Judul Buku: Perahu Kertas
Pengarang: Dewi Lestari –Dee
Tebal: xii + 444 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Agustus 2009
Penerbit: Bentang Pustaka & Truedee Pustaka Sejati
Jika Anda ingin membaca kombinasi teenlit dan chicklit dalam satu kemasan, Anda bisa menemukan dalam Perahu Kertas, buku keenam Dewi Lestari –penulis yang namanya melambung lewat novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Judulnya mungkin akan mengingatkan kita pada buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono (1982) bertajuk sama, tetapi ternyata novel ini tidak berkaitan dengan karya sastra itu. Perahu Kertas-nya Dewi Lestari berisikan kisah asmara sepasang anak muda, Keenan dan Kugy.
Keenan,
blasteran Indonesia-Belanda, mewarisi bakat melukis ibunya yang sudah
ditinggalkan. Ia seorang anak muda yang introver, halus, tidak suka
keramaian dan lebih senang menyendiri untuk melukis. Ia dipanggil
ayahnya kembali ke Indonesia karena tidak ingin kehidupan Belanda
menjadikannya seorang seniman. Keenan tidak mengerti jalan pikiran
ayahnya yang berhasil ditolerir ibunya; berhenti melukis untuk
menghormati suaminya. Di benak sang ayah, Keenan adalah penerima tongkat
estafet kepemimpinan perusahaan trading-nya.
Sebaliknya
Kugy, dari keluarga yang merdeka menentukan pilihan. Gadis mungil,
ekstrover dan berantakan ini, bercita-cita menjadi penulis dongeng.
Kugy mengimajinasikan dirinya sebagai anak buah Dewa Neptunus yang
diutus menjadi mata-mata di daratan. Ia menciptakan tradisi menulis
surat kepada Neptunus untuk melaporkan apa yang terjadi dalam hidupnya.
Surat-suratnya dilipat menjadi perahu kertas kemudian dilarung di
laut. Meskipun setelah bertumbuh besar ia sadar surat-suratnya tidak
mungkin berlabuh karena Neptunus tidak ada, ia tetap melangsungkan
tradisi ini. Jika tidak ada laut, kali, empang atau selokan pun jadi.
Kedua
anak muda berzodiak Aquarius itu bertemu di Bandung, sama-sama menjadi
mahasiswa di universitas yang sama. Hanya, kalau Keenan kuliah
Manajemen –sesuai rencana ayahnya, Kugy kuliah Sastra –sesuai
rencananya sendiri. Pada hari pertama bertemu Kugy telah mempercayakan
kumpulan cerita dongengnya untuk dibaca Keenan. Bahkan selanjutnya, mau
mengisbatkan Keenan sebagai Agen Neptunus yang baru.
Cinta
yang kemudian timbul di hati mereka tidak berlangsung mulus. Kugy
sudah punya kekasih, dan mendadak pula Wanda, seorang kurator lukisan
muda, masuk ke dalam kehidupan Keenan. Mereka saling merindukan
sekaligus saling menghindar. Dalam situasi seperti itu, takdir seolah
melakukan intervensi, mereka dipertemukan sebagai pengajar sukarela di
Sakola Alit, sekolah darurat yang digagas para mahasiswa untuk
anak-anak miskin. Sesuai janjinya, bagi anak-anak yang diajarnya, Kugy
membuatkan dongeng berjudul 'Jenderal Pilik dan Pasukan Alit'. Sebagai
kenang-kenangan, hasil karyanya itu diberikan kepada Keenan.
Berkat
Wanda, empat lukisan Keenan yang dipajang di galeri milik ayahnya,
mendapatkan pembeli. Terjualnya lukisan-lukisan itu membuat Keenan
percaya diri. Ia memutuskan berhenti kuliah dan hidup sebagai pelukis.
Tetapi setelah keputusan itu dilaksanakan, Keenan menemukan kenyataan
menyakitkan: Wanda-lah pembeli semua lukisannya. Kontan hal ini
menggemboskan semangat Keenan. Lukisan Jenderal Pilik yang dibuat
berdasarkan cerita Kugy akan menjadi lukisan terakhirnya. Keenan pun
mengungsi ke Ubud (Bali) menyusul lukisan-lukisan yang dikirimnya kepada
Pak Wayan, lajang lapuk yang menyayanginya. Ia tidak menyangka salah
satu lukisannya akan merebut hati seorang kolektor dan memompa
semangatnya untuk kembali melukis. Di Ubud juga, Keenan memperoleh
cinta seorang gadis Bali yang cantik dan cerdas, Luhde Laksmi.
Kehilangan
Keenan membuat Kugy ingin segera menyelesaikan kuliah. Ia berhasil,
bahkan sebelum diwisuda sudah mendapatkan pekerjaan sebagai copy writer
di sebuah biro iklan. Di sana ia menemukan cinta seorang lelaki tampan
dan mapan, atasannya sendiri, bujangan yang menjadi rebutan banyak
perempuan, Remi.
Ketika
takdir kembali mempertemukan mereka, Keenan dan Kugy tidak sendirian
lagi. Satu yang mereka inginkan begitu menyerap kenyataan itu adalah
membuat karya kolaborasi, Kugy sebagai penulis cerita dan Keenan
sebagai pelukis. Setelah berputar menjadi sesuatu
yang bukan diri mereka, akhirnya mereka menemukan diri mereka
sebenarnya: penulis dongeng dan pelukis.
Sembari
menanti suguhan akhir menentukan yang akan dihidangkan pengarang, kita
juga akan mendapat pengungkapan misteri yang menyelubungi ketegaran
hati Adri, ayah Keenan. Apa sebenarnya yang membuat Adri bersikeras
merintangi Keenan anaknya yang berbakat melukis untuk menjadi dirinya
sendiri? Lalu, apakah akhirnya ia akan membebaskan putra kesayangannya
memilih? Yang jelas, untuk sebuah novel romantis seperti Perahu Kertas
penutup membahagiakan akan selalu menjadi pilihan pembaca. Dee sadar
hal ini, tetapi tetap memberikan jalan sempit berkelok yang tidak
gampang dilewati sejoli karakter utama. Alhasil, membaca novel ini
terasa bagaikan menyaksikan tayangan film romantis Holywood semisal Serendipity -dibintangi Kate Beckinsale dan John Cusack. Hanya saja, dalam format novel, Perahu Kertas terkesan berlarat-larat.
Dari
segi gaya bahasa, Dee tidak perlu diragukan lagi. Ia menulis secara
luwes, kocak dengan takaran tepat mewakili dunia tempat ia berpijak,
dan –tetap- secerdas karya terdahulunya. Genre boleh beda, tetapi tetap
diolah dengan kecakapan yang sama. Setiap bab akan menghalau kita
segera pergi ke bab berikutnya dengan intensitas sama. Walau harus
diakui, imajinasi Dee yang membuat dunia menciut, bisa menimbulkan
kesan garing. Pada saat-saat yang menentukan dalam kehidupan kedua
karakter utamanya, Dee benar-benar amat mengandalkan faktor kebetulan.
Hingga akhir yang legit, kebetulan demi kebetulan akan beruntun menohok
pembaca. Klise, tetapi mungkin merupakan cerminan hidup.
Pada
hakikatnya, menjadi diri sendiri membutuhkan proses panjang. Menjadi
diri sendiri juga membutuhkan keberanian untuk melangkah. Kejujuran
akan menjadi elemen pelengkap. Baik Keenan maupun Kugy akan menjadi
contoh keberhasilan dalam proses itu.
Menurut pengakuan pengarang ("Melajulah Perahu Kertasku....") ide penulisan novel ini tidak baru. Perahu Kertas
sudah mengambang di lautan imajinasi sejak 1996. Dee telah mencoba
menulis kisah Keenan dan Kugy tetapi tidak menyelesaikannya. Tahun
2007, menerima tawaran sebuah perusahaan content provider
yang ingin mengonversi buku-bukunya ke dalam versi digital, Dee
menulis kembali kisah Keenan dan Kugy. Judulnya disesuaikan dengan
benang merah yang merajut seluruh kisah di dalamnya, Perahu Kertas.
Saat
menceritakan proses kreatif novel ini, Dee mengaku menulis kisah
Keenan dan Kugy karena terinspirasi cerbung dan komik serial yang
pernah ia baca. Ia menyebut cerbung Ke Gunung Lagi (Katyusha) yang muncul di majalah HAI dan 26 komik serial Popcorn (Yoko Shoji). Perempuan yang muncul sebagai peringkat pertama dalam polling
nasional "Penulis Perempuan yang Paling Dikenal di Indonesia" 2009 ini
telah berhasil mewujudkan keinginannya. Pada April 2008, Perahu Kertas muncul secara bersambung dalam versi digital (WAP) dan saat ini kita boleh memilikinya dalam versi cetak.
0 comments:
Post a Comment