Judul Buku: Three Weddings and Jane Austen
Pengarang: Prima Santika
Tebal: 464 halaman
Cetakan: 1, Januari 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Mama bukan seorang
jenius…
Banyak hal yang Mama lakukan tidak becus…
Tapi dua hal yang buat Mama adalah harus…
Yaitu menikahkan kalian, dan jangan sampai masakan hangus…
Tak terasa kalian sudah dewasa…
Sayangnya kenapa belum pada menikah ya…
Jadi perempuan Jawa banyak yang harus dijaga, apalagi sungkannya…
Makanya Mama suka Jane Austen karena penuh tata karma…
Wahai, anak-anak gadisku…
Suatu saat kalian akan tahu…
Cinta yang Mama punya buat kamu…
Dan kewajiban yang harus dilakukan seorang Ibu…
Banyak hal yang Mama lakukan tidak becus…
Tapi dua hal yang buat Mama adalah harus…
Yaitu menikahkan kalian, dan jangan sampai masakan hangus…
Tak terasa kalian sudah dewasa…
Sayangnya kenapa belum pada menikah ya…
Jadi perempuan Jawa banyak yang harus dijaga, apalagi sungkannya…
Makanya Mama suka Jane Austen karena penuh tata karma…
Wahai, anak-anak gadisku…
Suatu saat kalian akan tahu…
Cinta yang Mama punya buat kamu…
Dan kewajiban yang harus dilakukan seorang Ibu…
(Ibu
Sri, hlm.101)
Three Weddings and Jane Austen adalah novel metropop karya perdana seorang pria bernama Prima Santika. Sebelum diterbitkan dengan judul ini, dari bagian Tentang Pengarang (hlm. 459), kita akan mengetahui bahwa judul yang diajukan pengarang sebenarnya Ibunda dan Jane Austen. Kemungkinan besar judul Three Weddings and Jane Austen adalah judul hasil kesepakatan pengarang dengan editor. Dan memang, judul terakhir lebih berdaya tarik, lebih provokatif. Seperti judul film-film.
Dari judulnya, kita langsung bisa menebak apa yang akan terjadi di akhir novel. Betul, ada tiga pernikahan. Ketiga pernikahan ini bisa terwujud antara lain karena ‘words of wisdom’ dari Jane Austen yang diceritakan kembali oleh Sri, ibu ketiga gadis yang menikah. Selain dari judulnya, dari bagian Prolog yang adalah surat Sri kepada suaminya, kita juga diberi tahu jika Emma, Meri, dan Lisa sudah menikah. Sehingga, yang menjadi andalan pengarang agar pembaca dapat terus membaca adalah proses yang ditempuh ketiga gadis itu menuju pelaminan.
O ya, sebelum novel dimulai, kita akan menemukan apa yang sebenarnya menjadi semangat dalam proses penemuan jodoh Emma, Meri, dan Lisa. Pengarang menyematkan kalimat pertama dalam novel Pride and Prejudice, komentar terkenal dari Jane Austen terhadap ambisi Mrs. Bennet, ibu Elizabeth, menikahkan anak-anak gadisnya. “Semua orang juga tahu, bahwa seorang pria lajang yang sudah mapan pasti menginginkan seorang Istri (It is a truth universally acknowledged, that a single man in possession of a good fortune, must be in want of a Wife) (hlm. 9).
Nah, saking tergila-gilanya dengan Jane Austen, Sri memberi nama anak-anaknya dengan mengambil nama karakter dalam novel-novel Jane Austen. Nama Emma diambil dari Emma Woodhouse dalam novel Emma; Meri dari Marianne Dashwood dalam Sense and Sensibility; Lisa dari Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice. “Mama ingat waktu itu Papa sampai menanyakan apakah kita masih harus membuat tiga anak lagi agar koleksi namanya lengkap untuk novel Persuasion, Mansfield Park, dan Northanger Abbey. Mama tentu saja tidak mau. Membesarkan tiga anak gadis saja sudah kewalahan, apalagi enam!” tulis Sri (hlm. 12). Dalam karier kepengarangannya, Jane Austen menerbitkan enam novel, dua di antaranya yaitu Persuasion dan Northanger Abbey, diterbitkan setelah ia meninggal.
Selanjutnya, novel yang dibangun sebagai bentuk kekaguman kepada Jane Austen ini akan bercerita kepada kita melalui sudut pandang ketiga gadis yang menikah, dan tentu saja, ibu mereka.
Kita mulai dari ibu mereka. Sri adalah seorang ibu Jawa, modern sekaligus tradisional, berpikiran luas sehingga bisa begitu akrab dengan anak-anaknya. Seperti apa tampilannya? Menurut Meri, “Mamaku dandan abis. Sasakannya aja dua meter tingginya,” (hlm. 48). Tapi yang paling penting adalah apa yang dikatakan Emma. “Mama adalah tempat curhat yang bisa diandalkan, tidak pernah memaksakan pendapat, dan sudut pandangnya atas berbagai kasus berpacaran dan pertemanan yang dialami oleh anak-anak gadisnya sangat aplikatif dan tepat sasaran.” (hlm. 25). Ia bercakap dengan anak-anaknya dengan cara meniadakan jarak, sangat santai dan gaul, melepotkan bahasa Inggris dalam ucapannya (Sri pernah tinggal di London). Ia merasa harus memiliki suatu pegangan selain agama, tradisi, norma, dan moral berkehidupan untuk memberikan panduan kehidupan bagi anak-anaknya. Novel-novel Jane Austen menjadi pilihannya. Maka, selama anak-anaknya berpacaran dan menghadapi berbagai permasalahan seperti patah hati dan jatuh cinta, mereka selalu datang kepadanya. Curhat, lalu mendapatkan nasihat, ya, tentu saja, dari novel-novel Jane Austen.
Sri gelisah ketika anak-anaknya telah memasuki usia pernikahan, mereka belum menikah. Emma sudah 35 tahun, Meri 30 tahun, dan Lisa 29 tahun. Padahal Sri menikah pada usia 25 tahun. Kata Sri: “Seperti memiliki pajangan kristal yang indah dan sangat mahal, memiliki anak gadis dewasa yang belum menikah rasanya selalu dalam kebimbangan. Kalau dipajang secara terang benderang di beranda rumah, takut dicuri orang. Tapi kalau dia hanya disimpan saja di lemari, takut tidak ada yang datang untuk melihatnya. Dan jangan sampai dia pecah atau hilang, karena kebahagiaan hakiki seorang wanita setelah menjadi Ibu adalah menjadi Nenek bagi para cucunya” (hlm. 14).
Mengapa Emma, Meri, dan Lisa belum menikah? Kita akan mengetahui pada Bagian Satu novel yang berjudul “Cinta”. Ketiga gadis itu akan bercerita kepada kita setelah terlebih dahulu memberikan kita kesempatan membaca kutipan dari novel-novel Jane Austen. Setiap kutipan menggambarkan kondisi yang dihadapi gadis-gadis itu. Demikian pula judul setiap subbab. Misalnya, judul subbab pada Bagian Satu yang merupakan cerita Emma, Losing Love, menceritakan Emma yang kehilangan cinta alias ditinggalkan pacar. Di antara cerita-cerita Emma, Meri, dan Lisa, ibunya akan menyusup masuk. Ia bertindak sebagai pengamat yang memantau nasib anak-anaknya.
Emma adalah seorang gadis yang sabar, tidak pernah marah dan selalu berpikiran positif. Setelah berpisah dengan kekasihnya semasa kuliah, ibunya dengan gencar memperkenalkan dokter-dokter di rumah sakit ayahnya. Salah satu dari dokter itu mempermainkan perasaannya, yang lain menggantung perasaannya. Padahal Emma telah menolak tawaran Krisna, seorang duda beranak dua. Padahal Emma sudah sangat ingin menikah. Meri adalah seorang gadis yang memiliki keyakinan akan kemenarikan dirinya, senang bersolek, semasa SMA senang gonta-ganti pacar. Kesenangan itu habis manakala salah satu kekasih meninggalkannya. Selanjutnya, ia menjalin hubungan dengan Bimo, seorang fotografer. Tapi Meri tidak bisa mencegah perselingkuhan dengan seorang pria yang sangat memujanya, dan sebagai akibatnya, Bimo meninggalkannya. Sedangkan Lisa adalah seorang gadis tomboi, tapi merasa tetap seorang perempuan. Lisa tidak percaya pernikahan gara-gara terlalu banyak berita perceraian. Ia bahkan memandang pernikahan sebagai institusi yang menakutkan. Ia belum pernah pacaran, hanya sebatas jatuh cinta kepada teman SMA yang berpacaran dengan sahabatnya.
Sri prihatin melihat nasib yang menimpa ketiga anak gadisnya. Katanya dalam Prolog: “Entah Papa merasakannya atau tidak, periode pencarian cinta sampai penemuan jodoh buat anak-anak kita adalah masa yang sangat labil. Dan Mama sudah bertekad tidak mau masa-masa itu terlewat dari perhatian Mama.” (hlm. 11-12).
Kita pun diajak memasuki bagian berikutnya: “Jodoh”. Pengarang masih menggunakan teknik yang sama seperti pada bagian sebelumnya untuk menceritakan perjalanan terakhir ketiga perempuan lajang itu menuju pelaminan. Bagaimana caranya membuat ketiga anak gadisnya duduk di pelaminan? Pertanyaan inilah yang bergejolak dalam kepala Sri. Ia adalah perempuan modern, tapi dalam beberapa hal masih tradisional. Ia mendidik anak-anak gadisnya untuk menjaga hati, sehingga mereka memiliki prinsip bahwa gagasan pernikahan harus datang dari pria. Pria-pria mana yang akan melahirkan gagasan demikian bagi Emma, Meri, dan Lisa? Jawabannya sudah pasti: pria-pria yang mau membaca buku Jane Austen. Tapi, siapa mereka?
Masa-masa itu bukanlah waktunya untuk memberi nasihat. Sri harus melakukan sesuatu untuk menolong mereka. Yang paling penting adalah harus mendapatkan ”George Knightley” bagi Emma, “Colonel Christopher Brandon” bagi Meri, dan “Fitzwilliam Darcy” bagi Lisa.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, dua bagian besar novel diberi judul “Cinta” dan “Jodoh”. Keduanya berbiak ke dalam bab dan subbab, dipagari sebuah prolog dan epilog berbentuk surat. Setiap bab, kecuali yang berjudul Jogja, Surabaya, dan Bali (adalah seting novel, selain Jakarta), menggunakan bahasa Inggris. Maklum, metropop. Tiga judul buku Jane Austen menjadi judul bab yaitu Persuasion, Pride and Prejudice, dan Sense and Sensibility. First Impression yang juga menjadi judul salah satu bab merupakan judul versi awal Pride and Prejudice.
Three Weddings and Jane Austen adalah novel metropop karya perdana seorang pria bernama Prima Santika. Sebelum diterbitkan dengan judul ini, dari bagian Tentang Pengarang (hlm. 459), kita akan mengetahui bahwa judul yang diajukan pengarang sebenarnya Ibunda dan Jane Austen. Kemungkinan besar judul Three Weddings and Jane Austen adalah judul hasil kesepakatan pengarang dengan editor. Dan memang, judul terakhir lebih berdaya tarik, lebih provokatif. Seperti judul film-film.
Dari judulnya, kita langsung bisa menebak apa yang akan terjadi di akhir novel. Betul, ada tiga pernikahan. Ketiga pernikahan ini bisa terwujud antara lain karena ‘words of wisdom’ dari Jane Austen yang diceritakan kembali oleh Sri, ibu ketiga gadis yang menikah. Selain dari judulnya, dari bagian Prolog yang adalah surat Sri kepada suaminya, kita juga diberi tahu jika Emma, Meri, dan Lisa sudah menikah. Sehingga, yang menjadi andalan pengarang agar pembaca dapat terus membaca adalah proses yang ditempuh ketiga gadis itu menuju pelaminan.
O ya, sebelum novel dimulai, kita akan menemukan apa yang sebenarnya menjadi semangat dalam proses penemuan jodoh Emma, Meri, dan Lisa. Pengarang menyematkan kalimat pertama dalam novel Pride and Prejudice, komentar terkenal dari Jane Austen terhadap ambisi Mrs. Bennet, ibu Elizabeth, menikahkan anak-anak gadisnya. “Semua orang juga tahu, bahwa seorang pria lajang yang sudah mapan pasti menginginkan seorang Istri (It is a truth universally acknowledged, that a single man in possession of a good fortune, must be in want of a Wife) (hlm. 9).
Nah, saking tergila-gilanya dengan Jane Austen, Sri memberi nama anak-anaknya dengan mengambil nama karakter dalam novel-novel Jane Austen. Nama Emma diambil dari Emma Woodhouse dalam novel Emma; Meri dari Marianne Dashwood dalam Sense and Sensibility; Lisa dari Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice. “Mama ingat waktu itu Papa sampai menanyakan apakah kita masih harus membuat tiga anak lagi agar koleksi namanya lengkap untuk novel Persuasion, Mansfield Park, dan Northanger Abbey. Mama tentu saja tidak mau. Membesarkan tiga anak gadis saja sudah kewalahan, apalagi enam!” tulis Sri (hlm. 12). Dalam karier kepengarangannya, Jane Austen menerbitkan enam novel, dua di antaranya yaitu Persuasion dan Northanger Abbey, diterbitkan setelah ia meninggal.
Selanjutnya, novel yang dibangun sebagai bentuk kekaguman kepada Jane Austen ini akan bercerita kepada kita melalui sudut pandang ketiga gadis yang menikah, dan tentu saja, ibu mereka.
Kita mulai dari ibu mereka. Sri adalah seorang ibu Jawa, modern sekaligus tradisional, berpikiran luas sehingga bisa begitu akrab dengan anak-anaknya. Seperti apa tampilannya? Menurut Meri, “Mamaku dandan abis. Sasakannya aja dua meter tingginya,” (hlm. 48). Tapi yang paling penting adalah apa yang dikatakan Emma. “Mama adalah tempat curhat yang bisa diandalkan, tidak pernah memaksakan pendapat, dan sudut pandangnya atas berbagai kasus berpacaran dan pertemanan yang dialami oleh anak-anak gadisnya sangat aplikatif dan tepat sasaran.” (hlm. 25). Ia bercakap dengan anak-anaknya dengan cara meniadakan jarak, sangat santai dan gaul, melepotkan bahasa Inggris dalam ucapannya (Sri pernah tinggal di London). Ia merasa harus memiliki suatu pegangan selain agama, tradisi, norma, dan moral berkehidupan untuk memberikan panduan kehidupan bagi anak-anaknya. Novel-novel Jane Austen menjadi pilihannya. Maka, selama anak-anaknya berpacaran dan menghadapi berbagai permasalahan seperti patah hati dan jatuh cinta, mereka selalu datang kepadanya. Curhat, lalu mendapatkan nasihat, ya, tentu saja, dari novel-novel Jane Austen.
Sri gelisah ketika anak-anaknya telah memasuki usia pernikahan, mereka belum menikah. Emma sudah 35 tahun, Meri 30 tahun, dan Lisa 29 tahun. Padahal Sri menikah pada usia 25 tahun. Kata Sri: “Seperti memiliki pajangan kristal yang indah dan sangat mahal, memiliki anak gadis dewasa yang belum menikah rasanya selalu dalam kebimbangan. Kalau dipajang secara terang benderang di beranda rumah, takut dicuri orang. Tapi kalau dia hanya disimpan saja di lemari, takut tidak ada yang datang untuk melihatnya. Dan jangan sampai dia pecah atau hilang, karena kebahagiaan hakiki seorang wanita setelah menjadi Ibu adalah menjadi Nenek bagi para cucunya” (hlm. 14).
Mengapa Emma, Meri, dan Lisa belum menikah? Kita akan mengetahui pada Bagian Satu novel yang berjudul “Cinta”. Ketiga gadis itu akan bercerita kepada kita setelah terlebih dahulu memberikan kita kesempatan membaca kutipan dari novel-novel Jane Austen. Setiap kutipan menggambarkan kondisi yang dihadapi gadis-gadis itu. Demikian pula judul setiap subbab. Misalnya, judul subbab pada Bagian Satu yang merupakan cerita Emma, Losing Love, menceritakan Emma yang kehilangan cinta alias ditinggalkan pacar. Di antara cerita-cerita Emma, Meri, dan Lisa, ibunya akan menyusup masuk. Ia bertindak sebagai pengamat yang memantau nasib anak-anaknya.
Emma adalah seorang gadis yang sabar, tidak pernah marah dan selalu berpikiran positif. Setelah berpisah dengan kekasihnya semasa kuliah, ibunya dengan gencar memperkenalkan dokter-dokter di rumah sakit ayahnya. Salah satu dari dokter itu mempermainkan perasaannya, yang lain menggantung perasaannya. Padahal Emma telah menolak tawaran Krisna, seorang duda beranak dua. Padahal Emma sudah sangat ingin menikah. Meri adalah seorang gadis yang memiliki keyakinan akan kemenarikan dirinya, senang bersolek, semasa SMA senang gonta-ganti pacar. Kesenangan itu habis manakala salah satu kekasih meninggalkannya. Selanjutnya, ia menjalin hubungan dengan Bimo, seorang fotografer. Tapi Meri tidak bisa mencegah perselingkuhan dengan seorang pria yang sangat memujanya, dan sebagai akibatnya, Bimo meninggalkannya. Sedangkan Lisa adalah seorang gadis tomboi, tapi merasa tetap seorang perempuan. Lisa tidak percaya pernikahan gara-gara terlalu banyak berita perceraian. Ia bahkan memandang pernikahan sebagai institusi yang menakutkan. Ia belum pernah pacaran, hanya sebatas jatuh cinta kepada teman SMA yang berpacaran dengan sahabatnya.
Sri prihatin melihat nasib yang menimpa ketiga anak gadisnya. Katanya dalam Prolog: “Entah Papa merasakannya atau tidak, periode pencarian cinta sampai penemuan jodoh buat anak-anak kita adalah masa yang sangat labil. Dan Mama sudah bertekad tidak mau masa-masa itu terlewat dari perhatian Mama.” (hlm. 11-12).
Kita pun diajak memasuki bagian berikutnya: “Jodoh”. Pengarang masih menggunakan teknik yang sama seperti pada bagian sebelumnya untuk menceritakan perjalanan terakhir ketiga perempuan lajang itu menuju pelaminan. Bagaimana caranya membuat ketiga anak gadisnya duduk di pelaminan? Pertanyaan inilah yang bergejolak dalam kepala Sri. Ia adalah perempuan modern, tapi dalam beberapa hal masih tradisional. Ia mendidik anak-anak gadisnya untuk menjaga hati, sehingga mereka memiliki prinsip bahwa gagasan pernikahan harus datang dari pria. Pria-pria mana yang akan melahirkan gagasan demikian bagi Emma, Meri, dan Lisa? Jawabannya sudah pasti: pria-pria yang mau membaca buku Jane Austen. Tapi, siapa mereka?
Masa-masa itu bukanlah waktunya untuk memberi nasihat. Sri harus melakukan sesuatu untuk menolong mereka. Yang paling penting adalah harus mendapatkan ”George Knightley” bagi Emma, “Colonel Christopher Brandon” bagi Meri, dan “Fitzwilliam Darcy” bagi Lisa.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, dua bagian besar novel diberi judul “Cinta” dan “Jodoh”. Keduanya berbiak ke dalam bab dan subbab, dipagari sebuah prolog dan epilog berbentuk surat. Setiap bab, kecuali yang berjudul Jogja, Surabaya, dan Bali (adalah seting novel, selain Jakarta), menggunakan bahasa Inggris. Maklum, metropop. Tiga judul buku Jane Austen menjadi judul bab yaitu Persuasion, Pride and Prejudice, dan Sense and Sensibility. First Impression yang juga menjadi judul salah satu bab merupakan judul versi awal Pride and Prejudice.
Jane Austen |
Novel yang oleh pengarangnya dijuluki ‘the importance of being married’ ini diterbitkan dengan sampul atraktif yang juga merupakan hasil campur tangan pengarang. Kita akan melihat buku-buku tua diletakkan di tempat buku tua (kemungkinan besar meja) bersanding dengan kacamata. Gambar sampul itu ditata secara mendatar, dan di sisi kiri atas judul disematkan dengan anggun, tidak ada kesan berlebihan, sangat sedap dilihat. Hanya saja, tidak terbaca nama Jane Austen di situ.
BTW,
Jane Austen (1775-1817) memang telah membantu anak-anak gadis Sri menuju
pelaminan. Tapi tahukah Anda Jane Austen tidak pernah menikah?
Mengapa orang menikah?
Seperti tak takut menderita, tak jera meski bercerai...
Mengapa harus takut menikah?
Semua orang melakukannya, mestinya tak sulit dicapai...
Apa yang kucari dari menikah?
Aku tak mau sendiri di hari tuaku nanti...
Apa yang terjadi setelah menikah?
Aku tak tau, tak ada yang tau, tapi hidup kadang menuntut untuk berani...
(Meri,
hlm. 285).
5 comments:
Hai Judy, saya sangat suka dengan review anda. Terlihat bahwa anda kenal banget sama Jane Austen. Saya ingin mention review ini di Twitter, apakah anda punya account twitter? Terima kasih atas review yang bagus ini. Semoga anda menyukai buku saya, dan semoga membacanya bermanfaat bagi anda. Salam! [Prima Santika]
Silahkan, Mas.. Sayangnya, account twitter saya tidak aktif lagi. Trima kasih.
Pertanyaan selanjutnya adalah: nama account twitternya apa? hehehe. Maaf,saya nggak nemu soalnya. :-) Btw, saya sudah mention halaman ini di twitter, lalu juga sudah di-retweet oleh Blogger Buku Indonesia. Anda sebaiknya follow mereka di @BBI_2011 atau situsnya di http://blogbukuindonesia.blogspot.com/ I think your book reviews deserve to have a broader exposure. It's time to activate your twitter again and advertise this wonderful blog of yours! :-)
hehehehe... saya memang udah menghilang dari twitter, mas. Udah coba bikin account baru, tapi gak tau kenapa, cukup punya facebook saja.
OK, saya mungkin akan bergabung dgn BBI.
Terima kasih.
Ayoo ditunggu, ada film drama korea terbaru yang bisa anda saksikan dilayar smartphone anda, Download MYDRAKOR di GooglePlay secara gratis mudah dan cepat, MYDRAKOR nonton film drama korea.
https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/
Post a Comment