17 April 2012

Gadis Kretek


Judul Buku: Gadis Kretek
Penulis: Ratih Kumala
Penyunting: Mirna Yulistianti
Tebal: 275 halaman
Cetakan: 1, Maret 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Sejarah rokok kretek di Indonesia diawali dengan penggunaan minyak cengkeh untuk mengatasi sesak napas. Djamari (hidup tahun 1880-an), warga Kudus yang menderita sesak napas, mencari cara memasukkan cengkeh ke dalam paru-parunya. Ia merajang cengkeh dan mencampurkannya dengan tembakau. Hasil rajangan dilinting dengan klobot (daun jagung). Ketika disulut dan api menghabiskan batang lintingan, akan terdengar suara ‘kretek-kretek’ akibat terbakarnya cengkeh rajangan.

Dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala, perkembangan usaha rokok kretek dikaitkan dengan kehidupan Idroes Moeria. Pulang ke Kota M (terletak di perbatasan Magelang dan Jogjakarta) setelah ditahan Jepang di Surabaya, Idroes berniat melanjutkan usaha rokok klobotnya, Rokok Djojobojo. Sebelumnya, setelah Jepang menduduki Kota M, ia telah memulai usaha rokok klobotnya dengan membeli sisa tembakau majikannya yang terpaksa menutup usahanya. Ketika ditangkap tentara Jepang, usahanya sebetulnya tidak mati, tetap dijalankan Roemaisa, istrinya. Begitu Idroes pulang setelah Proklamasi, ia beralih memproduksi rokok kretek. Sesuai situasi Indonesia saat itu, ia menamakan rokok kretek perdananya Rokok Kretek Merdeka! (dengan tanda seru).

Tidak mudah bagi Idroes menjadi pengusaha rokok kretek. Selain ia bukanlah satu-satunya produsen, Soedjagad, teman masa kecil yang sama-sama pernah bekerja sebagai buruh linting, terus-menerus berusaha menyainginya. Soedjagad memang dendam pada Idroes karena berhasil memperistri Roemaisa, gadis idamannya.
 

Pada saat Idroes membuat Klobot Djojobojo, Soedjagad membuat Klobot Djagad. Setelah Idroes memproduksi Rokok Kretek Merdeka!, Soedjagad memproduksi Rokok Kretek Proklamasi. Idroes mangkel, tapi terus menciptakan produk baru sampai enam nama dagang. Bahkan, demi mendapatkan nama dagang yang lebih unggul, Idroes pergi ke Gunung Kawi. Di sana, ia mendapat ilham nama produk baru, Kretek Dasiyah.
  

Ratih Kumala

Dasiyah adalah putri sulung Idroes Moeria. Pada umur 10 tahun, Dasiyah sudah mahir melinting kretek. Bila banyak yang dilinting, telapak tangannya lengket dengan sari-sari kretek. Ia mengumpulkan sari-sari kretek dan membuat tingwe (ngelinting déwé) yang pangkal papier-nya dijilat agar ludah menahan kretek dan sari di dalamnya. Bagi para laki-laki yang menyukai tingwe-nya, Dasiyah adalah Rara Mendut.

Ketika namanya akan dipakai sebagai nama dagang, Dasiyah menolak. Sebagai seorang gadis, ia malu dijadikan nama dagang dan mukanya dipajang di etiket rokok. Tapi justru dari alasannya bahwa ia sudah gadis itulah yang membuat Idroes memutuskan nama untuk rokok kretek barunya. Kretek Gadis. Sebagai ganti mukanya, Idroes menggambar seorang gadis berkebaya dengan rambut. Dalam gambar itu, si gadis sedang menjepit sebatang kretek yang menyala, tampak dari asap yang mengepul dari ujung kretek itu (seperti pada gambar sampul yang dikerjakan Iksaka Banu).

Untuk meningkatkan cita rasa Kretek Gadis, Dasiyah meracik saus dengan bahan dasar saus Kretek Merdeka!. Saus itu menghasilkan cita rasa setara tingwe buatannya. Dalam pembuatan kretek, saus (tobacco flavor) adalah resep rahasia terpenting selain tembakau dan cengkeh. Saus merupakan kunci yang membedakan rasa rokok kretek yang satu dengan yang lain. Selain memberikan berbagai efek cita rasa dan meningkatkan cita rasa tembakau, saus yang dipakai terutama akan meningkatkan efek salivatif pada rokok yang dihasilkan. Dengan iklan yang menggoda di majalah (tidak diberi tahu nama majalah dimaksud), penjualan Kretek Gadis pun meningkat. Kali ini, Soedjagad tidak berhasil menyaingi popularitas kretek buatan Idroes.

“Romo sekarat. Berhari-hari dia mengigau-igau sebuah nama: Jeng Yah.”  Kalimat ini dijadikan kalimat pembuka novel yang dinaratori Lebas, putra bungsu Soeraja, pemilik pabrik sigaret kretek Djagad Raja. Kalimat yang sangat jitu karena langsung menjitak pembaca dengan satu pertanyaan besar: mengapa si Romo pada waktu sekarat mengigaukan nama perempuan lain, dan bukan nama istrinya?

Pertanyaan pembaca akan diikuti dengan reaksi sang istri yang meradang mendengar nama Jeng Yah. Baginya, Jeng Yah adalah perempuan pencemburu yang telah ditolak suaminya. Saking geram ditolak suaminya, Jeng Yah melakukan sesuatu yang tidak beradab. Bayangkan, pada hari pernikahannya, Jeng Yah menghantam jidat suaminya dengan semprong petromaks.

Lebas tidak ingin Romo-nya meninggal dalam keadaan tidak tenang. Ia pun bertekad mencari Jeng Yah, meskipun tidak mengenal perempuan itu. Menurut Romo, ia terakhir kali bertemu Jeng Yah di Kudus, tempat kelahiran Rokok Kretek Djagad. Untunglah kedua kakak Lebas, Tegar dan Karim, mau mendukung pencarian itu. Maka, mereka pun meninggalkan Jakarta dan berpacu dengan Malaikat Maut menuju Kudus, untuk mencari Jeng Yah.

Seiring dengan perjalanan ketiga pewaris pabrik kretek Djagad Raja itu, pengarang menyajikan pula perjalanan kehidupan Idroes Moeria, sejak memulai usaha Klobot Djojobojo hingga melahirkan Kretek Gadis. Perjalanan yang ditempuh Idroes Moeria dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, melewati pendudukan Jepang,  menembus Kemerdekaan RI, tersendat di masa-masa seputar G30S PKI, dan berakhir di masa kini. Perjalanan itu akan digurati persaingan, baik cinta maupun usaha rokok. Pada titik singgung persaingan itu, muncullah seorang laki-laki yang berlakon dalam sebuah cinta tak sampai dan pengkhianatan yang diendapkan sejarah.

Pertanyaan pertama yang mengikuti kita selama membaca novel ini adalah: apakah Lebas dan kedua kakaknya berhasil menemukan Jeng Yah?  Pertanyaan kedua dan yang terpenting, adalah: mengapa Jeng Yah memukul jidat ayah mereka dengan semprong petromaks pada hari pernikahan orangtua mereka? Kedua pertanyaan ini akan terjawab pada bagian pamungkas novel, dan berbarengan dengan itu, sebuah penebusan dosa akan dilakukan, dan martabat si kambing hitam keluarga pun akan terdongkrak.

Ratih Kumala mengindikasikan keberhasilannya melinting novel ini menjadi sebuah sajian nikmat dari sari-sari sejarah Indonesia, persaingan usaha dan cinta, dan merekatkan semuanya dengan satu jilatan manis Rara Mendut, yang membuat ketagihan pembacanya. Sama seperti tulisan di sampul belakang novel: Gadis Kretek memang kaya wangi tembakau dan sarat aroma cinta. Jangan sampai Anda mengabaikannya.

Ditulis dengan alur sebagian besar kilas balik, dikembangkan dengan detail dan peristiwa menggugah, dikemas dengan sampul menggoda, seharusnya Gadis Kretek bisa hadir lebih prima. Sayang sekali novel ini masih membutuhkan penyiangan, masih bertaburan typo dan kalimat yang tidak sedap dibaca. Juga ada inkonsistensi yang luput dari sensor pengarang dan editor. Setelah Idroes menikahi Roemaisa, Soedjagad menikahi Lilis, perempuan Madura bertubuh subur. Pengarang menyebutkan bahwa Lilis melahirkan lima orang anak (hlm. 122). Lalu, pada saat ketiga cucu Soedjagad (Mbah Djagad) bercakap-cakap dalam perjalanan, Karim mengatakan kalau ibu mereka adalah satu-satunya anak Soedjagad (hlm. 196). Selanjutnya, pengarang menyatakan lagi kalau Soedjagad memiliki lima orang anak; tiga perempuan dan dua laki-laki (hlm. 235). Pengarang lupa kesalahan sebelumnya.

Satu lagi. Kalau dalam film, ini disebut blooper. Pada bab 11 (Djagad), Karim yang sebelumnya menyetir, meminta Lebas menggantikannya, dan Lebas akhirnya duduk di kursi pengemudi (hlm. 189). Masih dalam satu adegan –artinya Lebas masih menyetir- tiba-tiba Lebas meminta Karim menghentikan mobil karena mau membeli rokok KW sekian Kretek Djagad Raja (hlm. 197). Pengarang lupa setir telah ia alihkan kepada Lebas. Tapi sebelumnya, pengarang memang sempat memunculkan kalimat rancu (hlm. 194):

Karim dan Lebas lanjut tertawa sampai-sampai saking gelinya ia harus memperlambat laju mobil. Matanya sampai basah karena saking keras tertawa.” Siapa yang pengarang maksud dengan “ia” dan “nya” di sini? Kalau membaca kalimat selanjutnya, ketahuan maksudnya “Karim”.

“Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.” Tulisan ini harus disematkan para produsen rokok pada rokok produksi mereka. Ratih merasa berkewajiban mengutip dan menaruhnya pada bagian awal novel. Keputusan yang tepat mengingat Ratih mengisahkan dunia rokok Indonesia, perkembangan, dan kelezatan cita rasanya. Selain itu, dalam novel kita akan menemukan anak remaja yang diajak ayahnya merokok dan perempuan yang punya kebiasaan merokok.

Rokok selalu menimbulkan kontroversi. Ditentang dengan alasan merusak kesehatan. Direstui karena merupakan sumber mata pencaharian.  “Kalau pabrik ini mati, maka orang-orang ini akan nganggur, ndak bisa makan, ndak bisa nyekolahi anak-anaknya, mereka jatuh miskin,” kata Soeraja terkait pabrik rokok kreteknya (hlm. 37).

Bagi sebagian kalangan, rokok sudah menjadi kebutuhan. Hal ini juga yang menjadi penyebab rokok masih diproduksi. Efek salivatif yang disebabkan oleh berpadunya cita rasa saus rokok dan cita rasa tembakau memang mendatangkan kecanduan. Persis seperti Gadis Kretek

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan