Judul Buku: The Lieberman Papers - A Death in Vienna
Diterjemahkan dari : Mortal Mischief
Penulis : Frank Tallis
Penerjemah: Esti A. Budihabsari
Tebal : 580 hlm; 20,5 cm
Diterjemahkan dari : Mortal Mischief
Penulis : Frank Tallis
Penerjemah: Esti A. Budihabsari
Tebal : 580 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, Maret 2007
Penerbit : Qanita
Penerbit : Qanita
Kecantikan Yang Mengundang Petaka
"Itu adalah hari saat terjadinya badai besar. Aku ingat dengan baik karena ayahku-Mendel Liebermann-mengundangku untuk minum kopi di The Imperial. Aku curiga bahwa ia punya maksud tertentu ...."
Kalimat di atas adalah kalimat pembuka sekaligus penutup novel berjudul asli Mortal Mischief karya Frank Tallis, seorang penulis yang berprofesi sebagai psikolog klinis dan pakar dalam bidang pembahasan tentang obsesi di Inggris. Sebenarnya kalimat ini tidak ada pengaruhnya pada isi novel. Dengan kata lain, jika kalimat ini dicopot, daya tarik novel sama sekali tidak akan luntur. Kalimat ini mungkin ditambahkan untuk menyatakan bahwa isi novel merupakan catatan peristiwa yang dialami si tokoh utama, Maxim Liebermann, seorang psikoanalis muda, sehubungan dengan misteri kasus kriminal yang dipecahkannya. Tapi melihat sudut pandang penceritaan yang digunakan, yaitu menggunakan orang ketiga, rasanya kurang pas untuk membaiatnya sebagai The Liebermann Papers.
Yang pasti, tokoh Maxim Liebermann (Max), akan menjadi karakter utama tidak hanya untuk novel ini. Frank Tallis telah merancang serial detektif untuk sang psikoanalis dan murid Sigmund Freud ini dengan teman main musiknya, Inspektur Oskar Rheinhardt, menggunakan Wina tahun 1902 hingga 1914 sebagai latar. Mortal Mischief atau di Amerika (dan Indonesia) diterbitkan dengan judul A Death in Vienna adalah buku pertama serial yang diberi judul The Liebermann Papers. Setelah Mortal Mischief, Frank Tallis telah menerbitkan buku kedua berjudul Vienna Blood, sedangkan buku ketiga, Fatal Lies, dijadwalkan terbit tahun 2008. Dalam bidang penulisan, Frank Tallis, pengajar psikologi klinis dan neurosains di Institute of Psychiatry dan King's College London telah menerima penghargaan Writers' Award dari Arts Council of Great Britain (1999) dan New London Writers' Award (London Arts Board, 2000). Lelaki yang saat ini berdomisili di London selain telah menghasilkan berbagai karya nonfiksi, juga telah menulis novel-novel seperti Killing Time dan Sensing Others.
Dalam buku pertama serial The Liebermann Papers
ini Maxim Liebermann dikisahkan membantu investigasi pembunuhan seorang
wanita berparas luar biasa cantik. Inspektur polisi yang menangani
investigasi adalah Oskar Rheinhardt, sahabatnya. Wanita bernama
Charlotte Löwenstein (Lotte) yang adalah seorang medium, ditemukan tewas
di ruang duduk apartemennya yang terkunci dari dalam. Penyebab
kematiannya tidak lain adalah luka tembak tepat di jantungnya. Tapi
tidak ditemukan senjata atau jejak peluru di dalam ruangan itu. Hanya
ada sehelai kertas berisi pesan yang berbunyi: Tuhan, ampuni aku atas
apa yang telah kulakukan. Di dunia ini memang ada pengetahuan yang
terlarang. Ia akan membawaku ke neraka -dan tak ada jalan untuk
bertobat. Sebuah pesan yang menyiratkan bahwa Lotte mati karena pekerjaannya sebagai pemanggil arwah.
Setelah
dugaan kematian Lotte sebagai kematian bunuh diri, muncul dugaan baru
jika ia tewas karena sesuatu yang bersifat supranatural. Apalagi ketika
dilakukan autopsi, meski ditemukan luka tembak yang membuat jantungnya
robek, tidak ditemukan peluru dalam tubuh Lotte. Padahal tidak ada bukti
kalau peluru yang mematikan itu tembus hingga keluar dari tubuhnya.
Akibatnya, perhatian Oskar Rheinhardt lebih terpusat pada bagaimana
pembunuhan itu dilakukan dan bukan pada siapa yang melakukan pembunuhan
itu.
Terkaitnya
Max Liebermann dalam kasus ini, mengarahkan investigasi pada anggota
kelompok spiritualis yang dipimpin sang korban. Mereka adalah Karl
Uberhorst, seorang tukang kunci, pria kecil dengan penampilan yang
mengingatkan pada penyu; Hans Bruckmüller, mantan tukang daging,
memiliki bisnis alat bedah dan bertunangan dengan Cosima von Rath, salah
satu wanita terkaya di Wina; Heinrich Hölderlin, seorang bankir dan
istrinya Juno; Natalie Heck seorang gadis menarik yang bekerja sebagai
penjahit; Zoltán Záborszky, bangsawan kere dari Hungaria dengan rahasia
kehidupan seksual abnormal; Otto Braun, seorang tukang sulap yang
memiliki masa lalu bersama Lotte, beberapa waktu sebelumnya mereka
terlibat pertengkaran yang berhubungan dengan masalah finansial.
Hasil investigasi selanjutnya yang mengungkapkan bahwa Lotte tewas dalam keadaan hamil kian membuat pelik kasus ini.
Simultan
dengan investigasi kematian Lotte, Max, sebagai psikoanalis harus
merawat pasiennya, Amelia Lydgate, pengasuh anak-anak Pendeta Schelling,
seorang pendeta anggota parlemen dari Partai Sosial. Amelia adalah
gadis Inggris yang datang ke Wina dengan tujuan untuk kuliah kedokteran.
Mendadak ia sakit, anoreksia, batuk-batuk, dan mengalami kelumpuhan
tangan kanan. Ia didiagnosis menderita penyakit histeria dan ditemukan
memiliki kecenderungan kepribadian ganda. Bukannya merawat Amelia dengan
menggunakan elektroterapi sebagaimana yang diinginkan atasannya,
Profesor Wolfgang Gruner, Max malah menggunakan psikoterapi yang
dianggap sebagai tren merusak dalam profesi kedokteran jiwa. Tersingkap
jika sesungguhnya penyakit histeria yang menimpa Amelia disebabkan oleh
tindakan pelecehan seksual yang dilakukan si pendeta. Hal ini tentu saja
ditentang oleh Profesor Gruner mengingat reputasi Pendeta Schelling
yang sangat tinggi dalam bidang moral. Pada akhir sesi terapi dengan
Amelia, Max memutuskan untuk menjauhkan gadis cerdas ini dari keluarga
Schelling.
Sementara
itu, kasus yang ditangani Oskar semakin meruncing dengan dibunuhnya
salah satu anggota kelompok spiritualis yang lain. Pada saat inilah
Amelia Lydgate, yang telah keluar dari rumah sakit, menampilkan siapa
sesungguhnya dirinya dan berhasil memecahkan misteri luka tembak di dada
Lotte. Penemuan Amelia mengantarkan Liebermann pada penyingkapan kedok
sang pembunuh yang sangat lihai dan cerdas. Untuk itu, Liebermann
membutuhkan sebuah lokasi khusus guna menciptakan suasana dunia mimpi,
tempat batasan antara realitas dan dunia tak nyata menjadi kabur dan
keinginan-keinginan terlarang muncul secara dramatis.
Sebagai
novel detektif, kisah Maxim Liebermann ini hadir memikat dan
mengejutkan. Novel ini tidak sekadar membeberkan penyingkapan sosok
kriminal di balik kasus pembunuhan yang terjadi, tapi juga mengulik
kedalaman psikologis karakter yang terlibat di dalamnya. Frank Tallis
sama sekali tidak menunjukkan kesan terburu-buru dalam menggulir plot
ceritanya. Cerita yang mengalir terkendali, tuntas, mengoyak ke dalam
relung jiwa setiap karakter ditisiknya dalam bab-bab singkat yang sangat
persuasif. Setelah menikmati satu bab, pembaca akan terdorong untuk
menelusuri bab berikutnya karena setiap bab diakhiri secara efektif
dengan sentuhan mengundang.
Kisah
pembunuhan berbalut eksotisme Eropa di kota cantik Wina ini tergelar
dalam 6 bagian besar yang terdiri atas 87 bab. Awalnya akan terasa
sangat panjang, apalagi kisah ini, untuk edisi Indonesia, memakan 500
halaman lebih dengan ukuran huruf yang tidak terlalu besar yang
untungnya masih tetap enak dibaca. Tapi begitu kita masuk ke dalam
relung-relung kisah, tergiur dengan misteri yang ada, terpesona dengan
karakter-karakter yang dihadirkan, tergelitik oleh problematik kejiwaan
dan tingkah laku para karakter, kita akan segera menyukai novel karya
Frank Tallis ini. Apalagi harus diakui Frank Tallis memahami benar apa
yang hendak ia sampaikan. Bukan hanya secara isi, sesuai profesinya
sebagai psikolog klinis dan pakar tentang obsesi, tapi juga dalam hal
teknik penyajian. Ia tahu benar kapan memangkas satu bab dan beralih ke
bab lain sambil memoles efek adiktif ke dalam benak pembaca. Dan dengan
gemilang melemparkan pembaca pada klimaks yang sangat menegangkan dan
tak terduga, memuaskan pembaca dengan tersingkapnya paras sang pembunuh,
tapi juga membuat trenyuh menyaksikan sang pembunuh yang ketaton
gara-gara ambisinya dihancurkan. Sungguh sebuah novel detektif dengan
integritas kisah dan karakterisasi yang dirancang secara mantab,
memesona, dan intelegen. Tokoh utamanya secara langsung akan
mengingatkan pada Sherlock Holmes, tapi dengan pengetahuan psikoanalisis
dan kemampuan musikal yang sangat menarik.
Selain
menghadirkan kisah detektif yang luar biasa, Frank Tallis juga
menyelipkan kisah cinta sebagai bagian wajar dari kehidupan seorang
lelaki lajang. Kisah cintanya tak kalah menarik, meski bukan merupakan
bagian utama novel. Terasa lucu, Max Liebermann, sang psikoanalis yang
trengginas memecahkan misteri kedalaman jiwa manusia, digambarkan
seolah-olah tidak memahami dirinya sendiri dalam hal percintaan,
sehingga akhirnya diam-diam terpikat wanita lain, wanita yang bukan
tunangannya. Sebuah indikasi pada kehadiran pergolakan cinta (segitiga)
yang mungkin akan merebak pada serial The Liebermann Papers berikutnya. Kita tunggu saja.
0 comments:
Post a Comment