09 February 2012

The Magdalen

 
Judul Buku: The Magdalen
Penulis : Marita Conlon-McKenna
Penerjemah : Retno Wulandari
Penyunting : Yus Ariyanto
Tebal : 536 hlm; 11 X 18 cm
Cetakan: 1, Maret 2007
Penerbit : Dastan Books




Membaca judul novel ini pembaca mungkin akan teringat pada sosok Maria Magdalena (Mary Magdalene). Magdalen di sini adalah nama tempat, yaitu rumah penampungan untuk berbagai perempuan yang dianggap liar dan nakal. Nama Magdalen digunakan berdasarkan anggapan bahwa Maria Magdalena adalah pendosa yang bertobat. Magdalen, lengkapnya Holy Saints Magdalen, memiliki usaha binatu yang mempekerjakan perempuan-perempuan yang dibuang ke tempat ini. Umumnya mereka yang dicampakkan di Magdalen adalah perempuan muda yang hamil di luar nikah. Bisa saja karena hubungan cinta yang tidak sehat, menjadi korban inses, korban perkosaan, atau karena melacur. Karena hamil di luar nikah, mereka dipandang kotor. Di Magdalen mereka akan menghabiskan waktu mencuci tumpukan pakaian dan kain kotor, seakan-akan mereka tidak ada bedanya dengan apa yang mereka cuci. Seperti mereka mencuci sandang kotor hari demi hari, diharapkan mereka dapat mencuci dosa-dosa mereka. Karena mereka dipandang kotor, para pengelola Magdalen memperlakukan mereka dengan kejam. Mereka, yang dijuluki maggie, harus bekerja hampir setiap hari, kecuali hari Minggu. Mereka tidak mendapatkan gaji selain diberikan makanan sekadarnya, sekalipun mereka dalam keadaan hamil. Setelah menguras tenaga di antara air, tumpukan kain kotor, dan sengatan peroksida, upah mereka adalah penebusan dosa dan pengampunan Tuhan. Tak pelak, mereka menjadi korban kesalahan persepsi tentang penebusan dosa dan pengampunan Tuhan.
 
Marita Conlon-McKenna menghadirkan Esther Doyle sebagai tokoh utama novel. Penulis Irlandia yang terkenal sebagai novelis dengan debut berjudul Under the Hawthorne Tree ini menuturkan The Magdalen sebagian besar menggunakan teknik kilas balik. Cerita dimulai tahun 1952, menyusuri peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Esther Doyle bertahun-tahun sebelumnya, kemudian kembali lagi di tahun 1952. Selengkapnya berlatar tahun 1944 sampai 1952.

Esther Doyle adalah perempuan muda Connemara dari keluarga nelayan. Ia merupakan anak ketiga dari 6 bersaudara. Satu-satunya anak perempuan , sebelum adiknya, Nonie, lahir pada tahun 1944. Nonie hampir mati ketika dilahirkan, dan Esther lah yang menyelamatkannya. Tetapi ternyata kelahiran Nonie menjadi awal tragedi dalam kehidupan keluarga Doyle. Nonie lahir sebagai anak dengan mental terbelakang. Dermot Doyle, kepala keluarga tewas ketika melaut. Esther meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun. Puncaknya, Nonie tewas di rawa dan Esther menemukan dirinya hamil gara-gara hubungannya dengan Conor O'Hagan. Con tidak mau menikahi Esther karena ia harus menikahi Nuala McGuinness, bosnya.

Ibu Ester, Majella, adalah orang yang paling tidak menghendaki kehamilan Esther. Oleh karena itu Esther setuju untuk dibawa ke Dublin, menjadi salah satu maggie di Magdalen. Ia tidak tahu Magdalen akan menambahkan penderitaan dalam hidupnya. 

Di Magdalen, ia bertemu dengan berbagai perempuan, tua dan muda. Umumnya mereka hamil di luar nikah, anak yang mereka lahir direnggutkan dari mereka secara paksa dan mereka menghabiskan waktu sebagai pekerja binatu. Tina, seorang remaja yang mengandung anak ayah kandungnya. Rita, seorang pelacur, yang tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaan liarnya meski  berada di Magdalen. Sheila, korban cinta pria Amerika beristri yang meninggalkannya dalam keadaan hamil. Maura, perempuan paruh baya yang menikah di usia 18 tahun, dituduh membunuh anak ketiganya dan dibuang di Magdalen. Detta, perempuan tua yang telah menghabiskan waktunya selama 50 tahun di Magdalen, diusir dari rumah ayahnya ketika hamil dengan seorang pria yang tidak pernah mengetahui kehamilannya. Selain mereka masih ada maggie lain seperti Bernice, Kathleen, Joan, Saranne dan Helen --anak-anak maggie terdahulu, juga tiga Mary yang mentalnya terbelakang.

Esther bergaul dengan perempuan-perempuan itu. Merasa senasib. Merasa senang ketika Rita berhasil melarikan diri setelah mengambil anak kandungnya. Merasa sedih ketika Detta meninggal tanpa pernah keluar dari Magdalen sebagai perempuan merdeka. Esther kemudian melahirkan, dan anaknya dipisahkan darinya.

Ketika  Esther dijemput bibinya, Patsy O'Malley, untuk pulang ke Connemara, Esther mengetahui masa lalu ibunya yang telah memengaruhi keputusan sang ibu untuk menjauhkan Esther dari rumah sebelum ia melahirkan anaknya. Tetapi itu tidak menghentikan niat Esther untuk memulai jalan hidupnya yang baru, jauh dari Connemara, jauh dari masa lalu yang suram.

The Magdalen adalah kisah tentang perempuan korban laki-laki yang terpaksa harus sendiri merasakan penderitaan ketika dunia di sekitarnya tidak bisa menerima keadaannya. Pada waktu kisah dalam novel ini berlangsung, kehamilan di luar nikah menjadi salah satu hal yang luar biasa memalukan, apa pun penyebabnya. Tidak dapat dihindarkan, perempuan menjadi korban. Dalam keadaan tak berdaya, mereka dibawa ke tempat fanatisme keagamaan yang salah kaprah memegang peran utama. Mereka harus menderita untuk bisa diterima kembali lagi oleh masyarakat, itupun kalau masyarakat masih mau menerima. Tidak semua memiliki kemampuan melawan nasib. Bahkan ada di antara mereka yang menganggap penderitaan adalah bagian kehidupan yang harus dijalani seumur hidup. Esther memang tidak seberani Rita. Tetapi ia tidak mau terpuruk menua tanpa harapan di tempat perempuan kehilangan kemerdekaan karena pandangan sempit penuh penghakiman yang tanpa ampun. Ia tidak ingin menjadi Maura, atau Detta, yang tidak bisa melepaskan diri lagi dari cengkeraman kesuraman Magdalen.

Oleh Marita Conlon-McKenna, The Magdalen dibentangkan dalam alur cerita yang mengalir tanpa kerumitan. Konflik yang disulamnya lebih terpusat pada diri Esther Doyle, dan dikendalikan dengan cermat supaya pembaca bisa fokus pada perasaan dan perjuangan perempuan yang diwakili sosok ini. Konflik tersebut menjadikan kisahnya menyentuh hati, dan akhirnya, di puncaknya, akan menghangatkan hati siapa saja yang membacanya.

Meski ditulis oleh pengarang perempuan dan berkisah tentang perempuan tidak berarti The Magdalen hanya layak dikonsumsi perempuan. Sesungguhnya kisah ini hadir sebagai gugatan yang diarahkan pada laki-laki. Magdalen, tempat penampungan perempuan  yang dikukuhkan sebagai perempuan liar dan nakal ini tentu saja tidak akan ada jika tidak ada perempuan yang menjadi korban laki-laki -apakah karena hubungan inses, hubungan cinta biasa, perkosaan, bahkan pelacuran. Dan pada gilirannya, tidak akan ada perempuan yang mengalami penderitaan di tempat itu. Makanya, laki-laki juga perlu membaca buku ini untuk lebih bisa memahami bagaimana rasanya menjadi pihak yang 'kalah' dan terbuang  sebagai produk dari sebuah hubungan lelaki-perempuan. 
 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan