Judul Buku: The Christmas Hope
Pengarang: Donna VanLiere (2005)
Penerjemah: Rosida W. Simatupang
Tebal: 223 halaman
Cetakan: 1, 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo
Penerjemah: Rosida W. Simatupang
Tebal: 223 halaman
Cetakan: 1, 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo
Sean Addison meninggal setelah mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang ke rumah keluarganya pada malam Natal. Ia tertidur ketika mengemudikan mobilnya dan menabrak truk gandeng yang diparkir di tepi jalan. Saat itu Patricia, ibunya, telah mempersiapkan perayaan Natal keluarga. Ia telah memanggang kue cokelat Jerman dan pecan pie cokelat, membuat manisan selai kacang dan kue gula-gula. Tapi Patricia tidak pernah melihat putranya dalam keadaan hidup lagi, setelah delapan belas tahun melahirkannya.
Nathan Andrews sedang bertugas di ruang gawat darurat ketika Sean dibawa ke rumah sakit, dan dialah yang mengabarkan kematian Sean kepada Patricia. Sean mengalami cedera terlalu berat. Ia meninggal di meja operasi sebelum para dokter sempat menolongnya. Tapi, Sean sempat berbicara, memberitahukan siapa dirinya dan pesan yang menyatakan bahwa dia akan selalu mencintai ayah dan ibunya.
Setelah kematian Sean, perubahan besar terjadi dalam keluarga Addison. Kesedihan telah merenggangkan komunikasi di antara Patricia dan Mark. Mereka tidak bisa menyatu lagi, tetap hidup serumah tapi diantarai jurang pemisah. Patricia mencoba pergi ke gereja, berharap hidupnya diubahkan seperti yang dialami ibunya, Charlotte, ketika ditinggalkan ayahnya dalam keadaan terpuruk. Tapi Patricia tidak bertahan karena baginya kematian Sean adalah indikasi bahwa sebenarnya Tuhan tidak mempedulikannya.
Empat tahun telah berlalu sejak kematian Sean, dan tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Hubungan Patricia dengan Mark kian memburuk, Mark tidak tahan lagi dengan keadaan mereka dan telah mengemas barang-barangnya ke dalam kotak dan koper, memutuskan meninggalkan Patricia seusai Natal.
Tidak ada harapan lagi bagi Patricia. Sukacitanya telah lenyap, kebahagiaan tinggal memori, dan tidak ada alasan baginya untuk mempersiapkan perayaan Natal ketika hari besar itu menjelang. Tidak ada lagi kesibukan menghias rumah ataupun memanggang kue seperti dulu. Kehilangan Sean di malam Natal telah mengguratkan luka yang dalam.
Hanya satu yang tetap membuat Patricia kuat menghadapi kehidupannya. Seperti pesan lain Sean menjelang ajalnya, Patricia tetap mencintai anak-anak. Selama tujuh belas tahun Patricia bekerja sebagai pekerja sosial yang memberi diri dalam pelayanan protektif bagi anak-anak dari keluarga bermasalah. Ia yang menjemput anak-anak dari kediaman mereka ketika ibu-ibu mereka ditangkap karena terlibat tindak kejahatan atau harus dimasukkan ke dalam rehabilitasi. Ia pula yang berupaya mencarikan rumah asuh bagi anak-anak itu sebelum kelak dikembalikan pada orangtua yang sudah mampu merawat mereka.
Menjelang Natal, Patricia harus menjemput Emily Weist, gadis cilik berusia lima tahun, dari tempat tinggalnya. Emily yang manis dan pintar ditinggalkan ibunya yang pergi bekerja. Malangnya, ibunya tewas dalam kecelakaan mobil. Dalam waktu yang tidak lama, Patricia pun harus menjemput Mia, anak berusia dua tahun yang ditelantarkan ibunya, seorang pengedar narkoba berusia delapan belas tahun. Mia harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena hasil pemeriksaan Dokter Nathan Andrews menunjukkan kalau Mia mengalami incessant atrial tachycardia (denyut jantung tidak normal karena pembesaran jantung).
Ketika keluarga angkat Emily dirundung masalah keluarga, Patricia menjemput gadis kecil itu dan bermaksud mencarikannya rumah asuh yang baru. Tapi dalam perjalanannya, Patrica membatalkan niatnya dan membawa Emily ke rumahnya. Padahal, tindakan ini merupakan pelanggaran kode etik bagi pekerja sosial.
Tanpa diduga Patricia, kehadiran Emily di dalam rumahnya ternyata membawa atmosfir keriangan yang sudah menghilang. Dengan mudah, Emily meluluhkan hati Mark dan membuat lelaki yang bekerja sebagai pilot itu memutuskan melewatkan Natal di rumahnya. Padahal sudah hampir empat Natal ia tetap bekerja. Bahkan kemudian, Mark mempertimbangkan keinginan Emily untuk tinggal bersama keluarganya. Pelan-pelan Emily berhasil memperbaiki jembatan komunikasi dan pengertian di antara Patricia dan Mark yang sudah runtuh. Dan tanpa disadari, Emily menghangatkan kembali kasih di antara mereka yang sudah dingin, membuat gadis cilik itu menjadi sangat berarti bagi mereka.
Tapi, apakah kebahagiaan yang muncul di musim Natal setelah empat tahun kesedihan itu akan bertahan? Akankah Emily menjadi bagian keluarga Addison? Dari hasil penelusuran yang dilakukan Patricia, ternyata Tracy - ibu Emily- telah menetapkan adik laki-lakinya sebagai wali bagi Emily. Apakah paman Emily akan bersedia mengalihkan hak perwaliannya pada keluarga Addison? Patricia harus bersicepat dalam waktu yang singkat untuk memastikannya.
Sementara itu, menjelang Natal, Nathan Andrews berusaha memecahkan misteri dari sebuah kado Natal tanpa pembungkus yang ditemukannya di rumah sakit. Ketika ia memutuskan membuka kado itu, ia menemukan sebuah jam saku antik di dalamnya. Siapakah pasien yang telah menjatuhkan kado itu?
Donna VanLiere, penulis The Christmas Hope (Pengharapan Natal), akan menggiring kita pada pemahaman betapa bernilainya jam saku itu dalam mengatalisasi perubahan kehidupan. Dan bahwa cinta, dalam kerumitan seperti apa pun yang harus ditempuhnya, akan selalu membawa pulang kebahagiaan dalam hidup manusia. Di puncak khidmatnya musim Natal yang menyelubungi keluarga Addison, Patricia memperoleh keyakinannya kembali, bahwa masih ada harapan di dunia ini. Membenarkan kalimat dari Victor Hugo yang dikutip Donna untuk membuka bab delapan (hlm. 171): Pengharapan adalah kata-kata yang ditulis Tuhan di setiap dahi manusia.
The Christmas Hope adalah buku ketiga dari Christmas Hope Series karya Donna VanLiere. Meskipun masih menghadirkan peran Nathan Andrews dan Robert Layton, keduanya bukan lagi fokus utama novel ini. Tapi kehadiran mereka sebagai orang-orang berkebaikan hati yang telah diubahkan, akan tetap terasa menghangatkan hati.
Seperti kedua buku pendahulunya - The Christmas Shoes dan The Christmas Blessing - novel ini ditulis menggunakan perpaduan dua narator, orang pertama dan ketiga. Kali ini, Donna menetapkan Patricia Addison sebagai orang pertama yang akan mencurahkan kisah hidupnya yang menjadi fokus novel ini. Seperti kedua buku sebelumnya, The Christmas Hope yang juga ditulis dengan lembut dan penuh perasaan, akan menerbitkan keharuan dan kehangatan dalam hati selama membaca. Pergumulan keluarga Addison digambarkan sedemikian rupa sehingga kita bisa merasakan hati mereka yang hancur. Kita akan menginginkan mereka mendapatkan kembali kebahagiaan sehingga akan terus melembari halaman buku untuk mencapai bagian pamungkas. Kemudian pada akhirnya, kita akan diyakinkan, bahwa yang terbaik bagi hati yang hancur adalah mempersembahkannya ke atas mezbah Tuhan.
Ada sesuatu terkait kematian Sean Addison yang membuat saya kembali membuka buku sebelumnya, The Christmas Blessing. Dalam novel ini Donna memberitahu bahwa Nathan menyaksikan kematian dua pasien yang dirawat timnya; seorang anak muda yang mengalami kecelakaan mobil dan seorang perempuan tua yang mengalami peningkatan pecahnya aorta. Karena hanya kedua kematian itu yang terjadi selama masa rotasinya di rumah sakit, saya berkesimpulan anak muda itulah yang dimaksudkan sebagai Sean Addison. Tapi ternyata setelah memeriksa dengan teliti ada perbedaan antara Sean dan anak muda yang mati itu. Dalam The Christmas Blessing disebutkan anak muda itu berusia dua puluh tujuh tahun dan meninggal saat Nathan menjalani rotasi pertamanya, yaitu rotasi bedah. Dalam The Christmas Hope disebutkan bahwa Sean Addison meninggal pada usia delapan belas tahun, dan saat itu Nathan sedang bertugas di ruang gawat darurat. Saya bisa memahami inkonsistensi ini karena terang saja Donna VanLiere belum memikirkan kisah di dalam The Christmas Hope ketika ia menulis The Christmas Blessing.
The Christmas Hope telah diekranisasi menjadi film televisi yang ditayangkan pertama kali pada 13 Desember 2009 di Lifetime Television. Madeleine Stowe berperan sebagai Patricia Addison, James Remar sebagai Mark Addison, Ian Ziering sebagai Nathan Adrews, dan Tori Barban sebagai Emily.
"Ada beberapa waktu yang tak dapat kuingat tentang bagaimana aku bisa sampai di sini atau rasa sakit yang kurasakan; ada masanya ketika perasaan itu membanjir dalam diriku. Ini perjalanan panjang. Kadang kala, kupikir aku tidak akan berhasil, atau Mark dan aku tak akan bertahan tapi nyatanya kami bisa. Dan hari ini saat aku melihat seorang malaikat berpakaian putih mengangkat sayapnya dan menyanyi, aku bisa katakan, masih ada Harapan di dunia ini dan kedamaian di hatiku." (Patricia: hlm. 223).
***
1 comments:
suka banget dengan buku karangan donna selalu bagus
Mayora Indah
Post a Comment