11 February 2012

Edensor


Judul Buku : Edensor
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Tebal : xii + 290 hlm ; 20,5 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Bentang Pustaka

  

Mereka sangat menyukai pelangi. Bagi mereka, pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Oleh Ibu Muslimah Hafsari, guru mereka di SD Muhammadiyah Belitong, mereka disebut Laskar Pelangi. Mereka adalah Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Borek (Samson), Kucai, Sahara, A Kiong (Nur Zaman), Syahdan, dan Harun. Belakangan jumlah mereka menjadi 11 orang dengan bergabungnya Flo. Kisah 11 anak ini hadir dalam novel berjudul Laskar Pelangi (September 2005) karya Andrea Hirata Seman, penulis asal Belitong. Sebuah novel yang menggiring nama sang penulis ke pelataran dunia sastra Indonesia dan mencatatkan diri sebagai salah satu penulis yang langsung melejit lewat karya perdana. 

Bagi yang sudah pernah membaca novel Laskar Pelangi ini pasti tidak akan melupakan kisah menyentuh hati dan mengharukan yang hampir seluruhnya dituturkan oleh karakter bernama Ikal (kecuali bab terakhir, Syahdan bertindak sebagai narator), yang tidak lain adalah Andrea sendiri. Buku ini merangkai kembali kenangan masa-masa indah dan getir yang dilalui oleh anggota Laskar Pelangi untuk menikmati pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Salah satu di antara mereka, seorang anak yang paling cerdas, harus meninggalkan sekolah dan melupakan mimpi-mimpinya karena kehidupan yang keras dan tidak ramah. Seorang yang lain, yang paling tampan, mengalami gangguan kejiwaan yang parah. Ikal, sang narator utama, kehilangan cinta pertamanya, seorang gadis Hokian. Yang tersisa buat Ikal adalah kenang-kenangan berupa buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara. Buku karya Herriot ini memperkenalkan Ikal pada sebuah desa khayalan nan indah bernama Edensor. Selanjutnya, perjalanan kehidupan Ikal  tidak bisa lepas dari kenangan akan si gadis Hokian, Herriot, dan Edensor.

Setelah novel Laskar Pelangi, Juli 2006 Andrea membukukan karya keduanya, Sang Pemimpi. Tiba-tiba di sampul buku itu telah tertera kalimat yang menyatakan bahwa kisah Laskar Pelangi akan mewujud dalam tetralogi. Padahal pada buku pertama tidak ada indikasi akan adanya pengembangan kisah Laskar Pelangi. Kisah Laskar Pelangi sepertinya telah berakhir meski Andrea sempat menyinggung usaha Ikal untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. 

Sang Pemimpi, dengan naskah yang jauh lebih ramping, masih tetap hadir menawan sebagaimana buku pendahulunya. Andrea semakin menunjukkan kepiawaiannya dalam menggerakkan cerita dengan kecakapan mengolah kata. Ia berbakat menciptakan metafora segar melalui pemanfaatan kekayaan diksi. Meski demikian, Sang Pemimpi ternyata memunculkan kejanggalan dan inkonsistensi. Mendadak, karakter Arai melompat masuk ke dalam novel dan menjadi sobat terdekat Ikal. Membaca kedekatan hubungan antara Ikal dan Arai, terasa janggal pada buku Laskar Pelangi, Ikal, sang narator utama tak sekalipun menyinggung tentang Arai. Kesan yang tertangkap, Arai dimunculkan untuk menyulih Lintang, karakter paling memesona dalam Laskar Pelangi, yang brilian tapi memiliki nasib kurang beruntung. Dalam Sang Pemimpi juga dikisahkan bahwa Ikal dan Arai merantau ke Jawa selulus SMA. Padahal dalam Laskar Pelangi (hlm. 492) yang merantau bersama-sama ke Jawa selepas SMA ada 3 orang yaitu Ikal, Syahdan, dan Kucai. 

Nyatanya kehidupan Ikal dan Arai (yang tidak termasuk Laskar Pelangi) yang kemudian dikembangkan dalam sekuel Laskar Pelangi. Di SMA, keduanya memiliki guru kesusastraan bernama Pak Balia yang mendorong mereka berani bermimpi bisa kuliah di Université de Paris, Sorbonne, Prancis dan menjelajah Eropa sampai Afrika. Setelah mereka meninggalkan Belitong, bertahun-tahun kemudian impian itu menjadi nyata. Ikal dan Arai mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk kuliah di Sorbonne. 

EDENSOR, buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi menyuguhkan realisasi mimpi-mimpi Ikal dan Arai. Diceritakan mereka berangkat ke Prancis, mengambil kuliah yang berbeda, kemudian pada suatu liburan musim panas, mereka memutuskan menjelajah Eropa dan Afrika. 

Andrea membentangkan kisah perjalanan Ikal dan Arai dalam mozaik-mozaik berupa kisah-kisah dengan durasi yang singkat. Setiap bagian (mozaik) terkadang seolah-olah berdiri sendiri dan terlepas dari keseluruhan jalinan cerita. Hingga mozaik ke-9, Andrea belum mencapai Paris. Ia justru menceritakan hal-hal yang sepertinya tanggal dari alur kisah seperti teman Ikal bernama Weh, kelahiran Ikal, proses munculnya nama Andrea, dan beberapa pengulangan dari buku sebelumnya. Setelah membaca seluruh buku, baru bisa disimpulkan jika hal itu disengaja karena akan berkelindan dengan peristiwa-peristiwa yang akan diceritakannya kemudian.

Sebagai orang Indonesia dengan latar belakang budaya dan agama serta paradigma yang berbeda, sudah pasti Ikal dan Arai mengalami sejumlah benturan. Benturan-benturan tersebut menghasilkan apa yang antara lain disebut Ikal sebagai paradoks. Dalam keadaan ini, Ikal memosisikan dirinya secara cerdas sebagai pengamat kehidupan. Ia bahkan menjadikan kelasnya sebagai laboratorium perilaku. Pada bagian ini, Andrea melaporkan hasil pengamatan Ikal secara menarik, tajam, dan kadang menggelikan. Melihat dirinya sebagai minoritas dengan kemampuan di bawah rekan-rekan lain yang menakjubkan; menonton persaingan para jagoan memperebutkan cinta seorang gadis cantik; menemukan bahwa kendati ada gadis yang memikat hatinya, cinta pertamanya tetap tidak bisa dihalau dari hatinya, dan memandang dirinya tak ubahnya seperti salju yang berderai di Sahara (Anak Melayu pedalaman di Paris). Dengan Ikal sebagai narator, pengalaman kuliah di Sorbonne dan gegar yang menghantam sepertinya hanya terpusat pada diri Ikal. Arai baru memperoleh wilayah berekspresi lebih luas setelah perjalanan menjelajah Eropa sampai Afrika terwujud.

Perjalanan mengelilingi Eropa sampai Afrika ini menjadi bagian yang sangat menarik dari seluruh novel ini. Meski mesti diakui di beberapa tempat, tak bisa dicegah hadirnya kesan seperti sedang membaca laporan perjalanan. Yang membuatnya menjadi berbeda, tentu saja gaya yang digunakan. Kejadian-kejadian mengejutkan dan menggelikan sepanjang perjalanan itulah yang akhirnya memberikan tenaga pada kisah perjalanan Ikal dan Arai. Pembaca akan memahami alasan Andrea mengajukan beberapa mozaik di bagian awal novel yang sepintas tampak tidak ada hubungannya dengan jalan cerita. Selain akan mengungkap beberapa hal yang belum terjawab dalam Sang Pemimpi, perjalanan ini juga akan menjadi perjuangan pencarian si gadis Hokian yang sangat menyentuh hati. Pada akhirnya perjalanan ini akan mengantar Ikal pada pemahaman bahwa, "jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi, sepahit apa pun keadaannya" (hlm. 266).

Kembali ke Paris, Ikal harus menghadapi kenyataan yang membuatnya sedih dan ingin segera pulang ke Indonesia. Tapi justru, rentetan peristiwa selanjutnya memberikannya jalan pada tersingkapnya keberadaan Desa Edensor. 

Bagi yang telah mengenal kecakapan Andrea dalam bertutur, pasti tidak bisa melupakan kefasihan lelaki berpendidikan S2 Sheffield Hallam University Inggris ini memberi warna jalinan kisahnya. Dia bukan hanya cakap menyajikan adegan mengharukan dengan porsi pas yang akan melekat di ingatan pembaca, ia juga memiliki kekayaan humor yang saking menggelikan akan membuat pembaca terbahak-bahak. Simak adegan dalam Mozaik 11 (John Wayne) ketika Simon Van Der Wall menolak memberikan akomodasi pada Arai dan Ikal yang baru tiba di Belgia. Mereka harus bermalam di sebuah taman di tengah hujan salju pada suhu di bawah nol derajat celcius. Pada saat yang menggiriskan itu, akal Arai bekerja aktif, nyawa Ikal tertolong, dan akhinya mereka menghabiskan malam sambil menikmati ikan teri panggang bersama keluarga tupai, kelinci, dan rakun mapache. Menyentuh hati dan menerbitkan senyuman.

Simak juga adegan pada mozaik yang lain, ketika Ikal dan Arai dalam kostum ikan duyung berpose seperti patung Juliette di pelataran Colosseum Verona. Usaha itu mereka lakukan untuk membiayai perjalanan backpacking mereka. Tapi untuk itu, malamnya mereka harus mengompres dada dengan es baru bisa tidur. 

Tentu saja masih ada kisah-kisah lain yang menggelikan atau yang menyentuh hati yang dibeberkan Andrea yang tidak perlu dibicarakan di sini secara lengkap. Semuanya menjadi pengejawantahan dari keinginan Ikal seperti yang bisa dibaca pada halaman 42-43 buku ketiga tetralogi Laskar Pelangi ini. 

Buku ini, mau tidak mau, akan semakin mengisbatkan nama Andrea Hirata sebagai penulis cerdas penuh bakat dengan segudang kisah yang akan senantiasa disukai oleh pembaca karya-karyanya, yang memiliki kekayaan pengolahan diksi dan penciptaan metafora yang evokatif. Meski harus diakui ada juga penggunaan kata yang terkesan janggal seperti durja pada kalimat : "Namun di sini, di bawah patung Robert de Sorbonne yang durja...." (hlm. 142) atau, "...dan kami menjadi elegan bak dua peri laut yang sedang durja" (hlm 184). Setahu saya, durja (seperti pada ungkapan muram durja) berarti wajah, muka, paras, atau tampang.  

Setelah bagian ketiga ini, Maryamah Karpov akan menjadi pamungkas tetralogi yang dianggap sang penulis sebagai proyek seni pribadi untuk pulau kecil tempat kelahirannya, Belitong.

Tahukah engkau, Kawan? Sayang rasanya melewati karya Andrea Hirata ini.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan