Judul Buku: The Einstein Girl
Pengarang: Philip Sington (2009)
Pengarang: Philip Sington (2009)
Penerjemah: Salsabila Sakinah
Penyunting: Zahra Ilmia & Anton Kurnia
Tebal: 528 hlm; 15 x 23 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Kesetiaan pada dusta adalah sesuatu yang tak bisa diterima, betapapun itu mungkin lebih nyaman bagi orang-orang berpandangan sempit dan tak punya prinsip (hlm. 455).
Sejauh yang diketahui publik, seumur hidupnya Albert Einstein hanya memiliki satu istri yaitu Elsa Löwenthal yang dinikahinya Juni 1919. Pada 1986 terungkap bahwa ternyata Einstein pernah menikahi Mileva Máric, ilmuwan Serbia yang tercatat sebagai wanita pertama yang belajar matematika dan fisika di Eropa. Mereka menikah di Swiss pada Januari 1903 dan bercerai enam belas tahun kemudian, setelah hidup terpisah selama lima tahun, Máric di Zurich sedangkan Einstein di Berlin. Dari pernikahan mereka, diketahui telah lahir dua putra, Hans Albert Einstein dan Eduard Einstein. Si bungsu Eduard dikenal sebagai pemuda cerdas dengan bakat musikal. Saat dalam proses mewujudkan impiannya menjadi psikiater, pada usia 20 tahun Eduard didiagnosis mengidap skizofrenia dan dirawat di rumah sakit jiwa Burghölzli di Zϋrich. Gangguan kesehatan mental yang dialaminya merenggangkan hubungannya dengan ayahnya. Albert Einstein (1879-1955) beremigrasi ke Amerika Serikat menjelang berkuasanya si kanselir Jerman Adolf Hitler menggantikan Presiden Paul von Hindenburg. Eduard tidak pernah berjumpa lagi dengan ayahnya hingga meninggal karena stroke pada usia 55 tahun, Oktober 1965. Berbarengan dengan terungkapnya pernikahan Einstein-Máric, terungkap pula sebuah fakta mencengangkan. Sebelum menikah pada Januari 1903, dari hubungan mereka telah lahir seorang anak perempuan yang dipanggil Lieserl pada Januari 1902. Lieserl menghilang setelah orangtuanya menikah secara sah, dan sampai saat ini tidak diketahui nasibnya.
Fakta yang berusaha dipendam dari masa lalu sang ilmuwan yang digadang-gadang sebagai Bapak Fisika Modern ini menjadi tempat berpijak novel bertajuk The Einstein Girl karya Philip Sington.
Dikisahkan
Alma Siegel sedang mencari Martin Kirsch, tunangannya yang telah
hilang selama dua minggu pada bulan Mei 1933 di Berlin. Seingatnya,
Martin yang bekerja sebagai psikiater di Klinik Psikiatri Charité
sedang merawat seorang pasien amnesia yang dikenal publik sebagai 'The
Einstein Girl' (Gadis Einstein). Pasien tanpa nama itu ditemukan hampir
tewas di sebuah hutan di Postdam dalam keadaan setengah telanjang dan
basah kuyup. Tidak ada identitas yang ditemukan di tempatnya ditemukan
kecuali sepotong kertas berisi pengumuman kuliah umum tentang Teori
Kuantum di Philharmonic Hall dengan Albert Einstein sebagai pembicara
utama. Hal inilah yang membuat media massa menamakannya 'The Einstein
Girl'.
Sebuah kilas balik yang merupakan bagian utama novel dibeberkan panjang-lebar guna menelusuri jejak Martin Kirsch yang hilang. Sebagai
psikiater yang berdedikasi tinggi, Kirsch yang tengah bergumul dengan
penyakit neurosifilis, kecewa atas terapi yang dilakukan rekan
sejawatnya. Sebelumnya, ia telah menulis sebuah makalah yang
dipublikasikan di sebuah jurnal psikiatri sebagai kritik atas terapi
tanpa dasar yang pasti itu. Tulisan ini ditambah insiden seorang pasien
yang mendapatkan terapi insulin, membuatnya terancam dipecat dari
pekerjaannya. Belakangan, Kirsch bertemu seorang pengagum tulisannya
yang akan menyelamatkan pekerjaannya.
Kendati
terancam dipecat, Kirsch berhasil menjadikan si Gadis Einstein sebagai
pasiennya. Alasannya adalah ingin menyelidiki adanya kemungkinan
amnesia yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan, padahal sesungguhnya
gadis itu bukanlah sosok yang asing baginya. Mereka pernah bertemu dan
sekalipun sudah bertunangan, Kirsch tidak mampu menampik daya tarik
gadis yang dikenalnya sebagai Elisabeth. Demi menolong Elisabeth
memperoleh kembali ingatannya, Kirsch menggelar investigasi.
Di
tempat Elisabeth tinggal setibanya dari Zϋrich, Kirsch mengetahui jika
nama sebenarnya adalah Mariya Draganović. Perhitungan matematis yang
ditemukan dalam sebuah buku catatan milik Mariya diteguhkan oleh rekan
Albert Einstein sebagai upaya perumusan teori fisika baru, Teori Medan
Terpadu. Yang menarik di sini, Albert Eisntein juga sedang meneliti
topik yang sama. Tidak diragukan lagi, Mariya adalah wanita dengan
kecerdasan luar biasa. Padahal, sampai saat itu, hanya ada dua wanita
yang bisa menyerap penemuan Albert Einstein dengan mudah. Mereka adalah
Marie Curie dan Mileva Marić, mantan istri Einstein yang bekerja
sebagai pengajar di Zϋrich.
Penemuan
Kirsch menuntunnya ke Zϋrich untuk bertemu Mileva Máric dan Eduard
Einstein, si bungsu yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit jiwa
Burghölzli. Mereka tidak sepenuhnya terbuka,
namun Kirsch menemukan kaitan mereka dengan hidup Mariya. Sebuah fakta
lain juga ditemukannya, bahwa sebelum pergi ke Berlin, Mariya pernah
menjadikan dirinya pasien di rumah sakit jiwa Burghölzli.
Pertanyaan
yang mungkin menyeruak adalah apakah Mariya Draganović adalah Lieserl
yang sengaja disingkirkan dari kehidupan Einstein-Máric? Dalam sebuah
subplot yang disampaikan menggunakan perspektif orang pertama, pembaca
akan dibawa mengarung masa lalu Mariya untuk menemukan identitas
sejatinya. Menyelami ke lubuk kehidupan Mariya yang enigmatis, Sington
akan menyingkapkan sebuah kesetiaan pada dusta yang dilakukan dengan
dalih melindungi kehormatan keluarga.
Daya pikat utama The Einstein Girl
tidak terbantahkan lagi terletak pada penyingkapan selubung misteri
yang meliputi kehidupan Lieserl Máric. Seusai memancing rasa penasaran
pada beberapa halaman awal, Sington akan mendorong pembaca mengikuti
cerita dengan alur yang tidak terburu-buru. Mungkin akan pembuat
sementara pembaca tersendat-sendat, namun tidak bisa diungkiri, Sington
mampu mendesak pembaca untuk bertanya-tanya. Apa yang dilakukan Mariya di Berlin hingga ia ditemukan dalam keadaan sekarat? Apa
yang akan terjadi dengan penyelidikan Kirsch? Sebuah pamungkas
disuguhkan untuk menyempurnakan ide 'sang penulis' sebenarnya dari
cerita yang kita baca, bahwa: "Akhir suatu cerita
haruslah dapat dipercaya atau pembaca akan merasa ditipu. Akhir yang
tidak masuk akal akan merusak cerita yang bagus." (hlm.360). Lantas,
memanfaatkan kesalahpahaman yang terjadi sebelum novel benar-benar
ditutup, Sington akan menerangkan maksud kalimat pembuka pada bagian
"Tak Bernama" (hlm. 13).
Riset
intensif seputar kehidupan Albert Einstein yang membawa Sington kepada
tumpukan arsip Jewish National & University Library di Yerusalem
mendukung perwatakan Albert Einstein sebagai karakter yang tidak
menimbulkan simpati. Pria yang dinobatkan majalah Time
sebagai "Person of the Century" ini boleh tersohor karena
kesuksesannya menggulingkan teori lama mengenai cahaya ―dari cahaya
sebagai gelombang menjadi cahaya sebagai berkas partikel energi yang
disebut kuanta.Tetapi ia juga tergolong manusia yang tidak mampu
membangun hubungan dengan manusia lain, termasuk keluarganya sendiri.
Tidak hanya terlihat dari pernikahannya dengan Mileva Máric (faktanya,
masih terikat pernikahan dengan Máric, ia telah terlibat hubungan
ekstramarital dengan Elsa Löwenthal), melainkan juga dalam caranya
menyikapi cacat mental putra bungsunya. Disebutkan, Einstein tidak
percaya jika penyakit Eduard berhubungan dengan dirinya. Seolah-olah
mendukung, Sington menghadirkan pula kecondongan cacat mental dari pihak
keluarga Máric. Ketidaksimpatikan si penerima Nobel Fisika tahun 1921
ini terlukis eksplisit dalam respons eksplosifnya terhadap kemunculan
Mariya Draganović.
Kegemilangan
Sington tampak pula ketika mengemas kompleksitas dunia psikiatri
sebagai bagian signifikan novel dengan sokongan deskripsi yang memadai.
Kita akan digiring mengenal lekuk-liku dunia yang bermuatan beragam
ketidakpastian yang ditandai dengan ketidaksepahaman dalam pemberian
terapi. Kita juga akan disadarkan betapa kerap penderita cacat mental
menjadi bahan eksperimen dalam rangka penegakan kebenaran masing-masing
psikiater. Sang protagonis ―Martin Kirsch― meyakini, salah satu metode
untuk menangguk kembali kesadaran para penderita bukanlah menyiksa
dengan terapi serampangan, melainkan dengan merangkul untuk menemukan
dan memulihkan pemicu gangguan mental mereka.
Menghasilkan
karya dengan sentuhan historis pasti tidaklah enteng. Pengumpulan
informasi faktual demi menetaskan kisah dengan tingkat kepercayaan
tinggi adalah sesuatu yang krusial. Namun, tanpa kepiawaian bertutur,
kecermatan memadukan elemen historis dan produk imajinasi, ketangguhan
membangun karakterisasi, usaha tersebut akan mubazir. Tampaknya, Philip
Sington sangat menyadari hal ini, maka terbitlah The Einstein Girl sebagai karya fiksi yang sungguh laik untuk dibaca.
0 comments:
Post a Comment