Judul Buku: The Last Ember
Pengarang: Daniel Levin
Penerjemah: Fahmy Yamani
Cetakan: 1, Juni 2010
Penerbit: Serambi
Flavius Yosefus adalah ahli sejarah abad pertama berdarah Yahudi yang dikenal dengan karya-karya seperti The Jewish War (tahun 75) dan Antiquities of the Jews (94). Bernama Ibrani Yusuf bin Matias, Yosefus dikenal sebagai imam yang memimpin perlawanan terhadap bangsa Romawi tahun 66 di Galilea. Ia mengalami kekalahan, dan menyusul tindakan bunuh diri anggota menyerah dan ditangkap.
Pada tahun 69
Yosefus dibebaskan dan direkrut menjadi penerjemah pribadi Jenderal Vespasian
dan putranya, Titus -yang memimpin penyerangan dan penghancuran Yerusalem.
Sesudah perang, oleh kaisar Vespasian, ia dianugerahi kewarganegaraan Romawi. Disebut-sebut
bahwa begitu ditangkap, Yosefus memberikan kepada pihak Romawi informasi untuk
menerobos dinding Yerusalem. Oleh karena itu, sejarah menobatkan Yosefus
sebagai pengkhianat terhadap bangsanya. Meskipun demikian, ada kalangan yang
meyakini jika Yosefus sesungguhnya bukanlah pengkhianat. Ia menyerah kepada pihak
Romawi dengan maksud menjadi mata-mata di dalam istana Romawi. Alhasil, catatan
sejarahnya mengenai pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang banyak dicari
di dunia Romawi diduga mengandung sejumlah ketidakbenaran.
Tokoh sejarah
inilah yang menjadi roh yang menyelubungi novel bertajuk The Last Ember karya perdana Daniel Levin, seorang pengacara yang
membuka praktik hukum internasional di New York. Kemisteriusan kehidupan
Yosefus ia coba ungkap melalui upaya penyelamatan yang diduga dilakukan Yosefus
terhadap sebuah artefak dari Baitallah (Al Haram asy Syarif) di Yerusalem.
Artefak itu telah menjadi target pencarian berbagai bangsa seperti Assyria,
Babilonia, Persia, Romawi, dan Yunani.
Dikisahkan, Jonathan
Marcus, seorang pengacara muda New York, ditugaskan ke Roma untuk terlibat persidangan
kasus berkenaan dengan dua potong Forma
Urbis Romae―peta kota Roma yang diukir pada batu besar berdiameter lebih
dari 30 meter. Kementerian Kebudayaan Italia menuduh bahwa kedua potongan itu
dicuri dari arsip kenegaraan Italia di Roma puluhan tahun silam. Saksi ahli
kementerian, seorang pejabat PBB bernama Dr. Emili Travia, mengaku pernah
melihat potongan itu saat menyelidiki penggalian ilegal di kompleks Baitallah
di Yerusalem. Kedatangan Jonathan ke Roma, dengan modal pengetahuan dalam bidang
studi klasik, diharapkan bisa mementahkan kesaksian sang doktor yang sebenarnya
pernah memiliki romansa dengannya.
Tujuh tahun
sebelumnya, Jonathan adalah mahasiswa program doktor bidang studi klasik
Akademi Amerika di Roma. Berkat tesisnya mengenai Yosefus, ia memenangkan
Penghargaan Roma pra-doktoral. Gairah penelitian membuatnya terlibat penggalian
ilegal sebuah katakombe yang berakhir malapetaka. Gianpaolo Narcusi,
salah satu dari tiga rekannya―yang lain Emili Travia dan Sharif Lebag―tewas.
Jonathan dikeluarkan dari Akademi Amerika, mengambil kuliah hukum, lalu menjadi
pengacara. Namun, ia tidak sepenuhnya meninggalkan bidang klasik. Latar belakangnya
justru membuatnya menjadi komoditas yang diburu para pedagang barang antik yang
terlilit masalah. Seperti halnya maksud kedatangannya kembali ke Roma.
Jonathan menemukan,
ternyata, potongan Forma Urbis Romae
itu menyimpan sebuah pesan steganografi yang berbunyi: Error Titi (Kesalahan Titus). Menurut sejarawan kuno, di penghujung
hidupnya, Titus, yang juga ikut dalam penyerangan Yerusalem, pernah mengatakan:
”Aku membuat sebuah kesalahan”. Perkataan Titus ini telah menjadi misteri besar
dari dunia kuno yang belum terjawab. Jonathan menemukan juga jika Potongan Forma Urbis Romae itu berkaitan dengan
Yosefus.
Dalam persidangan terkuak, sebelumnya, Emili yang
dikenal di dunia konservasi barang kuno sebagai Malaikat Artefak, tidak bisa
mengabaikan laporan mengenai dugaan penghancuran arkeologi di bawah Baitallah yang
dilakukan Dewan Wakaf. Ia hendak mendatangi kompleks Baitallah, tetapi yayasan
perwalian rahasia Islam yang menangani Baitallah sejak 1187 tidak memberinya
izin. Maka, secara diam-diam, ia melakukan penyelidikan bersama rekannya,
Sharif Lebag. Di sanalah Emili melihat potongan Forma Urbis Romae ―dan gambar digital sejumlah halaman dari
manuskrip Yosefus― sebelum Sharif Lebag tewas. Emili menduga kematian Lebag tidak
bisa dilepaskan dari potongan itu.
Bukannya melawan dengan
gigih, selanjutnya Jonathan justru bekerja sama dengan Emili untuk menguak
misteri potongan Forma Urbis Romae. Mereka menemukan sebuah tsurat ha-hidah (teka-teki simbolis), sebuah kalimat yang ditulis
dalam bahasa Latin dan Yahudi, Kodosh
Arbor Ohr’ (Pohon Cahaya Suci). Penemuan ini menghanyutkan mereka ke dalam arus
petualangan yang melibatkan sejumlah karakter. Tidak hanya di bawah Colosseum yang
menjadi asal Forma Urbis Romae,
tetapi juga mengalir hingga kompleks Baitallah di Yerusalem. Mereka akan
menjadi saksi mata penghapusan sejarah yang terjadi di bawah dua kota berjarak
seribu enam ratus kilometer: Roma dan Yerusalem. Dalam petualangan mereka,
terungkap kebenaran keberadaan artefak berumur dua ribu tahun, simbol sejarah
yang dipandang lebih hebat dari mitos agama mana pun, yang bertaut erat dengan
“Kesalahan Titus”.
“Kesalahan Titus” telah
menjadi obsesi seorang lelaki bernama samaran Salahuddin. Obsesi itu merupakan
obsesi beranting dari kakeknya, Mufti Agung Haji Amin al-Husaini, yang pernah
memimpin Dewan Wakaf tahun 1930-an. Sang kakek telah memanfaatkan
persahabatannya dengan Adolf Hitler untuk merampok arsip arkeologi di seluruh
wilayah pendudukan Nazi untuk menggali maksud perkataan Titus. Penyelidikan
sang mufti memunculkan keyakinan bahwa eksistensi bangsa Yahudi terkait dengan
artefak yang diselamatkan Yosefus dari Baitallah. Sama seperti Titus, sampai
mati, al-Husaini gagal menuntaskan obsesi antisemitis-nya. Saat ini, Salahuddin
tidak ingin mengalami kegagalan yang sama.
Seiring dengan itu, di Roma, bersama timnya,
Jacopo Profeta, komandan Pelindung Warisan Kebudayaan Italia―unit penyelidik
kejahatan barang antik dalam kepolisian Italia, menemukan mayat wanita cantik
tanpa busana yang diawetkan dalam sebuah pilar marmer kuno. Di tempat yang sama
juga ditemukan sejumlah halaman yang dirobek dari manuskrip Yosefus. Investigasi
yang dilakukan Profeta menggiringnya pada kesimpulan jika mayat wanita cantik
itu diambil dari lokasi yang sama dengan tempat penggalian ilegal yang
dilakukan Jonathan tujuh tahun sebelumnya.
Perguliran plot akan mengelupas lapis demi lapis
siung yang membungkus pencarian misterius yang menghubungkan pasangan
Jonathan-Emili, Salahuddin, dan Profeta. Di titik kulminasi, tidak hanya
terungkap jejak terakhir artefak dengan
bara api penghabisannya, namun juga pengkhianatan yang dirancang dengan licik tanpa
disadari para korbannya.
The Last Ember diramu menggunakan formula identik yang pernah digunakan pengarang seperti
―sebut saja― Dan Brown, Steve Berry, atau James Rollins. Petualangan berporos
pada misteri zaman kuno yang menjadi obsesi sementara kalangan, sejoli
protagonis yang terlibat romansa, dan karakter antagonis tak terduga. Tidak
lupa, plot yang mengalir kencang, semakin meruncing seiring terungkapnya
berbagai petunjuk penting, yang tentu saja selalu membuka jalan bagi para
protagonis menuju kemenangan.
Sebagai sarjana dalam bidang kebudayaan Romawi
dan Yunani (Universitas Michigan), Levin mengangsurkan misteri kuno
berlandaskan bidang yang dikuasainya. Meskipun apa yang menjadi misteri kuno di
sini sesuatu yang fiktif, Levin memberikan latar belakang sejarah yang mampu
membangun keyakinan pembaca terhadap apa yang ia suguhkan. Dampaknya, novel ini
tersaji secara menarik, sejak awal hingga akhir.
Levin masih mengaduk kuali permasalahan
keagamaan, tetapi tidak dalam kapasitas menyerang kubu agama tertentu demi
melahirkan sensasi. Si karakter antagonis memiliki obsesi yang merupakan wujud rasa
antipati pada eksistensi sebuah agama, tetapi dalam berbagai percakapannya,
kita tidak akan menemukan ungkapan-ungkapan pedas yang menjelek-jelekkan
keyakinan bersangkutan. Boleh dikatakan, berbicara soal agama, Levin tergolong
santun.
Sejoli protagonis seperti telah menjadi kemestian
dalam novel thriller. Rasanya ’kurang
lezat’ jika pasangan protagonis merupakan pasangan perempuan ataupun laki-laki.
Levin mengenal resep ini, dan melakukannya juga. Diberi latar belakang, ketertautan
satu dengan yang lain, kecerdasan yang kurang lebih sama, dan bumbu romansa, The Last Ember pun hadir membawa bara bagi
semua gender.
Karakter antagonis kerap mendatangkan kebencian
di hati pembaca. Tetapi apa jadinya The
Last Ember tanpa karakter antagonis? Karakter inilah sesungguhnya yang membuat
sebuah novel thriller hidup hingga
sanggup merampok perhatian pembaca. Levin menggarap karakter antagonisnya
dengan daya guncang yang akan membuat pembaca mencelus ketika kedoknya
tersingkap. Latar belakang yang diberikannya pada karakter antagonis ini terasa
begitu kuat sehingga memberikan kelogisan pada semua tindakannya.
Meskipun merupakan karya perdana, The Last Ember adalah sebuah novel yang
ditulis dengan mahir. Karenanya, para pembaca novel ini pastinya berharap Levin
akan melanjutkan kiprahnya dalam dunia penulisan novel thriller. Melihat trend
yang berkembang seolah tanpa henti di dunia perbukuan, bisa diduga, Jonathan
Marcus -dan mungkin Emili Travia- masih akan muncul dalam novel-novel Levin
berikutnya. Bagi penggemar fiksi thriller
yang mengusung kemisteriusan dunia kuno, suguhan Levin akan selalu dinanti.
1 comments:
Awesome information..
Keep writing and giving us an amazing information like this..
BW gan kunjungi nyapnyap.com
Post a Comment