Judul Buku: Galila
Pengarang: Jessica
Huwae
Editor: Rosi L.
Simamora
Tebal: 336 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Maret 2014
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Bukankah begitu
seharusnya cinta? Membebaskan. Berdiri bersama, berpegangan tangan dan
menguatkan, bahkan saat hidup seakan tidak mungkin untuk dijalani sekalipun,
Cinta mungkin tidak bisa melupakan, namun dia memaafkan (hlm.
256).
Dalam kumpulan cerpen perdananya, Skenario Remang-Remang (2013) terdapat sebuah cerpen tentang seorang gadis kecil yang menjadi anak pertama di kampungnya yang tidak memiliki nama belakang (marga). Cerpen itu berjudul Galila, dan ternyata merupakan salah satu bab dari novel kedua Jessica Huwae yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama yang diberi judul Galila juga.
Galila
- sang perempuan tanpa nama belakang- sudah bukan gadis kecil lagi yang
memimpikan Jakarta sebagai kota harapan. Saat kisah dalam novel ini dimulai, ia
telah menaklukkan ibu kota dan menjadi diva tersohor negeri ini. Tidak banyak sesumbar mengenai dirinya, Galila
dikenal sebagai bintang cantik eksotis asal Saparua, Maluku, yang namanya
melejit setelah menang dalam kontes
bakat Indonesia Mencari Diva.
Setelah
beberapa kali jatuh cinta dan ditinggalkan laki-laki, Galila bertahan dengan
status lajangnya. Ada laki-laki yang mencoba mendekatinya, tapi Galila tidak
tertarik. Cinta baru menghuni kembali hatinya setelah ia bertemu Edward
Silitonga atau lebih dikenal sebagai Eddie (nama ini otomatis akan mengingatkan pada salah satu
penyanyi top Indonesia di masa lalu). Sepulangnya dari Amerika setelah
menuntaskan kuliah, Eddie langsung mendapatkan tanggung jawab menjadi direktur
perusahaan keluarganya. Saat syukuran pembukaan cabang baru perusahaannya,
Galila diundang menyanyi untuk meramaikan acara tersebut. Di sanalah mereka
bertemu, dan memulai hubungan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan keluarga
Eddie.
Bagi
Eddie, cinta bukanlah sesuatu yang rumit. Tapi tentu saja, sebelum Hana,
ibunya, mengetahui kalau dirinya berhubungan dengan Galila. Bagi Hana, pasangan
tepat bagi Eddie haruslah perempuan yang memiliki iman yang sama, berasal dari
suku yang sama yaitu Batak, dan harus memiliki marga (marga Batak, sudah pasti).
Galila tidak memenuhi kriteria baginya untuk dijadikan menantu. Hana sudah
memiliki kandidat yang dipandangnya sesuai dan sederajat dengan anak laki-laki
semata wayangnya. Tanpa memedulikan kebahagiaan Eddie, yang sejak kecil
hidupnya sudah diarahkan untuk kepentingan keluarga.
Kebahagiaan itu bukan
sesuatu yang statis. Dia harus dicari dan ditemukan terus-menerus. Diusahakan.
Diperjuangkan. Komitmen, kata Eddie pada Galila (hlm.
161). Aku cuma mau bilang bahwa kamu
adalah sebentuk kebahagiaan yang selama ini aku cari dan akan terus aku
perjuangkan. Kebahagiaan kita adalah cita-cita (hlm. 162).
Tapi,
dengan sikap Hana yang otoriter, cita-cita itu amat tidak mudah diwujudkan.
Eddie harus berjuang keras untuk memiliki Galila. Hingga sebuah realita kejam
menghantam hubungan mereka, saat masa lalu kelam Galila, yang sudah dikuburnya,
bangkit dan menebarkan tulah ke dalam hubungan mereka. Apakah Eddie akan terus
bertahan untuk berjuang memenangkan perempuan yang dicintainya, atau ia malah
bertekuk lutut pada kehendak ibunya yang tanpa ampun?
Sebagai
pengarang yang memuja cinta -novel pertamanya pun tentang cinta, pada novel ini, Jessica Huwae, masih menawarkan problematika cinta kepada
pembacanya. Cinta yang dimunculkannya, dibenturkannya dengan permasalahan yang
tak lekang oleh perkembangan zaman: adat -atau sukuisme- dan perjodohan. Semodern
apa pun zaman, bibit-bebet-bobot masih dijadikan kriteria penting bagi
sementara orang untuk menuju ke pelaminan.
Omong kosong. Apa benar
bibit saja cukup untuk menentukan masa depan seseorang? Ada begitu banyak hal
yang menyerbu bibit ketika dia baru selesai disemai. Ada yang jatuh di tanah
berbatu-batu, yang tumbuh sejenak lantas layu karena tidak berakar. Ada yang
jatuh di semak duri yang terus membesar dan mengimpitnya sampai mati - namun
ada juga yang jatuh di tanah yang baik dan menghasilkan buah sampai
berpuluh-puluh kali lipat. Demikian pun dengan hidup manusia. Manusia tidak
pergi sebagaimana ketika dia datang, karena ada begitu banyak hal yang terjadi
dalam perjalanan. Yang terdepan menjadi yang terbelakang, yang terdahulu
menjadi yang terkemudian. Begitulah cara hidup memelihara dan memberimu kejutan
(hlm. 144-145).
Kriteria
bibit-bebet-bobot yang dipegang teguh Hanna memang bukan sekadar dalih baginya
untuk memisahkan Eddie dan Galila.
Berasal dari suku Batak, menikahi laki-laki Batak, tidak bercerai dalam rentang
pernikahan mereka, memberikannya teori bahwa apa yang ia alami dan imani
merupakan solusi tokcer bagi masa depan anak laki-lakinya. Tanpa mau menyadari Eddie
bukan anak-anak lagi, sudah bisa menentukan siapa yang tepat dijadikan pasangan
hidup, dan tidak selalu ingin hidupnya berjalan menurut kuasa orang lain.
Hana tahu bahwa dia
harus mengambil tindakan. Eddie tidak boleh dibiarkan sewenang-wenang
memutuskan hidupnya sendiri. Dia tidak berani membayangkan anak laki-laki
kesayangannya itu terjebak dalam pilihan salah yang harus dijalaninya seumur
hidup. Dulu opung-nya selalu berpesan, "Bila salah potong rambut, menyesal
hanya sebulan. Bila kau salah makan, perutmu hanya sakit satu atau dua jam.
Tapi bila kau salah pilih jodoh, seumur hidup kau tinggal dalam duka dan
penyesalan." (hlm. 111-112).
Untuk
memperkompleks percintaan Galila dan Eddie, Jessica memberikan Galila sebuah
masa lalu kelam. Masa lalu itu menimbulkan pertanyaan: apakah perempuan dengan masa lalu kelam tidak berhak dengan masa depan
penuh kebahagiaan? Eddie-lah yang mesti menjawab pertanyaan ini. Seperti
apa jawaban Eddie, akan kita temukan sebelum novel ini kita tamatkan.
Membaca
Galila
merupakan pengalaman baca yang menyenangkan. Selain konflik yang masih cukup
menggelitik yang diletakkannya dalam plot yang tidak cuma linier sehingga
menumbuhkan kepenasaranan, Jessica menyajikan kisahnya dengan indah. Rangkaian
kalimat bernas dimunculkan dengan memanfaatkan diksi yang tepat. Banyak kalimat
yang tetap impresif meskipun dibaca beberapa kali. Dialog dan narasi atau deskripsi
yang dibuatnya cukup berimbang, tidak ada yang kebanyakan sehingga menjadi
mubazir. Dibandingkan dengan novel pendahulunya, Soulmate.com (2006), Galila jauh
lebih menarik, baik dari konflik, karakterisasi, maupun penyajiannya.
Jessica
sangat mengenal tanah leluhur ayahnya yang dipinjam menjadi tempat asal Galila.
Kondisi kehidupan di Saparua dengan kemiskinan dan kesusahan hidup karena tidak
adanya pemerataan pembangunan. Mata pencaharian sebagai nelayan yang tidak
pernah memakmurkan penduduknya. Dan tidak terlupakan adalah kerusuhan antaragama
yang sempat memorakporandakan semua sendi kehidupan masyarakat. Tapi Jessica
juga akrab dengan kultur Batak, suku ibunya, yang dijadikan
asal-muasal Eddie. Sehingga hasilnya, konflik kesukuan yang ditampilkannya tidak
meragukan.
Ada
satu karakter yang terus melekat dalam ingatan saya. Ia tidak tampil dominan
tapi ia mengingatkan saya pada karakter tidak menyenangkan dalam novel Carrie karya Stephen King. Siapa lagi
kalau bukan Greta -ibu Galila- yang memutuskan anak perempuannya tidak membutuhkan
nama belakang ayahnya. Religiositasnya yang banal membuat Greta memiliki
kesamaan dengan Margaret White -ibu Carrie- yang menjadi sumber masalah dalam
hidup Carrie.
Akhirnya
-meskipun novel ini masih belum steril dari typo-
hanya satu kata yang mencerminkan hasil pembacaan novel ini: memuaskan!
0 comments:
Post a Comment