Judul : The Amulet of Samarkand
Penulis : Jonathan Stroud
Penerjemah : Poppy Damayanti Chusfani
Tebal : 512 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
"Aku Bartimaeus! Aku Sakhr al-Jinni, N'gorso yang Hebat, dan sang Ular dari Silver Plumes! Aku membangun kembali tembok-tembok Uruk, Karnak, dan Praha. Aku berbicara dengan Solomon. Aku pernah berlari bersama nenek moyang kerbau-kerbau di padang rumput. Aku menjaga Zimbabwe Tua hingga hujan batu menghancurkannya dan anjing-anjing memakan tuan-tuan mereka. Aku Bartimaeus! Aku tak bertuan. Maka aku memerintahkanmu menjawab sekarang, bocah. Siapa kau yang berani memanggilku?" (hlm.12).
Demikianlah Bartimaeus memproklamasikan dirinya di hadapan seorang penyihir muda yang memanggilnya dari Dunia Lain. Bartimaeus adalah jin, salah satu jenis demon yang secara hierarki berada pada level ke-4. Dari yang terkuat hingga yang terlemah urutannya adalah ramuthra, marid, afrit, jin, foliot, imp, kemudian sprite.
Sesungguhnya
Nathaniel belum genap 12 tahun, dan belum layak melakukan pemanggilan
demon, apalagi jenis jin. Untuk pemanggilan demon pertama, ia
diperbolehkan memanggil demon jenis imp. Nathaniel (Nat) adalah murid
dari seorang master bernama Arthur Underwood, penyihir kelas menengah
yang bekerja sebagai Menteri Muda di Kementerian Dalam Negeri Inggris.
Nat dijual orang tuanya ke Kantor Tenaga Kerja untuk dididik menjadi
penyihir pada usia 5 tahun. Pada usia 12 tahun, ia akan mendapatkan nama
baru, nama resmi yang akan dikenal sepanjang hidupnya. Nama aslinya
pantang untuk diketahui pihak lain, baik demon atau penyihir. Pada saat
ini, ia akan melakukan pemanggilan demon yang pertama.
Pada
waktu berusia 10 tahun, Simon Lovelace, penyihir yang bekerja sebagai
Menteri Muda Perdagangan, telah mempermalukan Nat. Hal ini melahirkan
dendam dalam hatinya, dan dengan berjalannya waktu kian menuntut untuk
dilampiaskan. Langkah awal yang ia tempuh adalah melakukan pemanggilan
demon lebih awal dari seharusnya untuk dipakainya mengintai aktivitas
Simon Lovelace. Hasil pengintaian membuat Nat memutuskan untuk mencuri
amulet Samarkand yang sebenarnya baru dirampok Simon dari pemerintah.
Nat adalah seorang anak yang lapar dengan pengetahuan, sehingga bukan
hanya pelajaran wajib yang ia tekuni. Ia juga membaca terlalu dini
hal-hal seperti ritual pemanggilan jin dan mantra-mantra. Selanjutnya ia
mempelajari demonologi yang lalu memberinya gagasan memanggil
Bartimaeus guna mencuri amulet Samarkand.
Sebagai
jin yang cerdas, Bart segera tahu kualitas penyihir yang memanggilnya,
sehingga jin sinis dan egomaniak ini mencoba menggertak Nat. Tapi meski
masih terbata-bata menjalankan ritual pemanggilan jin, Nat tidak kalah
digertak, dan tidak bodoh untuk merespons strategam Bart.
Amulet
adalah jimat pelindung; benda yang menghalau kekuatan jahat, obyek
pasif yang dapat mengisap atau memantulkan segala jenis sihir berbahaya
meski tak dapat secara aktif dikontrol pemiliknya (hlm. 103). Dalam
amulet bersarang entitas yang telah ditangkap dan sengaja dijebak di
dalamnya. Tapi Amulet Samarkand bukanlah jenis amulet biasa, ini yang
tidak diketahui Nat. Dan memang, Nat sama sekali tidak tertarik pada
amulet. Simonlah targetnya. Ia mengetahui bahwa Simon memperoleh amulet
ini lewat pertumpahan darah. Ia bertekad menjatuhkan reputasi Simon
dengan mengungkapkan kebobrokan sang menteri sihir.
Setelah
berhasil mencuri amulet tersebut, Nat memerintah Bart untuk
menyembunyikan jimat itu di ruang kerja Arthur Underwood. Tindakan yang
tanpa diduganya akan mencelakakan masternya dan membuatnya kehilangan
orang yang menyayanginya.
Apa
sesungguhnya amulet Samarkand, dan alasan pentingnya jimat ini, akan
terungkap sejalan dengan perkembangan cerita yang mencapai puncak pada
Konferensi Tahunan Parlemen dan Pesta Musim Dingin yang diselenggarakan
di Heddleham Hall milik Amanda Catchcart.
Amulet
Samarkand dikembangkan dalam tiga bagian besar dimana secara bergantian, meski tidak terlalu runtut, cerita disampaikan
menggunakan 2 perspektif. Pertama, menggunakan orang
pertama, dengan Bartimaeus selaku narator (diberi judul Bartimaeus) dan
kedua, menggunakan orang ketiga (diberi judul Nathaniel). Karena
pergantian perspektif tidak terjadi setiap kali pergantian bab,
terkadang walau sudah berpindah bab, jika masih menggunakan perspektif
yang sama, tidak lagi dicantumkan judulnya. Dengan menggunakan 2
perspektif penceritaan, cerita mengalir dengan 2 gaya berbeda yang
asyik. Yang paling asyik dibaca, tentu saja saat kisah digulirkan dengan
Bart sebagai narator. Ia menarasikan cerita secara energik, lengkap
dengan sikap sinis, sok tahu, dan egomaniak yang ia miliki. Ia bahkan
tidak segan melecehkan Nat, masternya, karena masalah usia dan
pengalaman. Untuk mengekspresikan diri, tidak cukup dengan narasi, Bart
juga membutuhkan catatan kaki untuk mengungkapkan apa yang ada di
benaknya. Anehnya, teknik yang dipakai penulis ini membuat ceritanya
mengayun sarat jerat.
Lewat
narasi Bart, Jonathan Stroud menaburkan humor yang berpotensi
menerbitkan tawa. Rasanya, tidak ada pembaca yang tidak akan merasa geli
membaca celotehan jin satu ini. Humor juga dipoles sang penulis ke
berbagai dialog antara karakter ciptaannya. Selain penuturan cerewet
versi Bart, kita misalnya akan digelitik dengan dialog konyol antara Nat
dengan imp berwajah bayi yang dipanggilnya atau dialog antara Bart dan
imp pembawa pesan Simon Lovelace. Lebih dari 10 kali si imp
mengganti-ganti sapaannya pada Bart, dari O Sang Pemurah dan Pengampun hingga O Meteor Megah dari Timur.
Dengan membaca sembari membayangkan dialog-dialog tersebut hidup,
mustahil pembaca tidak akan merasa geli dan mungkin, terpingkal-pingkal.
Tak
pelak lagi Jonathan Stroud, sang penulis, memang menjadikan Bartimaeus
sebagai karakter favorit. Karakter inilah yang menjadi jantung kisah
berbaur dengan karakter penuh ingin tahu, pemarah, tidak sabaran, dan
pendendam dari si penyihir muda, Nathaniel alias John Mandrake. Bart,
meski tidak berhasil mengakali Nat yang cerdik, digambarkan sebagai
karakter yang mendinginkan emosi Nathaniel, terkadang hadir, justru
layaknya master buat Nat dengan sejumlah nasihatnya. Tak bisa disangkal,
ketika kisah mencapai bagian akhir, antara kedua karakter ini telah
terjalin semacam ikatan yang membuat Bart khawatir harus
meninggalkannya. Mungkin ikatan ini yang ikut memaksa Jonathan Stroud
untuk menjabarkan lebih jauh hubungan mereka ke dalam 2 buku
selanjutnya. Sebagaimana yang pernah dituturkan Jonathan Stroud, ide
kisah Bartimaeus ini hadir secara simultan. Tapi karena idenya mekar
meluas, dengan penambahan berbagai karakter penting lain, ia memutuskan
untuk membentangkan ide cerita ke dalam bentuk trilogi.
Dilihat
dari kisahnya, Amulet Samarkand memiliki ide kisah yang sangat menarik.
Bukan hanya karakter yang memikat, tapi latar dunia sihir yang
digunakan. Dunia sihir yang diusung Jonathan Stroud agak berbeda dengan
dunia sihir yang pernah diungkapkan oleh penulis-penulis sebelumnya.
Menggunakan Inggris sebagai latar belakang, London dijadikan pusat
pemerintahan dengan para penyihir sebagai penguasa. Untuk mempertahankan
kekuasaan, para penyihir memanggil para demon dan memaksa mereka untuk
mematuhi segala perintah. Tanpa demon, sebenarnya para penyihir tidak
ada giginya. Kemampuan berkomunikasi dengan demonlah yang mengangkat
para penyihir ke strata tinggi, sedangkan manusia biasa yang disebut commoner, tergolong kelas rendahan dan mesti tunduk di bawah kendali penyihir.
Di
kalangan penyihir ini berkembang kompetisi untuk meraih posisi
terhormat dengan memanfaatkan berbagai cara. Seperti kata Lovelace, di
dunia sihir, "Tak ada kehormatan, tak ada kemuliaan, tak ada
keadilan. Setiap penyihir bertindak hanya untuk kepentingan diri
sendiri, merenggut setiap kesempatan yang dapat diraihnya. Saat dia
lemah, dia menghindari bahaya. Tapi saat dia kuat, dia akan menyerang." (hlm. 329). Benturan antara sesama penyihir inilah yang mencetuskan konflik utama buku pertama dari trilogi Bartimaeus ini.
Hanya,
walau mengetengahkan dunia sihir, dan tentu pasti ada elemen-elemen
dunia sihir di dalamnya, kita tidak akan menemukan banyak teknik sihir
atau mantra yang dirapalkan dengan berbagai bahasa aneh seperti pada
kisah lain berlatar dunia sihir. Ada disebutkan mantra seperti mantra
penjepit sistematis, mantra pengikat total atau mantra pembebasan, tapi
sekadar disebutkan kegunaannya. Di sini ritual sihir yang penting adalah
ritual pemanggilan demon. Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi
kenikmatan membaca buku satu ini.
Jonathan Stroud memaparkan kisah seru ambisi penyihir dalam plot yang dirancang secara yahud. Pembaca akan didorong untuk terus mengikuti aksi Bart dan Nat yang dipicu oleh amarah dan dendam si penyihir muda. Plotnya semakin lama semakin runcing hingga mencapai akhir, yang tidak saja melegakan, tapi juga memuaskan. Plot bertaburan ornamen menggelitik seperti transformasi Bart yang bisa menjadi apa saja yang ia inginkan, prosedur pemanggilan demon dengan tatacara menggambar pentacle, atau soal plane (tingkat keberadaan), yang mana diceritakan Bart memiliki akses ke tujuh plane secara berurutan.
Jonathan Stroud memaparkan kisah seru ambisi penyihir dalam plot yang dirancang secara yahud. Pembaca akan didorong untuk terus mengikuti aksi Bart dan Nat yang dipicu oleh amarah dan dendam si penyihir muda. Plotnya semakin lama semakin runcing hingga mencapai akhir, yang tidak saja melegakan, tapi juga memuaskan. Plot bertaburan ornamen menggelitik seperti transformasi Bart yang bisa menjadi apa saja yang ia inginkan, prosedur pemanggilan demon dengan tatacara menggambar pentacle, atau soal plane (tingkat keberadaan), yang mana diceritakan Bart memiliki akses ke tujuh plane secara berurutan.
Secara
keseluruhan, kisah Bartimaeus ini merupakan sebuah kisah yang menarik
yang sayang untuk diabaikan. Edisi Indonesia diterjemahkan dan disunting
dengan gurih, sehingga kita tetap bisa merasakan suasana latar yang
dibangun Jonathan Stroud lengkap dengan humornya yang menyengat. Buku
bagian pertama trilogi ini menjadi semacam suguhan renyah yang akan
terus dikunyah, sehingga tak terasa sudah habis dilahap. Mungkin,
kepuasan pembaca hanya akan terpenuhi secara tuntas setelah kehadiran
buku kedua, The Golem's Eye, dan buku ketiga, Ptolemy's Gate.
Menurut
pengakuan Stroud, ide kisah Bartimaeus muncul pertama kali Oktober 2001
dan membutuhkan dua tahun untuk merangkainya menjadi novel yang siap
diterbitkan. Untuk pertama kalinya, judul pertama, The Amulet of Samarkand (Amulet
Samarkand), dipublikasikan Oktober 2003. Dua buku berikutnya
berturut-turut terbit tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006, The Bartimaeus Trilogy (Trilogi Bartimaeus) memenangkan Mythopoeic Award untuk kategori literatur anak dan Grand Prix de l'imaginaire, untuk kategori fantasi dan fiksi sains (Prancis). Amulet Samarkand sendiri telah memenangkan sejumlah penghargaan seperti Boston Globe/Horn Book Honor 2004 (USA) dan Lancashire Children's Book Award 2005 (Inggris).
Selain
trilogi ini, penulis
telah menghasilkan sejumlah puzzle-book, karya nonfiksi, dan novel seperti Buried Fire, The Leap, dan The Last Siege.
Trilogi Bartimaeus yang hak pembuatan versi filmnya telah terjual
sebelum bukunya diterbitkan membuat nama Jonathan Stroud semakin moncer di dunia fiksi fantasi internasional. Dengan kemungkinan ekranisasi kisah
Bartimaeus ini, tak ayal mantan editor buku anak-anak di Walker Books
ini akan menjajarkan namanya dengan penulis kisah fantasi dunia sihir
sukses seperti J. K. Rowling atau Christopher Paolini.
0 comments:
Post a Comment