Judul Buku: Sonata Musim Kelima
Penulis: Lan Fang
Tebal: 152 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Februari 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cerpen adalah format cerita yang penulisannya mesti dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Selain tidak boleh ada kesalahan dalam penulisannya, dalam durasi yang singkat, penulis harus mampu mentransformasikan gagasannya dengan baik untuk diterima pembaca. Terserah mau menggunakan teknik penulisan seperti apa, menggunakan kalimat-kalimat sederhana, cerdas, ataupun berbunga-bunga.
Tidak semua cerpen dalam koleksi Sonata Musim Kelima karya Lan Fang, berhasil mentransformasikan gagasan sang penulis dengan baik. Dan umumnya, cerita-cerita yang kurang berhasil ini ditulis menggunakan kalimat berbunga-bunga. Musim Kelima, Tentang Musim, dan Yang Paling Penting masuk kategori cerpen yang kurang berhasil dan kurang bisa dinikmati.
Dari kelima belas cerpen yang ada, rasanya cerpen bertajuk Festival Topeng yang terbaik. Penulis dengan jitu mengemas cerpen ini sebagai sindiran terhadap dunia politik Indonesia. Menjelang Pemilihan Umum yang dalam cerpen ini digambarkan sebagai festival topeng, para calon anggota dewan memasang berbagai topeng untuk menarik simpati publik. Mereka mengoleksi berbagai topeng untuk digunakan dalam berbagai situasi. Atas dorongan istrinya, Drajat Hartono -si pembuat topeng- mengikuti festival topeng. Drajat tidak perlu membuat berbagai topeng. Cukup satu topeng Rahwana, yang mempunyai sepuluh wajah (dasamuka). Drajat menang dalam festival tersebut dan menjadi Pakde Wan (baca: Pak Dewan), tapi Prameswari, istrinya, mulai merasa tidak mengenal suaminya.
Meskipun ditulis berbunga-bunga dengan bahasa puitis bahkan sambil mengutip isi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, cerpen berjudul Sonata mengusung gagasan yang tersampaikan dengan cukup baik. Cerpen ini mengetengahkan kisah cinta yang tidak biasa. Perempuan yang menjadi narator cerpen adalah perempuan tuli dan berwajah rusak yang mencintai lelaki buta yang mahir bermain piano. Tuli mungkin bukan masalah besar bagi si lelaki, tapi bagaimana kalau ia tahu si perempuan berwajah rusak?
Menceritakan kembali kisah dari Mahabharata, penulis mampu mengelola pergulatan pikiran Bisma dalam cerpen Sri Kresna. Pada hari kesepuluh Bharatayudha, Bisma terkapar setelah hujan anak panah. Ia merasa kesepian, tapi belum mati. Karena ia hanya akan mati jika ia menginginkan kematian itu. Kresna, dewa yang memihak Pandawa, memperingatkan Bisma bahwa jika ia tidak mati, Pandawa tidak bisa memenangkan Bharatayudha.
Di sisi lain, Sri Kresna juga berkisah tentang cinta. Bahwa cinta tidak selalu mesti bersatu. Setelah melepas hak sebagai putra mahkota Hastinapura, Bisma bersumpah tidak akan menikah agar tidak ada anak-anak yang bertikai memperebutkan tahkta. Tapi Amba, seorang putri yang dimenangkan Bisma dalam sebuah sayembara untuk menjadi istri adik tirinya, jatuh cinta padanya. Tentu saja Bisma tidak bisa menerima Amba walaupun ia sendiri menginginkan perempuan itu. Ia berkata kepada Kresna, “Ditelanjanginya aku seperti dia menelanjangi dirinya. Sutra jingga yang melayang turun dari peraduan seakan tidak bertuan. Tubuh wangi sejuta kembang ada di hadapan. Tubuh berlekuk seindah keris menggodaku sebagai seorang kesatria. Aku ingin menyentuhnya, mengelusnya dan menghunusnya. Aku manusia biasa, Kresna. Bukan dewa atau Begawan. Jadi dagingku masih segar dan darahku masih panas.” (hlm. 116-117).
Sepertinya “cinta yang tidak selalu mesti bersatu” menjadi andalan penulis dalam koleksi ini. Cinta seperti ini hadir juga dalam cerpen Bai She Jing, Dermaga, Hujan di Atas Ciuman, Gandrung, dan Surat Untuk Sakai. Demikian pula cerpen Tukang Dongeng dan Tukang Mimpi yang juga memanfaatkan tokoh Bisma.
Bai She Jing ditulis berdasarkan legenda Cina, Bai She Jing (Siluman Ular Putih), menggunakan narator yang cukup unik, sebuah mesin ketik tua yang sedang dipakai mengetik. Dermaga adalah kenangan seorang perempuan tanpa nama tentang dua lelaki yang ia jumpai di dermaga Docklands, Melbourne. Hujan di Atas Ciuman yang diceritakan secara bergantian oleh Tato si pelukis dan Lin si penulis novel Ciuman di Bawah Hujan (judul novel terakhir Lan Fang) mengais-ngais hubungan antara Lin dengan seorang lelaki yang menyamakan perasaan seperti baju safari. Gandrung berkisah tentang perjalanan cinta seorang perempuan secantik Chang Erl dalam hikayat Cina. Surat Untuk Sakai mengungkapkan perjumpaan sepasang mantan kekasih setelah mereka memiliki pasangan hidup dan anak-anak.
Meskipun masih bertemakan cinta, Dear: Gani dan Laila bukanlah tentang “cinta yang tidak selalu mesti bersatu”. Dear: Gani adalah surat seorang perempuan kepada temannya yang telah memperkenalkannya dengan seorang lelaki yang menjadi kekasihnya. Sedangkan Laila, merupakan potongan-potongan ingatan dan apa yang didengar perempuan tanpa nama yang sedang sakit di sebuah mobil ambulans dalam perjalanan malam, dari Jember menuju Surabaya.
Dari rimbunan tema cinta yang diusung penulis, seperti Festival Topeng, cerpen Qiu Shui Yi juga tampil berbeda. Berseting Quanzhou, cerpen ini berkisah tentang perempuan pedagang kaki lima yang terobsesi sebuah jaket berkerah bulu. Ia tidak punya uang untuk mendapatkan jaket itu, hingga ia bertemu seorang perempuan Indonesia.
Semua cerpen dalam koleksi Sonata Musim Kelima yang ditulis dari perspektif orang pertama ini menunjukkan beberapa hal terkait sang penulis yang telah meninggal dunia (25 Desember 2011). Ia suka menulis kisah-kisah cinta yang melankolis. Ia suka menggunakan kalimat berbunga-bunga. Ia suka dunia wayang dan tergila-gila pada Ekalaya (Dear: Gani dan Festival Topeng) dan Bisma (Dear: Gani, Tukang Dongeng dan Tukang Mimpi, dan terutama Sri Kresna). Tapi, ia juga tak melupakan legenda Cina (Bai She Jing, Tukang Dongeng dan Tukang Mimpi, dan Gandrung).
Kita, yang pernah membaca buku-buku Lan Fang, mungkin akan merindukan karya-karyanya.
0 comments:
Post a Comment