12 February 2012

The Ninth



Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Judul Asli: A Kilencedik
Penulis: Ferenc Barnás (2006)
Diterjemahkan dari: The Ninth (Paul Olchváry)
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Cetakan 1, Februari 2010
Tebal: 296 hlm; 13,5 x 20 cm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Setelah 4 tahun terbit untuk pertama kalinya di Hongaria, akhirnya novel bertajuk asli A Kilencedik diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia (Februari, 2010). Dengan judul Anak Kesembilan, novel ini diterjemahkan dari edisi Inggris, The Ninth (hasil terjemahan Paul Olchváry dari edisi Hongaria), oleh Saphira Zoelfikar dan diselaraskan dengan edisi Hongaria oleh Katalin Bőszórményi Nagy. Penyuntingan dilakukan oleh Anwar Holid. Mengapa tidak langsung diterjemahkan dari bahasa asli (bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang dipakai untuk menerjemahkan novel berbahasa Hongaria ini), tidak dijelaskan dalam novel. 

Anak Kesembilan merupakan novel ketiga karya Ferenc Barnás, pengarang kelahiran Debrecen, Hongaria (1959) setelah Az élősködő (The Parasite), dan Bagatell (Bagatelle). Ia adalah pengarang berdarah Hongaria teranyar yang karyanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya kita telah mengenal nama-nama seperti Árpád Göncz, Imre Kertész, dan Péter Zilahy. 
 
Pengarang yang telah mendapat pengakuan internasional setelah memenangkan 2 anugerah sastra Hongaria paling terkemuka,  Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006) ini membentang novelnya pada periode masa kanak-kanaknya, tahun 60-an. Saat itu, Hongaria sedang berada dalam kendali rezim komunis dan pemeluk Katolik adalah minoritas. Namun, novel ini bukanlah novel politik, dan tidak hendak mengusung komunis dan Katolik serta pertentangannya sebagai bahan utama. Novel ini adalah drama keluarga dengan permasalahan kemiskinan yang tidak gampang dientaskan.

Pengarang berkisah menggunakan perspektif orang pertama, yaitu seorang narator yang hingga novel berakhir tidak bernama kecuali sapaan seperti kucing kecil, tahi kecil, otak sosis, atau kelinci bodoh. Ia adalah seorang bocah lelaki yang walaupun memiliki kekurangan dalam berbicara bisa mengungkap pengalaman dan pandangannya akan kehidupan dengan bebas. Ia adalah anak kesembilan dari keluarga pasangan ayah seorang mantan tentara Hongaria dan ibu yang berasal dari Transylvania. 

Dengan harapan sang letnan Hongaria akan membelikan anak perempuan mereka sebuah piano di manapun ia hidup, orangtua sang Mama melepaskan anak perempuan mereka meninggalkan Transylvaia. Namun, salah satu keinginan sang Mama yaitu menjadi seorang pianis tidak tercapai. Ia menemukan dirinya, melahirkan sebelas anak secara beruntun, dan hanya bisa memainkan orgel guna menyalurkan bakat. Setelah periode meninggalnya anak ketujuh, seorang bocah perempuan bernama Imuka, keluarga banyak anak ini pindah dari Debrecen ke sebuah desa di perbukitan sebelah utara Budapest, Pomáz. Kepindahan ini adalah dalam rangka memberikan udara segar kepada si anak kesembilan supaya ia tidak menyusul kakak perempuannya yang meninggal karena leukemia. 

Di Pomáz, mereka tinggal di Rumah Kecil –sebuah rumah berukuran kecil satu kamar dan dapur tanpa listrik, di mana anak-anak tidur bersilangan di atas 3 ranjang kayu yang disatukan. Ketika cerita dimulai, mereka sedang berharap mendapatkan pinjaman untuk menyelesaikan Rumah Besar, hadiah kompetisi sebuah koran lokal. Jika rumah itu sudah bisa dihuni, setiap orang akan tidur di ranjangnya sendiri dengan kenikmatan seperti listrik, WC siram otomatis, dan kamar mandi dengan bak mandi. Karena itu, sang Papa, seorang lelaki yang keras dan asing bagi anak-anaknya, menggalakkan penghematan. Termasuk menguasai uang tunjangan anak yang seharusnya bisa mengenyangkan anak-anak ketimbang apa yang bisa disajikan sang Mama di rumah setiap malam: teh dan roti panggang. 

Penghematan tidak pernah berakhir di dalam Rumah Kecil kendati Papa menghasilkan uang dari pekerjaannya di direktorat kereta api,  Mama dari pabrik pena, sedangkan Bubu dan Tera (anak perempuan kedua dan ketiga) dari pabrik pemintalan rami. Belum lagi penghasilan tambahan keluarga dari produksi skala kecil rosario dari biji-biji belalang madu yang dijajakan sang Papa di gereja-gereja. Bahkan, saking serbakekurangan yang berkepanjangan, Kaus, anak kelima nyaris dijual. 

Di sekolah, Anak-anak Kecil –Mara, Anak Kesembilan, Jungkit, dan Benjamin- mendapatkan makan siang dan kudapan sore. Mereka tidak dibekali uang jajan karena keadaan keuangan keluarga yang tidak mampu. Bagi Anak Kesembilan, makanan yang dijual di toko daging dan toko tembakau yang sering ia datangi cukup untuk dihirup saja aromanya. Jika beruntung, Anak-anak Kecil bisa mendapatkan uang 1 forint dari Pater, anak laki-laki tertua dalam keluarga, kesayangan dan harapan sang Mama untuk bisa menjadi pastor kelak. Tapi, tidak cukup untuk memuaskan lidah mereka. 

Nasib seolah-olah akan membaik. Pinjaman diperoleh sehingga Rumah Besar akhirnya selesai dibangun dan bisa didiami. Gereja memberi upah 30 forint kepada sang Mama setiap kali bermain organ di gereja pada hari Minggu sedangkan Anak-anak Kecil –Anak Kesembilan, Jungkit, dan Benjamin mendapatkan 10 forint untuk membantu di pemakaman Katolik. Sang Papa boleh pensiun dan bekerja sebagai pencetak ribuan gambar rohani untuk mendapatkan uang lebih. 

Akhirnya, Anak Kesembilan tidak sekadar datang ke toko daging dan toko tembakau untuk menikmati aroma gurih makanan yang dijual. Dari pendapatannya yang kecil, ia bisa membeli sosis, roti, cokelat isi kelapa, dan minuman soda. Hingga musim dingin kembali berulang dan waktu menuai pendapatan di pemakaman ditunda. Anak Kesembilan terdorong untuk melakukan dosa pertama –dosa yang dianggapnya hanya akan mengisi sumbu horizontal dari grafik dosa yang diajarkan guru kelas agamanya. 

Novel Anak Kesembilan digulirkan oleh anak ke-9 dari sebuah keluarga miskin, berumur 9 tahun, dalam 9 bab. Ferenc Barnás tidak menjelaskan makna khusus angka 9 ini, namun bisa diduga berhubungan dengan kehidupannya, mengingat novel ini sangat kentara kandungan elemen autobiografisnya. Mungkinkah Barnás anak ke-9 di dalam keluarganya? Kabarnya, ia memang tumbuh di antara sejumlah saudara laki-laki dan perempuan. 

Kabarnya pula, Barnás memiliki seorang ibu yang cantik, ayah yang asing baginya, dan seorang guru yang hebat. Maka, dalam novel ini, kita pun menemukan seorang Papa yang kaku dan tidak dekat dengan anak-anaknya. Ia selalu meributkan bebannya sebagai kepala keluarga dan menganggap anak-anaknya seharusnya memikul kuk yang sama. Dalam kamusnya, tidak ada kemanjaan, sekalipun hanya berbentuk keleluasaan waktu tidur yang anak-anak butuhkan. Ia kerap bepergian sehingga tidak pernah dekat dengan anak-anak dan hanya tampak ramah pada hari-hari raya seperti Paskah, Natal, dan Pentakosta. Ia mencoba menunjukkan antipatinya pada komunis (kaum merah) dengan menyekolahkan anak-anak dan memastikan mereka ke gereja. 

Kita juga akan menemukan seorang ibu yang cantik yang nyaris tidak pernah mengistirahatkan rahimnya hingga rahimnya harus direnggut dari tubuhnya. Sang Mama telah meninggalkan keinginannya untuk menjadi pemain piano, tetapi masih bertekad mewujudkan keinginan yang lain –salah satu anaknya masuk biara. Dikisahkan, untuk mendapatkan anak yang bisa menjadi pastor, sang Mama membawa salib kayu ke bangsal bayi bagaikan hendak membuat perjanjian dengan Tuhan. Ia rajin berdoa dan setiap hari memimpin anak-anaknya dalam sejumlah doa. Ketika ia tidak memiliki uang untuk menciptakan aroma sup biji jintan atau ayam panggang saus kaldu daging dan kue cokelat palsu di dapurnya, ia rela menggadaikan cincin pertunangannya. 

Si Anak Kesembilan tidak hanya menjadi narator, namun ia sendiri merupakan karakter terpenting di antara pelbagai karakter. Ia memiliki kemampuan menghitung dalam hati dan menyanyi. Dalam hidupnya, ia mencoba menghindarkan sentuhan orang di jempol tangan kirinya yang hampir patah akibat ulah salah satu saudaranya. Ia juga tidak ingin teman-teman sekolahnya melihat bekas-bekas gigitan kutu yang banyak dan lambat hilang dari tubuhnya. Kebuncitan perutnya selalu menjadi kerisauan yang membuatnya memiliki kebiasaan ke kamar kecil di halaman sekolah setiap istirahat pertama. Dalam kebongsoran tubuhnya, ia tidak berdaya menghadapi penindasan yang dilakukan kakak-kakak kelasnya. Penindasan yang terus menguntitnya sampai ke dalam mimpi-mimpinya. 

Untuk bisa menikmati novel ini sebaiknya kita mencoba masuk ke dalam jiwa seorang anak kecil. Ketika kita berhasil, kita tidak akan terengah membaca alinea-alinea panjang yang menampung berbagai ocehan dan isi pikiran si Anak Kesembilan. Dalam kepolosannya, anak ini bisa mengejutkan kita dengan kemurnian nalar ketika ia mencerna kehidupannya dan kehidupan orang di sekitarnya dengan caranya sendiri. Seiring dengan perguliran plot, Anak Kesembilan mengikuti proses untuk mengatasi kesulitannya dalam membaca. Kehadiran Bu Vera, guru kelasnya, memegang peranan penting di sini. 

Mungkin, karena naratornya anak kecil, kejadian demi kejadian dalam novel ini tidak disusun secara linear. Seringkali, ia menarik waktu ke masa lalu untuk melengkapi informasi yang disampaikannya pada masa kini. Cukup istimewa, membuat anak ini hadir sebagai narator dengan ingatan yang jernih. 

Pada puncak pergulatan pikirannya, ketika apa yang dipandang agamanya sebagai dosa berhasil ia lakukan –bahkan secara berulang, narasinya nyaris berantakan (bab 8). Pembaca harus sabar (dan teliti) membaca, supaya tidak kehilangan informasi dalam kegalauan pikiran si Anak Kesembilan. 

Pamungkas terbuka dengan kemungkinan jamak ditinggalkan oleh Ferenc Barnás pada halaman terakhir novel. Ia membiarkan pembaca merenungkan akhir yang tepat untuk si Anak Kesembilan. Mungkin, dengan sedikit terbawa perasaan sepi yang melanda sang karakter utama, manakala ia melangkah sendirian menuju sekolah, pada waktu yang tidak tepat. 

Walaupun bernarator anak kecil 9 tahun, eksplorasi pikiran Anak Kesembilan tidak sepenuhnya cocok untuk pembaca yang masih anak-anak. Memang, bukan tidak mungkin pikiran yang sama timbul di benak pembaca anak-anak . Namun, kita tidak akan suka jika buku anak-anak berisi kata-kata seperti sarung tangan bulu (kondom), liang peranakan, bersanggama, dan wanita bugil kan? 

Penerbitan edisi Indonesia novel ini dapat menjadi usaha untuk mendekatkan sastra Hongaria dengan pembaca Indonesia. Tidak banyak karya pengarang Hongaria yang diterbitkan di Indonesia. Jika novel Anak Kesembilan ini berhasil, mungkin akan ada kesempatan untuk penerjemahan sastra Hongaria, yang langsung dari bahasa aslinya.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan