09 February 2012

Stardust


Judul Buku: Stardust
Penulis : Neil Gaiman
Penerjemah : Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto
Tebal : 256 hlm; 20 cm

Cetakan: 1, Januari 2007
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama




Biasanya buku yang bermuatan kisah dongeng diterbitkan untuk pembaca anak-anak. Jika akhirnya buku tersebut bisa diterima segala usia, tentu akan menjadi berkah bagi pengarang dan penerbitnya. Kabarnya, saat pertama kali diterbitkan, serial tersohor Harry Potter ditujukan untuk pembaca dewasa. Tapi ternyata serial ini bisa diterima oleh pembaca segala usia. Dan baik pengarang maupun penerbit sudah pasti sukses menangguk laba. Hal ini tentu saja tidak menjadi masalah, karena kisah dalam Harry Potter tergolong layak dibaca segala usia. 

Stardust (Serbuk Bintang) karya Neil Gaiman lain ceritanya. Seperti Harry Potter, buku ini ditargetkan untuk pembaca dewasa. Bedanya, Stardust mengandung unsur yang membuatnya tidak layak dibaca anak-anak. Stardust memuat kurang lebih dua unsur yang menjelaskan penyebab buku ini mesti diberi label novel/dongeng untuk pembaca dewasa, yakni unsur kekerasan, dan unsur seks. Unsur kekerasan dalam Stardust yang paling menonjol adalah pembunuhan seekor kuda oleh penyihir perempuan yang dilakukan  dengan sadis. Setelah membunuh kuda tersebut, penyihir itu memancung kepala kuda hingga darah mengalir membentuk kolam. Sedangkan unsur seks diceritakan sekitar dua kali. Meski tidak vulgar, dan diterjemahkan dengan baik,  adegan seks dan deskripsi anatomi tubuh perempuan dewasa tidak layak dibaca oleh anak-anak (dan semoga tidak ada anak-anak yang 'kebetulan' membacanya karena melihat sampulnya yang menarik). 

Rupanya, Neil Gaiman, sang pengarang, menulis Stardust karena terinspirasi kreativitas pengarang kisah-kisah fantastis seperti C. S. Lewis yang kendati menargetkan pembaca anak-anak, karyanya tetap disukai oleh orang dewasa. Hanya saja untuk Stardust Neil Gaiman tidak berharap buku yang ia tujukan khusus pembaca dewasa ini terbaca oleh anak-anak yang gemar membaca kisah-kisah fantasi.

Awalnya Stardust diterbitkan dalam bentuk komik untuk pembaca dewasa pada tahun 1997 dengan ilustrasi yang dikerjakan Charles Veiss (namanya bisa ditemukan pada bagian ucapan terima kasih). Pada tahun 1999, Stardust diterbitkan sebagai novel dan mendapat sambutan meriah khalayak pembaca. Neil Gaiman berhasil memenangkan penghargaan prestisius Mythopoeic Award yang kedua kalinya berkat Stardust, yaitu sebagai pemenang novel dewasa terbaik tahun 1999 (tahun sebelumnya novel Neil Gaiman yang berjudul Neverwhere juga memenangkan novel terbaik Mythopoeic Award). 

Stardust memang sebuah dongeng yang menawan. Ditulis dengan alur yang menarik, Stardust melibatkan berbagai karakter unik khas dongeng yang mudah untuk dikenang. Tristran Thorn adalah karakter utama dari novel yang dikukuhkan sebagai salah satu buku terbaik versi Publishers Weekly tahun 1999. Sebelum sebuah bintang jatuh dari gugusan bintang Belantik, Tristran adalah seorang remaja biasa, canggung, dan pemalu. Ia jatuh cinta pada Victoria Forester sebagaimana setiap pemuda Desa Tembok, tempai ia tinggal. Hingga pada suatu senja musim dingin di bulan Oktober, bintang yang disebutkan tadi jatuh, dan demi cintanya pada Victoria, Tristran mencetuskan janji gegabah, yaitu  membawakan benda langit tersebut untuk sang gadis. Janji Tristran membuatnya harus meninggalkan Desa Tembok, melewati celah tembok yang selalu dijaga ketat, dan memasuki Negeri Peri. 

Bintang jatuh yang dilihat Tristran ternyata dilihat juga oleh dua pihak lain yang nasibnya sangat tergantung pada bintang tersebut. Yang pertama adalah tiga putra penguasa Stormhold yang bersaing untuk mendapatkan posisi penguasa Stormhold ke-82. Mereka adalah Primus, Tertius, dan Septimus. Penguasa Stormhold ke-81 telah melemparkan batu ratna cempaka yang dirangkaikan pada dua utas rantai perak ke langit dan menghantam bintang senja tersebut sehingga tercampak ke bumi. Batu ratna cempaka itulah yang menjadi lambang kekuasaan Stormhold, sehingga siapa yang mendapatkannya akan menjadi penguasa berikutnya. Yang kedua adalah tiga nenek kaum Lilim (ratu penyihir) yang tinggal di hutan. Untuk mempertahankan kehidupan mereka, mereka harus menyantap jantung bintang. Mereka menjadi semakin renta karena harus berbagi jantung bintang yang jatuh 200 tahun sebelumnya. Setelah melahap sisa bintang yang tinggal sedikit, Lilim tertua menjadi lebih muda dan mendapat tugas untuk mencari bintang jatuh tersebut untuk dikerat jantungnya. 

Tristran yang menemukan bintang jatuh pertama kali. Di negeri Peri, bintang jatuh ternyata seorang gadis berambut pirang, berpakaian sutra biru, berkaki patah, suka marah-marah, dan bernama Yvaine. Setelah kena hantaman rantai perak ratna cempaka, ia harus membawa milik penguasa Stormhold itu ke mana ia pergi. Tanpa daya, Yvaine harus mengikuti Tristran yang meretas jalan pulang ke Desa Tembok. Di tengah perjalanan mereka menemukan seekor kuda bertanduk gading yang kemudian dijadikan tumpangan Yvaine yang kakinya patah. Sebenarnya Yvaine tidak mau mengikuti Tristran ke Desa Tembok. Karenanya ia mencoba meninggalkan Tristran. Meski Yvaine berhasil meninggalkan Tristran, akhirnya mereka harus bertemu di sebuah penginapan di mulut celah Gunung Perut. Di sini mereka sekaligus berhadapan dengan Lilim yang mengincar jantung si bintang dan Primus yang hendak mengambil batu ratna cempaka yang dibawa Yvaine. Terjadi konflik yang kemudian menyebabkan Primus dan si kuda bertanduk gading tewas. Tristran dan Yvaine berhasil melarikan diri. Tapi Desa Tembok masih jauh, si penyihir masih berupaya mendapatkan jantung Yvaine dan masih ada satu putra raja yang membutuhkan batu ratna cempaka yang dibawa Yvaine --dan berkewajiban menegakkan hukum-darah Stormhold. 

Apakah Tristran akan menginjak Desa Tembok lagi dan mewujudkan keinginan remajanya untuk menikahi Victoria Forester? Bagaimana nasib Yvaine selanjutnya mengingat wujudnya akan berubah begitu memasuki Desa Tembok? 

Novel dongeng yang terdiri atas sepuluh bab (ditambah bab epilog) ini ternyata menyimpan kejutan tak terduga di penghujung kisah layaknya novel-novel biasa. Stardust mau tidak mau menjadi semacam pembuktian jika Neil Gaiman, lelaki kelahiran Inggris yang sekarang tinggal di  Minnesota (Amerika Serikat) ini, adalah seorang pendongeng modern yang piawai. Selain itu dengan Stardust secara telak Neil Gaiman menegaskan bahwa sebuah kisah dongeng bisa dihadirkan dalam alur yang bernas dan memesona tanpa menyebabkan kebosanan, dan akhirnya bisa diterima dan dinikmati oleh pembaca dewasa. 

Neil Gaiman adalah salah satu penulis prolifik yang menulis berbagai karya meliputi prosa, puisi, komik, lirik lagu, drama, skenario film, dan jurnal. Selain Stardust (novel dewasa), Coraline (novel anak), dan Neverwhere (novel dewasa) yang telah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Neil Gaiman juga telah menghasilkan karya seperti American Gods (novel), Anansi Boys (novel), Sandman (novel grafis), The Day I Swapped My Dad For Two Goldsfish (cerita anak), Smoke and Mirrors : Short Fictions and Illusions, dan Good Omens (bersama Terry Pratchett). Neil Gaiman juga telah memenangkan berbagai penghargaan seperti Hugo, Nebula, World Fantasy, Bram Stoker, Locus, British Fantasy, British SF, Geffens, International Horror Guild, dan Mythopoeic seperti disebutkan sebelumnya. Beberapa di antaranya diperoleh lebih dari 1 kali. 

Membicarakan Stardust edisi Indonesia yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tentu saja tidak bisa mengabaikan upaya kedua penerjemahnya. Mereka bisa dikatakan berhasil menyajikan karya Neil Gaiman ini ke dalam bahasa Indonesia dengan penuh pesona. Femmy Syahrani, sebagai penerjemah utama buku ini, memang telah menghasilkan beberapa karya terjemahan yang telah meramaikan dunia buku Indonesia. Hasil terjemahannya antara lain Tsotsi (Bentang Pustaka, 2006), To Kill a Mockingbird (Qanita, 2006), dan The Remains of The Day (Hikmah, 2007). Apapun komentar pembaca lain, saya harus mengakui bahwa Femmy Syahrani adalah salah satu penerjemah terbaik di Indonesia saat ini.



0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan