21 June 2012

Sepatu Dahlan

Judul Buku: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Tebal: 390 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2012
Penerbit: Noura Books

 
"Apakah saya menyesal dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di kabupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame. Kami bisa menikmatinya bersama-sama," demikian dikatakan Dahlan Iskan dalam bukunya Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri (Elex Media Komputindo: 2012).

Selain ijazah dengan dua nilai merah, kemiskinanlah yang membuat Dahlan Iskan remaja tidak bisa masuk SMP yang ia dambakan. Orangtuanya tidak mampu membiayainya dan memutuskan memasukkannya ke Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Takeran atau Pondok Sabilil Muttaqien.

"Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya," tulis Dahlan Iskan dalam bukunya Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri dan dikutip Krishna Pabichara dalam novel Sepatu Dahlan (hlm, 322). Karena itu, Dahlan pun bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Takeran yang terletak 6 kilometer dari rumahnya di Kebon Dalem (Magetan, Jawa Timur) tempat kisahnya bermula. Setiap hari, ia mesti berjalan telanjang kaki selama satu jam menuju sekolah dan satu jam lagi pulang ke rumah. Tidak heran jika Dahlan ingin mendapatkan sepatu dan sepeda untuk mempermudah perjalanannya. Hanya saja, orangtuanya tidak punya uang untuk memenuhi keinginannya.

Demi mendapatkan sepatu, Dahlan pernah nguli nandur berhari-hari. Sedangkan untuk sepeda, ia pun nguli nyeset. Tapi upah yang ia peroleh selalu digunakan untuk hal-hal lain yang dipandang lebih penting. 

"Kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam "durian runtuh" agar bisa membeli benda-benda idaman, atau membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik anak-anak orang kaya. Tapi, kita juga dapat memilih menjalani hidup dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orangtua sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan," kata Dahlan yang berperan sebagai narator orang pertama dalam Sepatu Dahlan (hlm. 248).

 
Maka, walaupun tak punya sepeda dan tak mengenakan sepatu, Dahlan tetap menjalani hari-harinya bersekolah di pesantren. Di sana, ia bahkan menjalin persahabatan dengan beberapa anak yang kemudian akan menghiasi masa remajanya. Salah satu ekspresi masa remaja Dahlan dan teman-temannya adalah menjadi anggota tim bola voli sekolah. Kegiatan inilah yang akan membantu menggembleng bakat kepemimpinan Dahlan, apalagi ketika ia diminta melatih anak-anak pegawai perkebunan tebu bermain voli dan pada satu kesempatan harus mengambil keputusan sulit.

Dari pekerjaannya melatih anak-anak pegawai perkebunan tebu, akhirnya Dahlan punya uang untuk membeli sepeda sekaligus sepatu, kendati bekas. Khusus untuk sepatu, dalam Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri, Dahlan mendeskripsikan sebagai "Sepatu kets bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian tumitnya sudah berserabut."

"Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak disebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai aku benar-benar memilikinya." (hlm. 338). Untuk mendapatkan sepatu, sebelumnya Dahlan sempat mengambil uang yang disimpan Bapaknya. Untunglah, saat sudah berada di pasar hendak membeli sepatu bekas, uangnya tidak cukup.

Ketika mimpi memiliki sepeda dan sepatu telah terpenuhi, Dahlan merasa hal ini bukanlah akhir dari apa yang ingin ia penuhi. Ada mimpi baru yang begitu ingin ia raih, mimpi yang sangat biasa dan wajar bagi dirinya yang hidup dalam kemiskinan. Mimpi menangguk rezeki agar bisa makan setiap kali perut melilit kelaparan.

"Saya, waktu kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu baju, tapi saya masih punya satu sarung! Jangan meremehkan kemampuan sarung ini." kata Dahlan dalam Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri. Sarung baginya tidak hanya menjadi alat ibadah, mencari rezeki, pakaian, atau alat hiburan, melainkan juga untuk membantu saat sedang lapar.

"Kalau perut lagi lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama sekali, saya ikatkan kuat-kuat sarung itu di pinggang. Jadilah dia pengganjal perut yang andal," katanya dalam
Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri. Itu juga yang ditunjukkan Krishna Pabichara dalam novel ini ketika Dahlan dan adiknya, Zain, kelaparan dan tidak ada sesuap tiwul pun yang bisa mengganjal perut.

Satu yang sangat mengusik saya adalah Bapak yang terkesan diam menghadapi Dahlan dan Zain yang kelaparan. Bahkan digambarkan oleh Krishna Pabichara sewaktu meninggalkan rumah untuk bekerja di luar Kebon Dalem, Bapak tidak mempersiapkan makanan bagi anak-anaknya. Lebih mengusik lagi karena ada kakak Dahlan yang bisa kuliah di Madiun sementara adik-adiknya tetap kelaparan di kampung. Bahkan Bapak pernah berkata, "Kemiskinan yang dijalani dengan cara yang tepat, akan mematangkan jiwa." (hlm. 184).

Novel Sepatu Dahlan tidak hanya mendedahkan perjuangan masa remaja Dahlan untuk bisa tetap sekolah dan mengatasi kelaparan (sampai suatu kali harus mencuri tebu) tapi juga melukiskan interaksinya dengan sang Bapak yang "tidak pernah tersenyum, tidak punya koleksi kata-kata lembut dan sangat pendiam." Dahlan tidak bisa mengharapkan Bapak memahami dirinya dan kebutuhannya, tapi Dahlan yang harus memahami kemarahan yang ditunjukkan Bapak dengan sikap diam. Seperti saat tiga ekor domba yang diangon Dahlan harus dikorbankan demi mengganti sepeda temannya yang ringsek. Atau seperti ketika ia dituduh tidak bisa menjaga Zain, adiknya yang jatuh dari pohon kelapa. Bapak hanya bisa menunjukkan kebanggaan jika Dahlan mencetak prestasi!

Rasanya kurang menarik jika masa remaja Dahlan Iskan digambarkan dengan datar-datar saja. Oleh sebab itu,  Krishna pun menyelipkan kisah cinta masa remaja. Bahwa Dahlan jatuh cinta pada Aisha, gadis lain sekolah dan ternyata anak mandor perkebunan tebu yang ditakutinya. Kisah cinta yang menjadi salah satu pemicu keinginan Dahlan meninggalkan Kebon Dalem pada bagian pamungkas novel ini merupakan bagian yang cukup menghibur disamping balapan kerbau dan lomba voli yang digambarkan secara meriah.

Ada kisah masa SMA (Madrasah Aliyah) yang diluputkan Krishna Pabichara dalam novel ini. Dahlan Iskan sendiri mengakuinya dalam Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri. Bahwa ia pernah tidak naik kelas lantaran nilai rapornya merah semua. Sayang rasanya tidak menjadi bagian dari novel mengingat hal ini cukup menarik dan selanjutnya akan sangat terhubung dengan soal sepatu yang diidam-idamkan Dahlan.

Sekarang Dahlan Iskan, tentu saja, tidak semiskin masa remajanya. Berbagai pekerjaan telah ia tekuni hingga dipilih menjadi Menteri BUMN dalam Kabinet Indonesia Bersatu II menggantikan Mustofa Abubakar (mulai 19 Oktober 2011). Keberadaannya saat ini sudah pasti bisa membuatnya memiliki segudang sepatu yang bagian jempolnya tidak bolong dan tumitnya tidak berserabut. Tapi kenangan tentang sepatu yang sulit dibeli tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidupnya.

Untuk pembaca, Dahlan tidak menutup-nutupi latar belakang kehidupannya yang miskin. Ia memberikan kesempatan Noura Books melalui Krishna Pabichara untuk menovelisasi kehidupannya dengan membubuhkan sentuhan dramatis yang dibutuhkan sebuah novel.

Semangat Dahlan berjuang meraih mimpi memberikan inspirasi bagi pembaca untuk mensyukuri hidup seperti apapun yang harus dijalani. Semangat yang sama memotivasi pembaca untuk bertekad keluar sebagai pemenang dari berbagai kendala hidup yang dihadapi. Karena keberhasilan -seperti yang diraih Dahlan Iskan- memang hak semua orang, asalkan ada niat untuk merealisasikannya.

Sepatu Dahlan
adalah buku pertama dari trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan yang telah direncanakan. Setelah novel ini, akan menyusul Surat Dahlan dan Kursi Dahlan. Sebagai seorang penulis yang antara lain telah menerbitkan kumpulan cerpen Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang Menggetarkan (2010), Krishna Pabichara adalah pilihan yang tepat untuk menovelisasi kisah hidup Dahlan Iskan. Ia terbilang sukses mengemas kisah nyata menjadi sebuah novel yang menggugah. Memang tidak ada konflik dan solusi seperti di dalam novel-novel fiktif, tapi kisah dalam novel kisah nyata ini tetap mampu menarik perhatian sampai ditamatkan. Kabarnya, untuk menulis novel ini, Khrisna Pabichara telah melakukan riset yang intensif bahkan sampai tinggal di Kebon Dalem dan mendatangi tempat-tempat yang pernah dikunjungi Dahlan terkait waktu yang menjadi seting novel. 


 
 Sumber gambar: di sini



Foto Krishna Pabichara : Endah Sulwesi 


 Pengunjung

2 comments:

ErnieFaizal Siti said... Reply Comment

Saya suka dengan resensi ini. Tapi sayang, saya tidak tahu bagaimana mahu mendapatkan buku-buku dari indonesia terutamanya buku-buku terjemahan.

Jody said... Reply Comment

@Ernie: terima kasih sudah berkunjung. Maksudnya buku terjemahan yang mana?

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan