18 February 2014

Bulan Memerah


Judul Buku: Bulan Memerah
Pengarang: Abednego Afriadi
Penyunting: Yashinta
Tebal: x + 134 hlm; 12 x 19 cm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Sheila





Sejatinya, sebuah cerita pendek atau cerpen bisa dihabiskan dalam sekali baca. Tapi sekarang, kita bisa membaca cerpen-cerpen bermain-main dengan plot yang memanfaatkan banyak rangkaian kata sehingga tidak langsung selesai dalam sekali baca. Abednego Afriadi dalam kumpulan cerpennya, Bulan Memerah, jelas mengindikasikan cerpen sebagai cerita yang bisa dihabiskan sekali baca. Kelima belas cerpen yang ada benar-benar cerita yang pendek, setiap cerpen tidak membutuhkan banyak waktu untuk ditamatkan.

Petiklah Gitar Itu, Ayah! yang dinobatkan sebagai pembuka kumpulan cerpen ini berkisah tentang hubungan seorang anak perempuan dan ayahnya. Anak perempuan yang menjadi narator orang pertama cerpen ini bekerja sebagai penyanyi kafe seperti yang dilakoni ibunya. Sementara ayahnya adalah seorang pengamen yang mengalami kebutaan secara misterius. Pekerjaan anak perempuan itu akan selalu mengingatkan sang ayah pada apa yang terjadi dalam hubungannya dengan istrinya. Itulah yang menyebabkan sang ayah mengambil keputusan yang membuat anak perempuannya dililit kesedihan dan kenangan.

Petiklah gitar itu, Ayah, biar aku bisa pulas dalam dekapan mimpi. Biarkanlah rasa letih ini menguap lewat nada-nada yang manis kudengar. Nada-nada yang akan berhembus menembus celah-celah ventilasi dan jendela kamar yang lupa kututup malam ini. Anakmu ini telah kehabisan lirik lagu untuk dinyanyikan. Karena malam-malam yang aku lewati sekarang ini adalah berlembar-lembar lirik lagu dan nada-nada yang itu-itu saja. (hlm. 1).

Petiklah gitar itu, Ayah, walau dawai terbawah telah putus. Aku yakin engkau pasti bisa memainkan kunci-kunci dari jemarimu sehingga tak terdengar sumbang. Kalaupun gitar itu rusak, setidaknya bisa kau lantunkan nada-nada indah nan lembut hingga aku tertidur, lalu kau mengusap-usap rambutku ketika kepala ini singgah di pangkuanmu. (hlm. 2).

Sebuah cerpen yang indah dalam kesedihannya.

Berlatar Natal, cerpen Kidung Liturgi mengisahkan tentang seorang wartawan yang tidak pernah mengikuti Misa Malam Natal sejak menikah. Sebelum terjadi untuk ketiga kalinya, ia mendapat tugas memotret Misa Malam Natal untuk stok foto feature edisi akhir tahun.  Kesempatan mengikuti Misa Malam Natal di gereja Santo Antonius pun tiba. Tapi ternyata, ia belum bisa mengikuti Misa Malam Natal. Apa yang menjadi kendala bagi wartawan yang berperan sebagai narator orang pertama cerpen kali ini? Perasaan sendu tak terelakkan ketika cerpen ini dituntaskan.

Nyanyian itu, lembut, memecah bising deru roda kereta yang menggilas rel tanpa henti. Hujan masih turun. (hlm. 19).

Tenongan yang menjadi judul cerpen adalah tempat menjual jajanan pasar khas Solo yang terbuat dari aluminium dan berbentuk lingkaran. Setiap pagi, sembari menggendong tenongan, penjual kue berjalan kali mengelilingi kampung menjajakan dagangannya. Wiwin, narator orang pertama cerpen, mengisahkan tentang kebiasaan ibunya yang lebih suka membeli jajanan pasar tersebut ketimbang nasi atau bubur.

Kata Wiwin: "Kami merindukan suasana pagi seperti itu. Bersama-sama berjongkok mengelilingi tenongan yang dibuka itu seraya memilih makanan yang hendak kami beli. Dan kami semakin merindukannya semenjak ibu memutuskan untuk pulang ke rumah lama di Solo. Rumah tempat di mana aku menghabiskan masa kecil hingga menikah." (hlm. 22).

Tapi, apakah kerinduan itu akan meneguhkan sang ibu untuk kembali tinggal di rumah lama? Terharu rasanya saat sang ibu berhadapan dengan nihilnya pilihan lain kecuali mengambil keputusan seperti yang diambilnya di bagian akhir cerpen.

Dengan gaya berdendang - seorang suami kepada istrinya- kita akan mengikuti kisah pasutri yang telah menikah 14 tahun. Sang suami melihat istrinya telah berubah, sorot matanya menjadi terlalu tajam, lebih diam dan marah tanpa sebab.

Bulan memerah, Sayang.
Kau ingin tahu, mengapa bulan memerah? Ya, karena kemarau terlalu panjang, sedangkan bunga tak lagi kau siram. Rumah juga kau biarkan penuh dengan sawang, tempat singgasana para serangga. Ya, bulan terlanjur memerah. Merah, Sayang. (hlm. 31)

Mengapa istrinya berubah? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Pengarang baru akan mengungkapkannya di bagian akhir. Cerpen ini seolah-olah menertawakan imajinasi pembaca yang muncul seiring bergulirnya cerita.

Narator orang pertama dalam cerpen Kereta Terakhir pernah hidup bersama dengan kekasihnya. Saat kekasihnya hamil, ia meninggalkan perempuan itu membesarkan anak mereka sendirian. Setelah sekitar enam tahun berpisah, mereka bertemu lagi, tapi perempuan itu telah berubah. Bahkan, berselingkuh dengan kenangan mereka saja, perempuan itu tidak mau. Dan seolah-olah menjadi kutukan bagi sang narator yang telah menyia-nyiakan anaknya dari perempuan itu, dari pernikahanya tidak kunjung hadir seorang anak. Ending cerpen ini terasa menggelikan untuk seorang laki-laki yang putus harapan.

Bukankah aku sudah membunuhmu? Mengapa kau selalu datang setiap malam? Mengajak bercinta, memaki-maki aku. Kemudian pergi lagi. Datang lagi. Pergi lagi. Datang lagi. Pergi!!!! (hlm. 43).

Narator cerpen Jendela Kesunyian yang bertutur sama seperti narator Bulan Memerah dan Kereta Terakhir mengaku:

Kemurungan dan kesedihanmu adalah kemurungan dan kesedihanku. Sudah sepuluh tahun ini, ranjang kamar menjadikanmu tulang rusuk yang menguatkanku ketika rapuh. Maka jangan heran jika aku pun lemah ketika kau lemah. Maka janganlah terkejut jika aku tertawa ketika kau gembira (hlm. 45-46).

Tapi setelah sepuluh tahun menikah, istrinya tetap bertanya: "Apa kamu masih merasa bahwa, aku ini tulang rusukmu?" (hlm. 46) Hal yang sungguh lumrah mengingat sang narator tidak pernah mencium istrinya setelah menikah, kerap meninggalkannya di kamar dan memilih tidur di kursi tamu, dan terutama, tidak bisa bercinta dengannya. Apa sebenarnya yang telah menciptakan jurang pemisah di antara mereka sebagai suami istri? Pengungkapan sang narator hanya menunjukkan kerapuhan dan keanehannya.

Sepuluh tahun silam, narator cerpen Mata Penambang Pasir tinggal di bantaran sungai yang berjarak sekitar 30 meter dengan sebuah pulau di sungai itu. Penduduk pulau itu telah menghilang, dan Sukro -sahabat masa kecilnya- telah mati di sana, dibunuh karena berebutan sarang walet. Hal yang tidak bisa diterima sang narator karena seminggu sebelum ia kembali ke bantaran sungai itu, ia bertemu Sukro di proyek bangunan (hlm. 53).  Rupanya, saat ini, ia ke tempat tinggal masa kecilnya, untuk menawarkan pekerjaan kepada Sukro. Jadi, apakah Sukro telah mati, atau ia sebenarnya masih hidup? Pengarang melakukan inkonsistensi yang boleh dibilang mengganggu dalam cerpen ini. Ia menyebut narator cerpen ini bertemu Sukro di proyek bangunan seminggu sebelum ia kembali ke tempat tinggalnya sepuluh tahun silam (hlm. 53). Tapi selanjutnya pengarang menyatakan narator bertemu Sukro 8 tahun setelah pindah rumah (hlm. 59), lalu katanya, "Sejak saat itu, aku belum bertemu lagi dengan Sukro." (hlm. 61).

Jalu dalam cerpen Garong adalah sosok menakutkan di seluruh penjuru kota. Ia mengisi berita kriminal di koran-koran kota. Wajahnya terpajang di papan pengumuman, halte, tiang listrik, tembok toko, dan pasar. Celakanya, ia mencari Bambang, narator orang pertama cerpen ini, yang pernah dituduhnya sebagai mata-mata polisi. Kontan, Bambang ketakutan dan tidak mau bertemu Jalu. Apakah Jalu bermaksud menghabisi nyawanya? Seiring bergulirnya kisah, kita akan menemukan kekecewaan yang mengharukan dan pengungkapan yang akan menentukan nasib sang garong.

Anda mungkin akan mati ketawa membaca cerpen bertajuk Inisial NR. Norma, artis remaja yang sedang naik daun ditangkap petugas satuan narkoba saat sedang menggelar pesta obat kedaluwarsa (catat, kedaluwarsa!). Ibunya, Siti, kelabakan dan terpaksa menghubungi Bekti, ayah Norma, yang hampir  setengah tahun tidak pulang dan sedang latihan bercerai. Tujuannya, tentu saja, meminta Bekti membebaskan putri mereka. Ternyata, kasus putri mereka yang berinisial NR ini, memberikan happy ending bagi mereka. Mungkin benar seperti kata Norma, "Semua ada hikmahnya." Hahaha.

Wakil ketua RT yang menjadi narator cerpen Sarapan Lumpur Panas melaporkan penangkapan Pak Banu dalam kisahnya. Pak Banu, seorang guru yang sudah tua, ditangkap dengan tuduhan mencabuli muridnya (yang tidak dimunculkan jati dirinya). Penangkapan Pak Banu yang adalah tokoh penting desa itu memunculkan kegemparan lantaran diketahui ia tidak punya musuh, tidak main perempuan ataupun berjudi. Jadi, siapa yang telah menggiring Pak Banu sehingga divonis penjara 15 tahun? Meskipun pengarang tidak menyebutkan secara gamblang, kasus Pak Banu agaknya berhubungan dengan sebuah pabrik di tengah sawah di desa itu dan penyakit misterius yang melanda setahun sebelumnya.

Bendera Berkibar di Tiang Rapuh yang berpotensi membuat Anda tertawa mengisahkan tentang sering turunnya bendera di sebuah SMA, setiap hari Senin atau hari raya nasional, saat bendera itu dikibarkan. Awalnya, disangka, penyebabnya adalah karena talinya telah rapuh. Namun, setelah diganti tali baru, bendera itu tetap saja turun secara tiba-tiba, termasuk saat peringatan kemerdekaan. Sesungguhnya judul cerpen ini merupakan jawabannya.

Nuh -tokoh kitab suci mengenai air bah yang menggenangi dunia- dijadikan judul cerpen tentang air bah yang terjadi selama dua minggu di sebuah kota yang dikelilingi empat bukit. Penyebab air bah adalah air terjun di keempat bukit itu. Orang-orang memutuskan mengungsi ke gedung-gedung kota. Lalu, pada sebuah dini hari, muncul burung-burung gagak seukuran manusia dengan sorot mata merah menyala yang mesti mereka perangi. Kisah menegangkan ini seharusnya dibiarkan berakhir absurd seperti ketiga cerpen terakhir. Penutup yang dipilih pengarang, jujur saja, mementahkan ketegangan yang telah dimunculkan sebelumnya.

Dunia butuh cahaya, itulah yang menjadi sebab kemunculan gadis-gadis bersayap dengan telunjuk memendarkan cahaya. Salah satu gadis itu, menawarkan cahaya kepada narator cerpen Gadis-gadis Cahaya ini. Sang narator tidak menyangka, keputusan menerima cahaya itu menimbulkan petaka bagi dirinya sendiri. Sungguh mengagetkan.

Setelah nisan-nisan dalam kompleks pemakaman sebelah kampung hancur terbongkar, liang kubur terbuka dan kosong, mayat-mayat merajalela, penduduk kampung dalam cerpen Kubur Kosong memberanikan diri pergi ke kota yang telah hancur dan dipenuhi mayat. Mereka bertekad memerangi jutaan mayat, tapi kubur-kubur kosong kian bertambah dan satu demi satu penduduk kampung itu menjelma menjadi bangkai. Mungkin, Anda akan mengernyit jijik oleh penggambaran mayat-mayat yang cukup gamblang.

Gerombolan Pengusir yang menjadi penutup kumpulan cerpen ini mengisahkan penaklukan sebuah kota di wilayah perbukitan -yang tangis penduduknya mengeluarkan kabut- oleh pasukan bertopeng baja. Pasukan itu turun membelah langit hitam dengan menumpang kuda bersayap lalu menyerang para penghuni kota. Bukannya memimpin perlawanan, pemimpin kota malah mengisi waktunya untuk bertapa.

Kami hanya bisa meratapi tangis kesakitan pepohonan ketika gergaji-gergaji mesin mereka memotong-motong tubuh mereka. Kami hanya bisa menangis kala lumpur, dan lahar memuntah. Hingga kabut di kelopak mata kami mulai menguap. (hlm. 126).

Meskipun bisa disebut cerita fantasi, cerpen ini bukan sekadar dongeng belaka. Pasukan bertopeng baja merupakan simbol ketamakan yang menghancurkan hidup orang lain. Dan pengarang mengingatkan, ketamakan selalu akan mendapatkan ganjarannya. 

Secara keseluruhan, cerpen-cerpen yang semuanya menggunakan perspektif orang pertama (baik tunggal maupun jamak) dalam Bulan Memerah ditulis dengan lugas dan cukup enak dibaca. Tema yang diangkat pun beragam sehingga tidak menjemukan dibaca. Umumnya bisa dikenali dalam masyarakat kita, kecuali yang memang bertema absurd. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan