Judul Buku: The Magdalen
Penulis : Marita Conlon-McKenna
Penerjemah : Retno Wulandari
Penyunting : Yus Ariyanto
Tebal : 536 hlm; 11 X 18 cm
Cetakan: 1, Maret 2007
Penerbit : Dastan Books
Membaca judul novel ini pembaca mungkin akan teringat pada sosok Maria Magdalena (Mary Magdalene). Magdalen di sini adalah nama tempat, yaitu rumah penampungan untuk berbagai perempuan yang dianggap liar dan nakal. Nama Magdalen digunakan berdasarkan anggapan bahwa Maria Magdalena adalah pendosa yang bertobat. Magdalen, lengkapnya Holy Saints Magdalen, memiliki usaha binatu yang mempekerjakan perempuan-perempuan yang dibuang ke tempat ini. Umumnya mereka yang dicampakkan di Magdalen adalah perempuan muda yang hamil di luar nikah. Bisa saja karena hubungan cinta yang tidak sehat, menjadi korban inses, korban perkosaan, atau karena melacur. Karena hamil di luar nikah, mereka dipandang kotor. Di Magdalen mereka akan menghabiskan waktu mencuci tumpukan pakaian dan kain kotor, seakan-akan mereka tidak ada bedanya dengan apa yang mereka cuci. Seperti mereka mencuci sandang kotor hari demi hari, diharapkan mereka dapat mencuci dosa-dosa mereka. Karena mereka dipandang kotor, para pengelola Magdalen memperlakukan mereka dengan kejam. Mereka, yang dijuluki maggie, harus bekerja hampir setiap hari, kecuali hari Minggu. Mereka tidak mendapatkan gaji selain diberikan makanan sekadarnya, sekalipun mereka dalam keadaan hamil. Setelah menguras tenaga di antara air, tumpukan kain kotor, dan sengatan peroksida, upah mereka adalah penebusan dosa dan pengampunan Tuhan. Tak pelak, mereka menjadi korban kesalahan persepsi tentang penebusan dosa dan pengampunan Tuhan.
Marita
Conlon-McKenna menghadirkan Esther Doyle sebagai tokoh utama novel.
Penulis Irlandia yang terkenal sebagai novelis dengan debut berjudul Under the Hawthorne Tree ini menuturkan The Magdalen
sebagian besar menggunakan teknik kilas balik. Cerita dimulai tahun
1952, menyusuri peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Esther Doyle
bertahun-tahun sebelumnya, kemudian kembali lagi di tahun 1952.
Selengkapnya berlatar tahun 1944 sampai 1952.
Esther
Doyle adalah perempuan muda Connemara dari keluarga nelayan. Ia
merupakan anak ketiga dari 6 bersaudara. Satu-satunya anak perempuan ,
sebelum adiknya, Nonie, lahir pada tahun 1944. Nonie hampir mati ketika
dilahirkan, dan Esther lah yang menyelamatkannya. Tetapi ternyata
kelahiran Nonie menjadi awal tragedi dalam kehidupan keluarga Doyle.
Nonie lahir sebagai anak dengan mental terbelakang. Dermot Doyle,
kepala keluarga tewas ketika melaut. Esther meninggalkan sekolah pada
usia 14 tahun. Puncaknya, Nonie tewas di rawa dan Esther menemukan
dirinya hamil gara-gara hubungannya dengan Conor O'Hagan. Con tidak mau
menikahi Esther karena ia harus menikahi Nuala McGuinness, bosnya.
Ibu
Ester, Majella, adalah orang yang paling tidak menghendaki kehamilan
Esther. Oleh karena itu Esther setuju untuk dibawa ke Dublin, menjadi
salah satu maggie di Magdalen. Ia tidak tahu Magdalen akan menambahkan penderitaan dalam hidupnya.
Di
Magdalen, ia bertemu dengan berbagai perempuan, tua dan muda. Umumnya
mereka hamil di luar nikah, anak yang mereka lahir direnggutkan dari
mereka secara paksa dan mereka menghabiskan waktu sebagai pekerja
binatu. Tina, seorang remaja yang mengandung anak ayah kandungnya.
Rita, seorang pelacur, yang tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaan
liarnya meski berada di Magdalen. Sheila, korban cinta pria Amerika
beristri yang meninggalkannya dalam keadaan hamil. Maura, perempuan
paruh baya yang menikah di usia 18 tahun, dituduh membunuh anak
ketiganya dan dibuang di Magdalen. Detta, perempuan tua yang telah
menghabiskan waktunya selama 50 tahun di Magdalen, diusir dari rumah
ayahnya ketika hamil dengan seorang pria yang tidak pernah mengetahui
kehamilannya. Selain mereka masih ada maggie
lain seperti Bernice, Kathleen, Joan, Saranne dan Helen --anak-anak
maggie terdahulu, juga tiga Mary yang mentalnya terbelakang.
Esther
bergaul dengan perempuan-perempuan itu. Merasa senasib. Merasa senang
ketika Rita berhasil melarikan diri setelah mengambil anak kandungnya.
Merasa sedih ketika Detta meninggal tanpa pernah keluar dari Magdalen
sebagai perempuan merdeka. Esther kemudian melahirkan, dan anaknya
dipisahkan darinya.
Ketika
Esther dijemput bibinya, Patsy O'Malley, untuk pulang ke Connemara,
Esther mengetahui masa lalu ibunya yang telah memengaruhi keputusan
sang ibu untuk menjauhkan Esther dari rumah sebelum ia melahirkan
anaknya. Tetapi itu tidak menghentikan niat Esther untuk memulai jalan
hidupnya yang baru, jauh dari Connemara, jauh dari masa lalu yang
suram.
The Magdalen
adalah kisah tentang perempuan korban laki-laki yang terpaksa harus
sendiri merasakan penderitaan ketika dunia di sekitarnya tidak bisa
menerima keadaannya. Pada waktu kisah dalam novel ini berlangsung,
kehamilan di luar nikah menjadi salah satu hal yang luar biasa
memalukan, apa pun penyebabnya. Tidak dapat dihindarkan, perempuan
menjadi korban. Dalam keadaan tak berdaya, mereka dibawa ke tempat
fanatisme keagamaan yang salah kaprah memegang peran utama. Mereka
harus menderita untuk bisa diterima kembali lagi oleh masyarakat,
itupun kalau masyarakat masih mau menerima. Tidak semua memiliki
kemampuan melawan nasib. Bahkan ada di antara mereka yang menganggap
penderitaan adalah bagian kehidupan yang harus dijalani seumur hidup.
Esther memang tidak seberani Rita. Tetapi ia tidak mau terpuruk menua
tanpa harapan di tempat perempuan kehilangan kemerdekaan karena
pandangan sempit penuh penghakiman yang tanpa ampun. Ia tidak ingin
menjadi Maura, atau Detta, yang tidak bisa melepaskan diri lagi dari
cengkeraman kesuraman Magdalen.
Oleh Marita Conlon-McKenna, The Magdalen
dibentangkan dalam alur cerita yang mengalir tanpa kerumitan. Konflik
yang disulamnya lebih terpusat pada diri Esther Doyle, dan dikendalikan
dengan cermat supaya pembaca bisa fokus pada perasaan dan perjuangan
perempuan yang diwakili sosok ini. Konflik tersebut menjadikan kisahnya
menyentuh hati, dan akhirnya, di puncaknya, akan menghangatkan hati
siapa saja yang membacanya.
Meski ditulis oleh pengarang perempuan dan berkisah tentang perempuan tidak berarti The Magdalen
hanya layak dikonsumsi perempuan. Sesungguhnya kisah ini hadir sebagai
gugatan yang diarahkan pada laki-laki. Magdalen, tempat penampungan
perempuan yang dikukuhkan sebagai perempuan liar dan nakal ini tentu
saja tidak akan ada jika tidak ada perempuan yang menjadi korban
laki-laki -apakah karena hubungan inses, hubungan cinta biasa,
perkosaan, bahkan pelacuran. Dan pada gilirannya, tidak akan ada
perempuan yang mengalami penderitaan di tempat itu. Makanya, laki-laki
juga perlu membaca buku ini untuk lebih bisa memahami bagaimana rasanya
menjadi pihak yang 'kalah' dan terbuang sebagai produk dari sebuah
hubungan lelaki-perempuan.
0 comments:
Post a Comment