08 April 2012

Raise the Red Lantern


Judul Buku: Raise the Red Lantern
Penulis: Su Tong
Penerjemah: Rahmani Astuti
Tebal:136 halaman
Cetakan: 1, November 2011
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta


 




Pada usia sembilan belas tahun, Teratai dibawa ke taman keluarga Chen untuk menjadi istri muda Tuan Besar Chen Zuoqian. Teratai berhenti kuliah dan lebih memilih menikahi orang kaya ketimbang bekerja, setelah ayahnya mati bunuh diri gara-gara pabrik tehnya bangkrut. “Kau ingin menikah dengan orang biasa atau orang kaya?” tanya ibu tirinya (hlm. 16). Teratai menjawab,”Tentu saja orang kaya. Haruskah kau bertanya?” Ibu tirinya menimpali. “Tidak akan sama. Jika kau menikahi orang kaya, kau akan menjadi kecil. Maksudku, dengan menjadi istri muda, statusmu akan menjadi lebih rendah.” Teratai tertawa dingin. “Apa itu status? Apakah status itu sesuatu yang dikhawatirkan oleh orang-orang sepertiku? Bagaimanapun aku sudah menyerahkan diriku kepadamu untuk dijual. Jika kau masih menghargai kasih sayang ayahku, juallah aku kepada seorang tuan yang baik.” (hlm. 17).

Memilih menjadi istri keempat menegaskan eksistensi Teratai sebagai korban dalam keluarganya. Keluarganya mendapat uang, dan hidupnya sendiri terjamin. Sebagai kompensasi, ia mesti melayani kebutuhan seks Tuan Chen yang tidak terpuaskan. Pada usia lima puluh tahun, sesungguhnya keperkasaan Tuan Chen sudah meluntur. Tapi, seks tidak berhenti menjadi obsesinya.

Memasuki keluarga Chen, Teratai meninggalkan posisinya sebagai korban, dan berubah menjadi penindas. Seolah-olah sudah ditakdirkan menjadi target penindasan, Walet, pelayan pribadi Teratai, selalu menunjukkan perilaku menggeramkan. Maka, Teratai pun mulai beraksi. Ia memanipulasi situasi agar Walet menuruti keinginannya. Ia menuduh Walet sebagai pencuri seruling peninggalan ayahnya. Ia menjambak dan membentur-benturkan kepala Walet ke dinding saat curiga Walet mengguna-gunainya. Puncaknya, ia mengultimatum Walet memakan kertas toilet yang ditemukannya mengapung di toilet.

Tinggal di taman keluarga Chen, Teratai mesti menyaksikan ketiga istri beradu siasat merebut perhatian Tuan Chen. Mereka saling menjatuhkan, saling fitnah, menjadi korban dan dikorbankan. Saat dua dari para istri hamil secara bersamaan, salah satunya berusaha mengaborsi kandungan yang lain. Lalu, sewaktu Tuan Chen tidak mampu menuntaskan persetubuhan, ada istri yang mau diperlakukan seperti anjing demi membangkitkan syahwat Tuan Chen. Tidak heran, Teratai segera menjadi bahan pergunjingan manakala secara tidak sengaja, ia melukai telinga Mega, istri kedua. 


Secara fisik, Tuan Chen sesungguhnya bukanlah pria yang menarik. Ia tidak bertubuh kekar dengan kemampuan berhubungan seks yang luar biasa. Sebagai kepala keluarga pun, ia sudah tidak bisa diandalkan. Sementara ia memuaskan kebutuhan seksnya, Feipu -anaknya dengan Sukacita, istri pertama- yang bekerja menghidupi keluarga. Tapi, ketika ia menderita lemah syahwat, Karang, istri ketiga, menanggapi ketidakmampuan Tuan Chen dengan mengatakan: “Tak peduli sebagus  apa pun lampu minyak, selalu datang hari di mana dia tidak bisa mengeluarkan api lagi. Yang aku takutkan hanya jika dia tidak bisa lagi punya minyak. Prinsip wanita terlalu kuat di taman ini; dia hanya akan menjadi apa yang diperintahkan oleh takdir jika melanggar prinsip pria. Sekarang keadaannya benar-benar luar biasa: Chen Zuoqian, Tuan Besar Chen, tidak bisa buang air. Tapi kitalah yang menderita dan mengering, tidur di kamar kosong setiap malam.”(hlm. 96)

Para wanita dalam kisah Raise the Red Lantern memang hidup dalam cengkeraman budaya patriarkal. Mereka tidak mampu menentang dan telah dikondisikan untuk hidup sesuai prinsip Tuan Chen bahwa wanita tidak bisa lebih penting daripada pria (hlm. 12). Laki-laki yang memberi mereka jaminan kehidupan menjadi pusat kehidupan mereka, sehingga termasuk dalam hal seks, mereka di bawah kendali laki-laki itu.

Teratai sangat tidak memahami keberadaannya sebagai wanita. ”Makhluk jenis apa sih wanita itu? Kita sama seperti anjing, kucing, ikan mas, tikus…kita hanya seperti sesuatu, sesuatu selain manusia,”  katanya. (hlm. 74). Saat memergoki Tuan Chen mendatangi kamar Walet dan meraba-raba buah dada si pelayan, Teratai berkomentar: “Bahkan seorang gadis pelayan juga paham bagaimana bergantung pada sedikit rabaan untuk membangun kepercayaan dirinya. Wanita memang makhluk semacam itu.” (hlm. 26). Saat tertentu, Teratai pernah mencoba membangkitkan sisi feminisnya. Manakala Tuan Chen ingin menyetubuhinya dan ia sedang merasa tidak siap, ia menolak laki-laki itu. Selanjutnya, waktu Tuan Chen memintanya melakukan seks yang tidak lazim, ia menolak. Sekalipun suaminya mengatakan: “Aku tidak pernah melihat wanita sepertimu. Sudah jadi pelacur dan kau masih ingin punya kesucian yang paling penting dalam kehormatanmu?” (hlm. 91). Sayangnya, hanya sampai di situ. Sebagai wanita yang memasuki lingkaran poligami, ia dituntut memberikan suaminya anak. Dan untuk bisa hamil, ia membutuhkan tubuh suaminya. 


Akhirnya, nasib Teratai terpuruk seperti istri-istri sebelumnya. Tuan Chen bahkan menghinanya dengan mengatakan: “Bagaimana bisa aku mencintaimu seperti ini? Lebih baik aku mencintai seekor anjing!” (hlm. 122). Saat itu, setelah berusaha meninggalkan posisi korban, Teratai kembali menjadi korban. Dan, sebagai korban, ia tidak punya nyali membalas perlakuan suaminya dengan mencari kepuasan seksual di luar rumah. Usahanya merayu Feipu pun gagal. Karena walaupun tidak disampaikan secara gamblang, Feipu jelas homoseksual. 

Pada saat Teratai memilih menjadi istri muda orang kaya, dan bukan istri orang biasa, ia telah menentukan alur hidupnya. Mungkin, jika ia menikahi orang biasa, hidupnya akan menjadi sangat berbeda. Mungkin ia akan lebih bahagia. Hidupnya berantakan, sesak oleh ilusi dan halusinasi. Kondisi semacam ini lalu menggiringnya pada ketidakmampuan menghadapi kenyataan yang membuat kehidupannya terputus di sini.

Mengiringi pergerakan plot dalam novella ini, kita dibayang-bayangi dengan keberadaan sebuah sumur di taman belakang kediaman keluarga Chen. Kabarnya tiga wanita dari generasi sebelumnya bunuh diri dengan melompat ke dalam sumur. Sebelum cerita berakhir, Teratai akan mengetahui apa sebenarnya kegunaan sumur itu. Sebelumnya, ia berhalusinasi melihat dua wanita mengambang di dasar sumur. Kedua wanita itu berparas mirip dengannya. Namun, lebih dari pada itu, tanpa sumur itu pun, dengan menjadi istri muda Tuan Chen, Teratai telah menceburkan dirinya ke dalam sumur kematiannya sendiri.

Raise the Red Lantern adalah novella karya Su Tong, pengarang Cina bernama asli Tong Zhonggui. Lulusan Beijing Normal University ini mulai mempublikasikan karyanya pada 1983 dan dikenal dengan gaya penulisan yang kontroversial. Ia telah menulis tujuh novel dan dua ratus lebih cerita pendek yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Italia, dan Prancis. Ia terkenal karena karyanya yang berjudul Wives and Concubines (Qiqie chengchun, 1990). Pada 1991, karyanya yang berbentuk novella ini diadaptasi ke dalam film dengan judul Raise the Red Lantern (Dahong denglong gaogao gua) yang disutradarai Zhang Yimou dengan aktris utama, Gong Li. Sejak kesuksesan film itu di berbagai festival film terkemuka dunia, edisi terjemahan bahasa Inggris menggunakan judul filmnya. Judul Raise the Red Lantern mengacu pada adegan pemasangan lampion merah setiap malam di depan kamar salah satu istri Tuan Chen yang akan ia kunjungi. Adegan ini tidak terdapat dalam novella.

Selain Raise the Red Lantern, Su Tong telah menghasilkan karya lain seperti Rice, My Life as Emperor, Binu and the Great Wall, Madwoman on the Bridge and Other Stories, dan Tattoo: Three Novellas. Pada 2009, ia mendapatkan penghargaan Man Asian Literary Prize untuk karyanya yang berjudul The Boat to Redemption. Pada 2011, ia dinominasikan untuk menerima Man Booker International Prize. Raise the Red Lantern adalah karya pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, novel terbitan Serambi ini diterjemahkan dari edisi Inggris hasil terjemahan Michael S. Duke dari bahasa Mandarin (2004).

“Ketika seorang kaya menjadi semakin kaya, dia menginginkan wanita, begitu menginginkannya sehingga dia tidak akan pernah merasa cukup” (hlm. 32). Inilah pandangan Teratai terkait kegemaran Tuan Chen akan wanita. Bila dilihat dari sisi tokoh laki-laki utama, inilah yang menjadi penyebab lahirnya novella Raise the Red Lantern.
 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan