08 May 2013

Semusim, dan Semusim Lagi


 
Judul Buku: Semusim, dan Semusim Lagi
Pengarang: Andina Dwifatma
Editor: Hetih Rusli
Tebal: 232 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama






Sehari setelah dinyatakan lulus SMA, seorang gadis remaja menerima dua lembar surat. Surat pertama, dari universitas swasta tempat dia mendaftar sebagai mahasiswa jurusan sejarah. Surat kedua, tanpa nama pengirim, dari seorang yang mengaku sebagai ayahnya dan mengundangnya berkunjung ke kota S (terletak di bagian tengah pulau Jawa). Laki-laki yang mengaku meninggalkannya saat ia baru berusia tiga bulan itu sedang sakit keras dan dalam perawatan.

Tidak terungkap sebab-musabab perpisahan orangtua gadis itu. Hidup tanpa pendampingan seorang ayah seakan-akan belum cukup, ibunya pun -seorang dokter ahli bedak otak- menafikan keberadaannya di rumah. Tapi, begitu mengetahui ayah gadis itu menghubunginya, ibu gadis itu mendadak merasa sakit. Gadis itu pun pergi ke kota S setelah mendapatkan perkenanan ibunya. Setibanya di bandara kota S, ia dijemput oleh J.J. Henri, salah satu anak buah ayahnya. J.J. Henri memiliki seorang anak laki-laki semata wayang yang berusia lebih tua dari gadis itu. Saat libur kuliah, anak laki-laki bernama Muara itu diajak ayahnya untuk menemani gadis itu. Mereka menghabiskan waktu sambil berbincang tentang musik jazz, Bob Dylan dan lagunya yang terkenal Blowin' in the Wind, juga buku-buku. Diam-diam, kebersamaan mereka membuat gadis itu jatuh cinta. 
 
Sementara gadis itu masih menunggu kesempatan untuk bertemu ayahnya  di RS, terjadi serangkaian kejadian aneh yang membuatnya mesti berurusan dengan polisi. Hal itu terjadi setelah Sobron muncul, duduk di salah satu kursi meja makan di rumah ayahnya.

Meskipun mengaku kikuk, gadis itu adalah narator yang banyak bicara. Dengan segera apa yang diceritakannya akan membiakkan hal baru yang akan disampaikannya dengan panjang lebar.

Jangan terkecoh. Gadis itu bukan tidak jujur, tapi setelah berada di kota S, sekalipun terkesan meyakinkan, kita tidak boleh percaya mentah-mentah dengan apa yang diceritakannya. Kita mengira ceritanya berubah menjadi absurd, padahal sebenarnya tidak. Tidak ada yang absurd di sini, karena novel ini bukanlah sejenis novel surealis.

Sebagai pembaca saya jadi kuatir salah menafsirkan. Tapi saya berpegang pada kata-kata ibunya dalam sebuah pertemuan dengan gadis itu -meskipun bagi saya tetap khayali. Menjadi orangtua tidak semudah kelihatannya. Apa pun yang kamu katakan, kamu kerjakan, kamu sampaikan, akan sangat berpengaruh pada kepribadian anakmu. Salah omong sedikit, anakmu bisa mengingatnya sampai tua. Dan jadi orang yang lemah mentalnya.  (hlm.163).

Di penghujung cerita yang disampaikan gadis itu, saya percaya pada kata-katanya. Aku merasa semusim paling berat dalam hidupku telah terlewati, dan aku siap untuk musim selanjutnya. Lalu mungkin semusim, dan semusim lagi... (hlm. 230).

Semusim, dan Semusim Lagi adalah novel yang lahir dari Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Ia mengungguli sejumlah novel yang diikutsertakan sayembara penulisan itu dan dinobatkan sebagai pemenang pertama. Meskipun bertaburan segala sesuatu yang bersumber dari budaya pop -sebagaimana yang kerap ditemukan dalam berbagai karya fiksi populer saat ini- Andina bisa menganggit sebuah novel serius dengan prima. Penulis yang pernah tergabung dalam Sarekat Penulis Kuping Hitam dalam rangka penulisan novel kolaboratif bertajuk Lenka (2011) ini mampu memanfaatkan bahasa Indonesia dengan baik dalam mengungkapkan setiap hal yang muncul dalam perjalanan gadis anonim itu menemui ayahnya. Hasilnya adalah kisah bergelimang kalimat-kalimat bernas dan terangkai apik yang akan memikat pembaca untuk tetap meneruskan pembacaan. Kebiasaan gadis itu (baca: pengarang) yang senang membeberkan berbagai detail tidak sampai membunuh semangat untuk menamatkan novel ini. Satu hal yang hampir terlupakan selama pembacaan adalah: gadis anonim itu sesungguhnya masih remaja yang sedang menghampiri fase kedewasaan.

Sejatinya, tema novel ini bukanlah sesuatu yang baru. Kisah gadis bermental lemah yang mati-matian menunjukkan citra seorang gadis cerdas bisa dijumpai dalam karya fiksi lain. Dalam novel ini, karakternya terbentuk dari pengabaian demi pengabaian yang dilakukan kedua orangtuanya. Pada akhirnya, terciptalah sosok Sobron, yang menjadi kambing hitam dari setiap tindakan obsesif gadis itu.

Kemungkinan besar, karena pengarang bermaksud mengangkat kisah dalam novel ini ke tataran realistik,  nama gadis itu –dan ayahnya- sengaja  tidak disebutkan. Saat kesempatan memungkinkan kemunculan nama mereka, gadis itu segera menghindarinya.

Melihat ilustrasi sampul novel ini Anda mungkin akan mengira kalau novel ini berkisah tentang binatang yang diwakili oleh seekor ikan mas koki raksasa. Saya beritahu Anda: kehadiran ikan mas koki dalam novel ini memang penting, karena akan mengungkapkan siapa sebenarnya gadis anonim yang menjadi narator orang pertama novel ini.

Judul novel ini dipetik dari salah satu baris sajak Sitor Situmorang yang berjudul Surat Kertas Hijau. Anda akan menemukan sajak itu disematkan di sampul belakang novel. 



Surat Kertas Hijau

Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh

Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Mengimbau dari seberang benua

Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan

Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan

Sitor Situmorang, 1953





Tentang Pengarang:
Andina Dian Dwifatma dilahirkan di Jakarta pada 15 September 1986. Sejak 2010 bekerja di Kompas Gramedia sebagai wartawan dan telah memenangkan penghargaan jurnalistik Anugerah Adiwara pada 2011. Bukunya yang sudah diterbitkan adalah Cerita Azra, biografi dari Azyumardi Azra (2011). Selain itu, ia mengikutsertakan cerpennya yang berjudul Seorang Penari yang Membutakan Matanya Sendiri dalam bunga rampai cerpen bertajuk Si Murai dan Orang Gila (2010). Ia juga terlibat dalam penulisan novel kolaboratif Lenka (2011) bersama-sama dengan peserta Bengkel Penulisan Novel DKJ 2008 dan 2009.  


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan