kendati tidak semua
isinya cocok untuk konsumsi anak-anak- tentu saja tidak dibutuhkan permainan
metafora, kalimat-kalimat yang terlampau rumit, dan deskripsi yang sulit
dicerna. Alhasil, cerita dalam buku ini menjadi terlalu biasa, lempeng, dan
jauh dari memuaskan, bagi para pembaca dewasa.
Sebagai buku anak-anak,
pesan yang disampaikan juga harus jelas, hitam-putih, diserap tanpa banyak
berpikir. Bahwa kejahatan tidak akan
abadi, dan kebaikan akan mampu mengalahkan kejahatan. Bahwa pelaku kejahatan
selalu memiliki kesempatan untuk mengubah perilakunya jika mau.
Selain kisah utama yang
berpusat pada Calon Arang, buku tipis ini juga memuat kisah tentang putri Empu
Baradah, Wedawati, yang menjadi pertapa. Bila dihilangkan, tidak akan
mempengaruhi sajian utamanya. Demikian pula bagian penutup yang mengisahkan
tentang Empu Baradah yang pergi ke Bali menaiki daun nangka. Agaknya, kedua
bagian ini dimasukkan agar Cerita Calon Arang tidak menjadi terlalu pendek.
Tapi, jujur saja, terutama yang berkisah tentang Wedawati adalah bagian yang
membosankan dibaca dalam buku ini.
Sudah pasti Cerita Calon
Arang tidak bisa dibandingkan isi dan cara penggarapannya dengan Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki dan Galau Putri Calon Arang. Apalagi dengan Janda dari Girah yang ditulis dengan indah. Cerita Calon Arang terlalu
sederhana dan dangkal. Tidak ada kedalaman yang perlu diselami selama membaca
buku ini.
Tapi
ada pesan penting yang disampaikan Pramoedya melalui Wedawati, bahwa:
"Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang
membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap-tiap orang keluar
dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara."
2 comments:
benar2 sangat menarik lah cerita ni gan..
saya suka baca cerita ni..saya termotivasi oleh cerita ni gan.
Wah awesome enough nh
Post a Comment