11 February 2012

The Amulet of Samarkand

 

Judul : The Amulet of Samarkand
Penulis : Jonathan Stroud
Penerjemah : Poppy Damayanti Chusfani
Tebal : 512 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



"Aku Bartimaeus! Aku Sakhr al-Jinni, N'gorso yang Hebat, dan sang Ular dari Silver Plumes! Aku membangun kembali tembok-tembok Uruk, Karnak, dan Praha. Aku berbicara dengan Solomon. Aku pernah berlari bersama nenek moyang kerbau-kerbau di padang rumput. Aku menjaga Zimbabwe Tua hingga hujan batu menghancurkannya dan anjing-anjing memakan tuan-tuan mereka. Aku Bartimaeus! Aku tak bertuan. Maka aku memerintahkanmu menjawab sekarang, bocah. Siapa kau yang berani memanggilku?" (hlm.12). 
 

Demikianlah Bartimaeus memproklamasikan dirinya di hadapan seorang penyihir muda yang memanggilnya dari Dunia Lain. Bartimaeus adalah jin, salah satu jenis demon yang secara hierarki berada pada level ke-4. Dari yang terkuat hingga yang terlemah urutannya adalah ramuthra, marid, afrit, jin, foliot, imp, kemudian sprite. 

Sesungguhnya Nathaniel belum genap 12 tahun, dan belum layak melakukan pemanggilan demon, apalagi jenis jin. Untuk pemanggilan demon pertama, ia diperbolehkan memanggil demon jenis imp. Nathaniel (Nat) adalah murid dari seorang master bernama Arthur Underwood, penyihir kelas menengah yang bekerja sebagai Menteri Muda di Kementerian Dalam Negeri Inggris. Nat dijual orang tuanya ke Kantor Tenaga Kerja untuk dididik menjadi penyihir pada usia 5 tahun. Pada usia 12 tahun, ia akan mendapatkan nama baru, nama resmi yang akan dikenal sepanjang hidupnya. Nama aslinya pantang untuk diketahui pihak lain, baik demon atau penyihir. Pada saat ini, ia akan melakukan pemanggilan demon yang pertama.

Pada waktu berusia 10 tahun, Simon Lovelace, penyihir yang bekerja sebagai Menteri Muda Perdagangan, telah mempermalukan Nat. Hal ini melahirkan dendam dalam hatinya, dan dengan berjalannya waktu kian menuntut untuk dilampiaskan. Langkah awal yang ia tempuh adalah melakukan pemanggilan demon lebih awal dari seharusnya untuk dipakainya mengintai aktivitas Simon Lovelace. Hasil pengintaian membuat Nat memutuskan untuk mencuri amulet Samarkand yang sebenarnya baru dirampok Simon dari pemerintah. Nat adalah seorang anak yang lapar dengan pengetahuan, sehingga bukan hanya pelajaran wajib yang ia tekuni. Ia juga membaca terlalu dini hal-hal seperti ritual pemanggilan jin dan mantra-mantra. Selanjutnya ia mempelajari demonologi yang lalu memberinya gagasan memanggil Bartimaeus guna mencuri amulet Samarkand.

Sebagai jin yang cerdas, Bart segera tahu kualitas penyihir yang memanggilnya, sehingga jin sinis dan egomaniak ini mencoba menggertak Nat. Tapi meski masih terbata-bata menjalankan ritual pemanggilan jin, Nat tidak kalah digertak, dan tidak bodoh untuk merespons strategam Bart.

Amulet adalah jimat pelindung; benda yang menghalau kekuatan jahat, obyek pasif yang dapat mengisap atau memantulkan segala jenis sihir berbahaya meski tak dapat secara aktif dikontrol pemiliknya (hlm. 103). Dalam amulet bersarang entitas yang telah ditangkap dan sengaja dijebak di dalamnya. Tapi Amulet Samarkand bukanlah jenis amulet biasa, ini yang tidak diketahui Nat. Dan memang, Nat sama sekali tidak tertarik pada amulet. Simonlah targetnya. Ia mengetahui bahwa Simon memperoleh amulet ini lewat pertumpahan darah. Ia bertekad menjatuhkan reputasi Simon dengan mengungkapkan kebobrokan sang menteri sihir. 

Setelah berhasil mencuri amulet tersebut, Nat memerintah Bart untuk menyembunyikan jimat itu di ruang kerja Arthur Underwood. Tindakan yang tanpa diduganya akan mencelakakan masternya dan membuatnya kehilangan orang yang menyayanginya.

Apa sesungguhnya amulet Samarkand, dan alasan pentingnya jimat ini, akan terungkap sejalan dengan perkembangan cerita yang mencapai puncak pada Konferensi Tahunan Parlemen dan Pesta Musim Dingin yang diselenggarakan di Heddleham Hall milik Amanda Catchcart. 

Amulet Samarkand dikembangkan dalam tiga bagian besar dimana secara bergantian, meski tidak terlalu runtut, cerita disampaikan menggunakan 2 perspektif. Pertama, menggunakan orang pertama, dengan Bartimaeus selaku narator (diberi judul Bartimaeus) dan kedua, menggunakan orang ketiga (diberi judul Nathaniel). Karena pergantian perspektif tidak terjadi setiap kali pergantian bab, terkadang walau sudah berpindah bab, jika masih menggunakan perspektif yang sama, tidak lagi dicantumkan judulnya. Dengan menggunakan 2 perspektif penceritaan, cerita mengalir dengan 2 gaya berbeda yang asyik. Yang paling asyik dibaca, tentu saja saat kisah digulirkan dengan Bart sebagai narator. Ia menarasikan cerita secara energik, lengkap dengan sikap sinis, sok tahu, dan egomaniak yang ia miliki. Ia bahkan tidak segan melecehkan Nat, masternya, karena masalah usia dan pengalaman. Untuk mengekspresikan diri, tidak cukup dengan narasi, Bart juga membutuhkan catatan kaki untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Anehnya, teknik yang dipakai penulis ini membuat ceritanya mengayun sarat jerat.

Lewat narasi Bart, Jonathan Stroud menaburkan humor yang berpotensi menerbitkan tawa. Rasanya, tidak ada pembaca yang tidak akan merasa geli membaca celotehan jin satu ini. Humor juga dipoles sang penulis ke berbagai dialog antara karakter ciptaannya. Selain penuturan cerewet versi Bart, kita misalnya akan digelitik dengan dialog konyol antara Nat dengan imp berwajah bayi yang dipanggilnya atau dialog antara Bart dan imp pembawa pesan Simon Lovelace. Lebih dari 10 kali si imp mengganti-ganti sapaannya pada Bart, dari O Sang Pemurah dan Pengampun hingga O Meteor Megah dari Timur. Dengan membaca sembari membayangkan dialog-dialog tersebut hidup, mustahil pembaca tidak akan merasa geli dan mungkin, terpingkal-pingkal. 

Tak pelak lagi Jonathan Stroud, sang penulis, memang menjadikan Bartimaeus sebagai karakter favorit. Karakter inilah yang menjadi jantung kisah berbaur dengan karakter penuh ingin tahu, pemarah, tidak sabaran, dan pendendam dari si penyihir muda, Nathaniel alias John Mandrake. Bart, meski tidak berhasil mengakali Nat yang cerdik, digambarkan sebagai karakter yang mendinginkan emosi Nathaniel, terkadang hadir, justru layaknya master buat Nat dengan sejumlah nasihatnya. Tak bisa disangkal, ketika kisah mencapai bagian akhir, antara kedua karakter ini telah terjalin semacam ikatan yang membuat Bart khawatir harus meninggalkannya. Mungkin ikatan ini yang ikut memaksa Jonathan Stroud untuk menjabarkan lebih jauh hubungan mereka ke dalam 2 buku selanjutnya. Sebagaimana yang pernah dituturkan Jonathan Stroud, ide kisah Bartimaeus ini hadir secara simultan. Tapi karena idenya mekar meluas, dengan penambahan berbagai karakter penting lain, ia memutuskan untuk membentangkan ide cerita ke dalam bentuk trilogi. 

Dilihat dari kisahnya, Amulet Samarkand memiliki ide kisah yang sangat menarik. Bukan hanya karakter yang memikat, tapi latar dunia sihir yang digunakan. Dunia sihir yang diusung Jonathan Stroud agak berbeda dengan dunia sihir yang pernah diungkapkan oleh penulis-penulis sebelumnya. Menggunakan Inggris sebagai latar belakang, London dijadikan pusat pemerintahan dengan para penyihir sebagai penguasa. Untuk mempertahankan kekuasaan, para penyihir memanggil para demon dan memaksa mereka untuk mematuhi segala perintah. Tanpa demon, sebenarnya para penyihir tidak ada giginya. Kemampuan berkomunikasi dengan demonlah yang mengangkat para penyihir ke strata tinggi, sedangkan manusia biasa yang disebut commoner, tergolong kelas rendahan dan mesti tunduk di bawah kendali penyihir. 

Di kalangan penyihir ini berkembang kompetisi untuk meraih posisi terhormat dengan memanfaatkan berbagai cara. Seperti kata Lovelace, di dunia sihir, "Tak ada kehormatan, tak ada kemuliaan, tak ada keadilan. Setiap penyihir bertindak hanya untuk kepentingan diri sendiri, merenggut setiap kesempatan yang dapat diraihnya. Saat dia lemah, dia menghindari bahaya. Tapi saat dia kuat, dia akan menyerang." (hlm. 329). Benturan antara sesama penyihir inilah yang mencetuskan konflik utama buku pertama dari trilogi Bartimaeus ini. 

Hanya, walau mengetengahkan dunia sihir, dan tentu pasti ada elemen-elemen dunia sihir di dalamnya, kita tidak akan menemukan banyak teknik sihir atau mantra yang dirapalkan dengan berbagai bahasa aneh seperti pada kisah lain berlatar dunia sihir. Ada disebutkan mantra seperti mantra penjepit sistematis, mantra pengikat total atau mantra pembebasan, tapi sekadar disebutkan kegunaannya. Di sini ritual sihir yang penting adalah ritual pemanggilan demon. Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kenikmatan membaca buku satu ini.


Jonathan Stroud memaparkan kisah seru ambisi penyihir dalam plot yang dirancang secara yahud. Pembaca akan didorong untuk terus mengikuti aksi Bart dan Nat yang dipicu oleh amarah dan dendam si penyihir muda. Plotnya semakin lama semakin runcing hingga mencapai akhir, yang tidak saja melegakan, tapi juga memuaskan. Plot bertaburan ornamen menggelitik seperti transformasi Bart yang bisa menjadi apa saja yang ia inginkan, prosedur pemanggilan demon dengan tatacara menggambar pentacle, atau soal plane (tingkat keberadaan), yang mana diceritakan Bart memiliki akses ke tujuh plane secara berurutan.

Secara keseluruhan, kisah Bartimaeus ini merupakan sebuah kisah yang menarik yang sayang untuk diabaikan. Edisi Indonesia diterjemahkan dan disunting dengan gurih, sehingga kita tetap bisa merasakan suasana latar yang dibangun Jonathan Stroud lengkap dengan humornya yang menyengat. Buku bagian pertama trilogi ini menjadi semacam suguhan renyah yang akan terus dikunyah, sehingga tak terasa sudah habis dilahap. Mungkin, kepuasan pembaca hanya akan terpenuhi secara tuntas setelah kehadiran buku kedua, The Golem's Eye, dan buku ketiga, Ptolemy's Gate.
 
Menurut pengakuan Stroud, ide kisah Bartimaeus muncul pertama kali Oktober 2001 dan membutuhkan dua tahun untuk merangkainya menjadi novel yang siap diterbitkan. Untuk pertama kalinya, judul pertama, The Amulet of Samarkand (Amulet Samarkand), dipublikasikan Oktober 2003. Dua buku berikutnya berturut-turut terbit tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006, The Bartimaeus Trilogy (Trilogi Bartimaeus) memenangkan Mythopoeic Award untuk kategori literatur anak dan Grand Prix de l'imaginaire, untuk kategori fantasi dan fiksi sains (Prancis). Amulet Samarkand sendiri telah memenangkan sejumlah penghargaan seperti Boston Globe/Horn Book Honor 2004 (USA) dan Lancashire Children's Book Award 2005 (Inggris).

Selain trilogi ini, penulis  telah menghasilkan sejumlah puzzle-book, karya nonfiksi, dan novel seperti Buried Fire, The Leap, dan The Last Siege. Trilogi Bartimaeus yang hak pembuatan versi filmnya telah terjual sebelum bukunya diterbitkan membuat nama Jonathan Stroud semakin moncer di dunia fiksi fantasi internasional. Dengan kemungkinan ekranisasi kisah Bartimaeus ini, tak ayal mantan editor buku anak-anak di Walker Books ini akan menjajarkan namanya dengan penulis kisah fantasi dunia sihir sukses seperti J. K. Rowling atau Christopher Paolini.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan