Judul Buku: Cerita Cinta Enrico
Pengarang: Ayu Utami
Tebal:vii + 244 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Februari 2012
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Setiap orang memiliki kisah hidupnya sendiri. Tapi tidak semua orang bersedia atau mendapat kesempatan kisah hidupnya dijadikan novel. Salah satu pertimbangan untuk mendapatkan kesempatan yang dimaksud adalah popularitas. Orang itu bisa pahlawan, atau pesohor yang memiliki pengalaman hidup luar biasa, sehingga layak dibagikan kepada orang lain. Enrico bukanlah nama populer, kecuali mungkin bagi sebagian orang yang berkecimpung dalam dunia fotografi. Karena ia adalah Erik Prasetya atau Prasetya Riksa, seorang fotografer yang telah menerbitkan buku foto bertajuk Jakarta Estetika Banal (2011).
Dari situs sang pengarang, diketahui bahwa, Ayu Utami
menulis novel ini karena kisah Enrico menggambarkan hidup seorang anak bangsa
yang terpusar peristiwa besar dalam sejarah Indonesia, dan karena kisah Enrico
baginya adalah kisah tentang cinta seorang anak kepada ibunya, bukan dalam
bentuk klise-ideal dan mulus. Menurut pengakuannya, ia telah mendengar penggalan-penggalan
kisah Enrico selama lebih dari 11 tahun. Oleh sebab itu, hanya dalam waktu
sekitar 2,5 bulan, Cerita Cinta Enrico
pun tuntas ditulis. Dalam proses kreatifnya, Ayu mengaku tidak selalu setia
pada versi asli yang diceritakan Enrico. Ia melakukan improvisasi dengan memoles
cerita asli, mengatur kembali percakapan, dan melakukan pemaknaan dan
penafsiran sendiri.
Seperti judulnya, Cerita
Cinta Enrico, buku yang oleh pengarangnya disebut novel kisah nyata, (kisah nyata yang ditulis dalam bentuk novel) bercerita
tentang cinta. Ayu membagi cerita cinta ini ke dalam tiga bagian meliputi: Cinta Pertama, Patah Hati, dan Cinta
Terakhir? (Pakai tanda tanya!).
Cinta pertama Enrico adalah perempuan yang ia makan
bagian puting payudaranya sewaktu bayi, yaitu ibunya sendiri. Ia lahir berbarengan
dengan pengumuman deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
dan bergerilya di belantara hingga berusia 3 tahun mengikuti kelompok
pemberontak. Dalam “Catatan Akhir”, Ayu menyatakan bahwa ia tidak melakukan
penyesuaian terhadap cerita Enrico. Bahwa ia dibawa masuk hutan saat berumur
satu hari (ia lahir 15 Februari 1958). Karena ternyata, catatan sejarah
mengungkap bahwa penyerangan tentara pusat terhadap PRRI baru terjadi pada bulan
Mei 1958. “Kemurnian persepsi anak-anak
lebih utama daripada fakta-fakta obyektif,” dalih Ayu. Karena hidup di belantara,
maka kehidupan cinta Enrico memang berawal dari sana. Ia mulai mengenali ibunya
sebagai perempuan yang memberinya air susu walau dalam keadaan terbatas.
Seiring pertambahan usia, pengenalan akan ibunya kian
bertambah. Bahwa ibunya adalah seorang perempuan modern, pernah menjadi pekerja
kantor, fasih berbahasa Belanda, selalu memakai rok selutut, dan sejumlah
kebisaan lainnya. Terutama, bahwa sang ibu memakai sepatu pantovel untuk kaki
kokoh dengan betis penuhnya. Dalam periode kanak-kanak Enrico yang masih
bergelimang cinta, demi pujian ibunya, Enrico akan memeragakan kemampuan menyemir
sepatunya. Ibunya adalah pusat dunianya, dan ia mencintainya. Tapi, setelah
kematian Sanda, kakaknya, ibunya berubah. Bagi Enrico, kematian Sanda adalah
tikungan dalam hidup semua anggota keluarganya. Ibunya berubah dingin, keras,
dan pahit. Enrico kehilangan kebanggaannya terhadap ibunya. Apalagi pada saat
paling terpuruk dalam hidup ibunya, datang pengkabar dari Saksi Yehowa yang
mengiming-iming ibunya. Bahwa Saksi Yehowa akan dibangkitkan kembali pada Hari
Kiamat, di mana mereka akan bangkit dalam tubuh yang sama di muka bumi yang
sama. Tak pelak lagi, ibunya percaya jika pada Hari Kiamat ia akan berjumpa kembali
dengan Sanda.
Keterlibatan ibunya dalam Saksi Yehowa membuat Enrico
patah hati. Ia masih menyemir pantovel ibunya, tapi tidak lagi dengan cinta. Tanpa
dicegah, Enrico pun tercebur dalam pergaulan anak-anak yang membuatnya nakal di
mata ibunya. Kenakalan ini, menurut ibunya, akan mempersingkat umur ibunya. Di
sisi lain, Enrico mulai tidak betah dengan ibunya. Ia merasa hidup dengan
ibunya menjadi semacam penindasan, membuatnya bodoh seperti ayam broiler, dan
ia ingin kuliah di Jawa untuk membebaskan diri. Tiket kebebasan Enrico adalah
dibabtis sebagai Saksi Yehowa sesuai keinginan ibunya. Enrico sendiri tidak
ingin menjadi bagian dari Saksi Yehowa sebab katanya: “Pembabtisan itu bagiku adalah titik di mana aku tak mau lagi percaya
pada Tuhan. Persetan dengan Tuhan. Agama telah merusak ibuku. Ibuku yang dulu
cantik, hebat, dan periang itu kini telah diringseknya menjadi makhluk yang
lain sama sekali. Aku dendam pada agama.” (hlm.127). Setelah pembabtisan,
ia bertekad tidak akan membiarkan kebebasannya dirampas orang lain.
Lepas dari ibunya, kehidupan Enrico berubah. Ia bebas
menentukan masa depannya, dan bebas terlibat hubungan asmara/seks ekstramarital.
Sesuai dengan tekadnya, Enrico yang dulu mencintai ibunya meneguhkan prinsip
hidupnya. Ia tidak ingin menikah. Tidak ingin punya anak. Dan sesuai dengan
prinsipnya ini, ia bebas berpetualang dengan berbagai perempuan, yang masih
mencari jodoh ataupun yang sudah terikat perkawinan. Baginya, perempuan
hanyalah teman tidur. Prinsip ini ia pegang teguh hingga ia menyadari kesebatangkaraannya
di dunia, sepeninggal kedua orangtuanya. Ia merasakan kekosongan dalam dirinya,
yang hanya bisa diisi oleh perempuan yang tidak perlu ia waspadai, yang tidak akan
merampok kebebasannya. Ia pun bertemu A, perempuan yang memiliki kesamaan
prinsip dengannya. Sesudah episode pemotretan telanjang, mereka terlibat
hubungan asmara dan seks bebas.
Ayu Utami |
Dalam pandangan A seks bukanlah sesuatu yang sakral, maka
ia melakukan hubungan seks tanpa mau terikat perkawinan. Ia terlilit ambiguitas:
melakukan seks bebas tetapi mengaku beragama. Ia Katolik, sebal pada khotbah
pastor yang katanya patriarkal dan menggurui, tidak komuni karena berzinah
melulu dan tidak merasa itu sebagai dosa. Ia merasa persetubuhannya dengan
Enrico bukanlah dosa karena katanya: “Aku kan tidak mengkhianati dan membohongi
siapapun.” (hlm. 201). Menurutnya, ia tidak berdosa karena berzinah, tetapi
karena melepaskan seks dari fungsi reproduksi (hlm. 204). Sehabis bersetubuh,
ia pun mengajak Enrico berbincang tentang seks dalam kitab suci. Poligami dan
monogami. Sarai dan Abraham. Batseyba, Daud dan Uria (bukan Uriel).
“Daud sendiri
adalah keturunan Isai. Nah, Isai lahir dari persetubuhan menantu dan mertua –
sebuah pelanggaran hukum masyarakat! Tapi pelanggaran hukum ini terjadi karena
hukum yang ada pun tidak adil pada yang lemah. Yang lemah dalam hal ini adalah
Tamar, menantu perempuan Yehuda. Yehuda seharusnya memberikan anak bungsunya
menggantikan suami Tamar yang mati – sesuai adat yang berlaku waktu itu. Tapi,
Yehuda tidak mau melakukannya. Akibatnya Tamar tidak bisa mendapatkan
keturunan. Maka, Tamar menjebak mertuanya sendiri, mertua yang curang itu,
untuk menghamili dirinya.” (hlm. 203-204). A mungkin tidak tahu kalau Isai tidaklah
lahir dari persetubuhan Yehuda dan Tamar tapi keturunan mereka. Ia mungkin tidak
tahu kalau Isai terhubung dengan Tamar dan Yehuda dalam rantai silsilah yang
sangat panjang.
Karena memandang seks bukanlah sesuatu yang sakral, tanpa
kawin, ia sudah bisa menikmati seks dengan bebas, yang penting suka sama suka.
Perkawinan baginya merupakan penindasan atau tekanan (sama seperti yang dianut
Enrico), dan harus ada pembebasan dari itu. Hukum perkawinan Indonesia
menjadikan suami kepala keluarga, ia tidak mau itu. Ia mencari celah, dan menemukan
dalam agamanya sendiri, Katolik. “Aku ternyata baru tahu bahwa dalam hukum
perkawinan Katolik tidak ada itu ayat yang menyatakan suami menjadi kepala
keluarga atau pemimpin keluarga,” katanya (hlm. 231). Ia pun mau mengubah
keputusannya. Nah, lho, kenapa ini? “Aku tak menemukan kesalahan ontologis pada
konsep perkawinan Katolik.” (hlm. 232). Kondisi yang sama dalam
keberlangsungan hubungan cintanya: Enrico tidak punya kesalahan ontologis!
Akhirnya, Enrico atau Erik Prasetya, dan A atau Ayu Utami,
yang sama-sama memandang perkawinan sebagai penindasan, menikah secara gereja. Dengan
pernikahan ini, Ayu Utami mematikan lagu lamanya yang telah lama berkumandang:
Parasit lajang! Ia memberi gelar baru bagi dirinya sendiri dalam judul novel
kisah nyata yang lagi dalam proses penulisan: Eks Parasit Lajang. Atau kalau membaca ‘bocoran’ yang ada (hlm.
244), mungkin juga cocok diberi judul: Cerita
Cinta Eks Parasit Lajang atau Cerita
Cinta A. Hehehe.
Setelah bagian Cinta
Pertama dan Patah Hati, pembaca
memang tiba di Cinta Terakhir?
(dengan tanda tanya!). Mengapa pengarang membubuhi judul bagian terakhir dengan
tanda tanya? Jawabannya jelas: keraguan! A masih ragu cinta Enrico padanya akan
menjadi cinta terakhir. Jadi, kalau Enrico benar-benar serius menjadikan A cinta
terakhir, maka ia harus menjaga dirinya. Jangan sampai melakukan kesalahan
ontologis. Hehehe.
Enrico, pemilik biografi cinta dalam novel ini, mengatakan
bahwa kisah hidupnya yang dinovelkan ini adalah: “Sebuah proses yang membantuku
menerima mengapa ibuku tidak sanggup melihat kebaikan yang ada padaku. Sebuah
proses yang membantuku berdamai.” (hlm. 235). Sebuah proses melepaskan cinta
pertama untuk menyongsong cinta terakhir (sekali lagi, dengan tanda tanya!).
Proses ini tidak gampang, karena Enrico harus melewati perguliran puluhan tahun
yang membuat rambutnya berubah kelabu. Dan proses ini membutuhkan kemampuan
merangkai kalimat bergizi nan apik. Ayu Utami memilikinya, dan di tangannya proses
ini menjadi sedap dibaca. Walaupun pada banyak tempat terasa datar, karena kehidupan
Enrico bukanlah fiktif tetapi nyata, seperti kehidupan kita sendiri.
Di hadapan Ayu Utami, meskipun tidak bersunat, Enrico tidak perlu bersikap waspada, tidak perlu malu telanjang seperti Adam ketangkap basah berbuat dosa di Eden. Di hadapan pembaca, Erik Prasetya juga Ayu Utami, tidak perlu bersikap waspada dan tidak perlu malu dengan ketelanjangan yang ada: mengikatkan diri dalam pernikahan gereja, setelah sebelumnya tidak berniat menikah dan merayakan kehidupan seks bebas.
Di hadapan Ayu Utami, meskipun tidak bersunat, Enrico tidak perlu bersikap waspada, tidak perlu malu telanjang seperti Adam ketangkap basah berbuat dosa di Eden. Di hadapan pembaca, Erik Prasetya juga Ayu Utami, tidak perlu bersikap waspada dan tidak perlu malu dengan ketelanjangan yang ada: mengikatkan diri dalam pernikahan gereja, setelah sebelumnya tidak berniat menikah dan merayakan kehidupan seks bebas.
Dari situs pribadinya, kita mengetahui bahwa selain novel
Eks Parasit Lajang yang direncanakan
terbit akhir tahun 2012, Ayu Utami juga sedang dalam proses penulisan novel
seri Bilangan Fu yang kedua dari duabelas yang direncanakan. Lalita, demikian judul novel tersebut,
akan mengikuti novel sebelumnya, Manjali
dan Cakrabirawa (2010).
2 comments:
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/disebut-kompetitor-oleh-as-china-minta.html
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/jokowi-optimis-tol-sepanjang-jawa.html
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/kematian-jonghyun-dan-kegilaan-industri.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At vipkiukiu .net ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM
Ayoo ditunggu, ada film drama korea terbaru yang bisa anda saksikan dilayar smartphone anda, Download MYDRAKOR di GooglePlay secara gratis mudah dan cepat, MYDRAKOR nonton film drama korea.
https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/
Post a Comment