06 March 2013

Pulang


Judul Buku: Pulang
Pengarang: Leila S. Chudori
Tebal: viii + 464; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Desember 2012
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia



 
Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang - Dimas Suryo, hlm. 208.


 
Lintang Utara, mahasiswi Universitas Sorbonne, Paris, mendapat tugas akhir kuliah untuk membuat film dokumenter yang menyorot salah satu bagian dalam sejarah Indonesia. Tugas akhir ini mengarahkan Lintang pada peristiwa yang mengantar ayahnya, Dimas Suryo, menjadikan Paris sebagai tempat tinggal. Pertanyaan besar yang menggeliat dalam benak Lintang adalah:  apa yang bisa kita petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A.?

Dimas Suryo adalah seorang eksil politik yang meninggalkan tanah air yang sangat dicintainya pada tahun 1965. Saat itu, Dimas  yang bekerja sebagai  redaktur Kantor Berita Nusantara sedang mengikuti konferensi jurnalis bertaraf internasional di Santiago, Cile. Pada waktu peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia tidak bisa pulang ke Indonesia. Ia dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia yang dinobatkan sebagai dalang terbunuhnya para Pahlawan Revolusi. Dimas Suryo akhirnya terdampar di Paris bersama tiga rekan kerjanya -Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjai Sin Soe. Setelah mengerjakan berbagai pekerjaan serabutan, keeempat pria yang menamakan diri Empat Pilar Tanah Air ini mendirikan Restoran Tanah Air, restoran yang menyajikan masakan Indonesiaa di Rue de Vaugirard, Paris.

Pada Mei 1968, saat baru tinggal di Paris dan kota itu sedang bergolak oleh gerakan mahasiswa dan buruh yang menentang pemerintah De Gaulle, Dimas Suryo bertemu  Vivienne Deveraux. Mereka menikah, dan dari pernikahan ini, lahir putri semata wayang Dimas, Lintang Utara.

Selama menetap di Paris, berulang kali Dimas berusaha pulang ke Indonesia, tapi selalu gagal mendapatkan visa. Rezim Soeharto yang mengukuhkan sikap anti komunis dengan menegakkan berbagai peraturan yang bahkan berada di luar batas kemanusiaan, tidak memberikannya izin untuk pulang. Padahal, bertahun-tahun bermukim di Paris, kota itu hanya sekadar menjadi rumah persinggahan. Bagi Dimas, Indonesia adalah rumah sejatinya, tujuan kerinduannya untuk pulang. Bertahun-tahun menjadi penduduk Paris, bukan Cimetiere du Pere Lachaise, melainkan pemakaman Karet-lah yang ingin dijadikannya peraduan terakhir.

"Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet,"  kata Dimas pada putrinya (hlm. 282).

Sesungguhnya, selain cinta kepada Indonesia, Dimas memendam cinta lain di Indonesia. Dimas tidak pernah bisa melupakan Surti Anandari, mantan kekasih yang meninggalkannya dan menikahi rekan kerja Dimas, Hananto Prawiro. Surti telah melahirkan tiga orang anak bagi suaminya dan menamai mereka dengan nama-nama yang awalnya direncanakan menjadi nama anak-anak Dimas. Tidak terelakkan lagi, cinta Dimas yang belum ditamatkan ini menjadi sumber keretakan dalam pernikahannya dengan Vivienne. Surti-lah yang membuat Vivienne memilih bercerai dengan Dimas, sekalipun tetap mencintai pria ini.

Ketika Lintang Utara berpacaran dengan Narayana Lafebre, pemuda blasteran Prancis-Indonesia tapi bukan anak eksil, hubungan Lintang dengan Dimas merenggang. Sikap Dimas yang tidak menyenangkan terhadap Narayana membuat Lintang terluka dan tidak ingin melihat wajah ayahnya lagi. Tapi saat Dimas jatuh sakit, tidak ada yang menahan langkah Lintang untuk mengunjungi ayahnya dan menyampaikan rencana perjalanan ke Indonesia guna merekam korban peristiwa 30 September 1965.

Sebagai anak dari eksil politik, tidak mudah bagi Lintang untuk masuk Indonesia. Apalagi kedatangannya ke Indonesia terkait dengan upaya menyingkapkan kembali tabir hitam dalam sejarah Indonesia. Di balik tabir itu, bertaburan darah orang-orang tidak berdosa yang dituduh komunis atau berhubungan dengan komunis. Untunglah Narayana memiliki koneksi di KBRI, para diplomat yunior berpikiran terbuka yang bersedia mengusahakan visa bagi Lintang.

Lintang tiba di Jakarta tatkala Indonesia sedang panas bergolak pada Mei 1998. Terjadi demonstrasi besar-besaran, mahasiswa melakukan unjuk rasa terkait kenaikan harga BBM dan KKN yang menjurus kepada tuntutan reformasi. Soeharto, pemimpin Orde Baru, diminta turun diri dari tampuk presiden yang telah didudukinya selama 32 tahun. Atas inisiatif Segara Alam, anak bungsu Hananto Prawiro yang bekerja di LSM Anak Bangsa, Lintang menyusup ke dalam hiruk-pikuk kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia, kerusuhan Mei 1998. Dan di tengah panasnya kondisi politik dan rentannya keamanan yang kian meningkat itu, Lintang berjibaku merekam film yang mengangkat para korban malapraktik sejarah Indonesia. Seiring dengan itu, ia tidak bisa menampik perasaan yang timbul dalam interaksinya dengan Alam, hasrat untuk menyatu secara ragawi di antara keturunan Dimas Suryo dan Surti Anandari.

Pulang, novel karya Leila S. Chudori adalah salah satu dari beberapa karya fiksi Indonesia berlatar peristiwa 30 September 1965 atau Gestapu yang diterbitkan pada tahun 2012. Boleh dikatakan, Pulang yang diterbitkan pada Desember 2012 adalah pamungkasnya. Sebelumnya telah diterbitkan novel-novel seperti Kubah karya Ahmad Tohari (penerbitan ulang) dan 65 (menyusul prekuelnya, Blues Merbabu, 2011) karya Gitanyali (Bre Redana), dan Amba yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak. Dibandingkan dengan keempat novel tersebut, Pulang yang dihiasi ilustrasi karya Daniel "Timbul" Cahya Krisna ini jauh lebih kental dan sarat membincang peristiwa yang melatarbelakangi kisahnya. Leila berhasil mengangkat topik yang pada masa lalu sangat rawan dibincangkan secara gemilang sehingga berhasil membawa kita mengarungi kisah yang terbentang sejak tahun 1960-an hingga 1990-an. Dari masa penegakan Orde Baru sampai keruntuhannya yang memalukan.

Yang sangat menarik adalah Leila mengisahkan putri seorang eksil politik yang datang ke Indonesia untuk menguak peristiwa yang menjauhkan ayahnya dari Indonesia. Menggunakan momen yang tepat, Leila menibakan Lintang Utara di Indonesia pada Mei 1998, masa-masa menjelang jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan Indonesia. Dimas Suryo meninggalkan Indonesia dan tidak pernah diizinkan pulang menjelang berkuasanya Soeharto, sedangkan putrinya memasuki Indonesia menjelang tumbangnya kekuasaan Soeharto.

Leila membuka kisahnya dengan penangkapan Hananto Prawiro pada April 1968 di Jalan Sabang, Jakarta. Hananto yang menghilang dari peredaran sejak 30 September 1965, dijadikan target perburuan, ternyata bersembunyi di Jakarta. Sedihnya, sebenarnya Hananto-lah yang seharusnya berada di Santiago, Cile untuk mengikuti konferensi. Tabiat penjahat kelaminlah yang menahannya tetap berada di Indonesia. Hananto, walaupun telah menikahi Surti Anandari, gemar melakukan petualangan syahwat ekstramarital. Menjelang peristiwa Gestapu, Surti ingin meninggalkannya dan Hananto bertekad mempertahankan pernikahannya. Itulah sebabnya, Dimas Suryo yang menggantikannya pergi ke Santiago.

Setelah kisah penangkapan Hananto, Leila membagi kisahnya dalam tiga bagian besar yang diberi judul  Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam. Kita dibawa ke Paris pada saat terjadi revolusi Mei 1968 dan dalam perjalanan menuju epilog pada 10 Juni 1998, kita akan digempur dengan berbagai kilas balik seputar kehidupan Dimas Suryo dan keluarganya. Dalam perjalanan ini kita akan menemukan kisah kehidupan seorang pencinta tanah air yang terbuang, perjuangannya untuk pulang yang tidak mudah, persahabatannya dengan rekan-rekan senasib, dan semua dampak yang menciptakan konflik dalam keluarga dan cintanya. Semua elemen ini membentuk kisah yang sangat menyita perhatian dan simpati.

Sudah pasti, Dimas Suryo adalah karakter paling menarik dalam novel ini. Dialah yang menjadi karakter sentral dalam novel ini. Eksistensi Lintang dan perjalanannya ke Indonesia untuk membuat film dokumenter berawal dari Dimas Suryo. Laki-laki ini pula yang mempengaruhi kehidupan ketiga sahabatnya di Paris, perempuan Prancis yang menjadi istrinya, keluarga Surti Anandari, dan keluarga Aji, adiknya di Jakarta. Ia menjelma menjadi suara dari semua orang Indonesia yang tidak bisa pulang setelah Orde Baru mencengkeram segenap sendi dari tubuh Indonesia. Sangat mencintai tanah airnya, tapi sukar mengejawantahkan perasaan ini.

"Ayah tahu dia ditolak pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya, dia meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia,"  kata Lintang (hlm. 198-199).  Dan setiap mengalami penolakan atas pengajuan visanya, Dimas akan melakukan upacara mencium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya. Ia memosisikan dirinya sebagai Ekalaya yang ditolak tapi akan tetap bertahan meski sangat sulit melakukannya.

Apakah akan ada kesempatan bagi Dimas untuk pulang ke pangkuan ibu pertiwi? Inilah pertanyaan besar dan paling emosionil dalam novel ini. Leila akan memberikan jawabannya pada bagian epilog, dengan tetap menyisakan kebimbangan dalam diri Lintang. Siapa pria yang akan dipilihnya? Segara Alam yang tidak begitu sulit membawanya ke tempat tidur, atau Narayana Lafebre, si tampan yang selalu memberi dukungan pada apa yang dilakukannya? 

Dengan menulis novel ini, Leila menjadi salah satu penulis yang mengingatkan kita bahwa sejarah Indonesia mengandung kisah perusakan harkat kemanusiaan yang telah memakan banyak korban. Ironisnya, pembasmian besar-besaran yang telah terjadi pasca peristiwa 30 September 1965 itu, dilakukan oleh orang-orang setanah air dan setumpah darah yang digerakkan ambisi penegakan sebuah rezim. Seiring dengan berlalunya waktu, masalah itu tetap tidak bisa dipulihkan dan mungkin tidak akan pernah dipulihkan. Tapi apa yang telah terjadi, akan memberikan pelajaran bagi kita untuk tidak bertindak sewenang-wenang dan selalu menghormati kehidupan manusia.

Meskipun padat dan sangat bergizi, saya suka dengan gaya penulisan Leila dalam novel yang ditulis selama enam tahun ini. Ia menulis dengan pilihan kata yang enak dibaca dengan kecenderungan puitis tapi tidak hiperbolis, dan cerdas dalam keseluruhannya. Pulang, novel pertama Leila S. Chudori, setelah bertahun-tahun meninggalkan penulisan novel-novel remaja, adalah sajian berkualitas yang tidak boleh dilewatkan oleh para pembaca Indonesia. 

Sebelum Pulang, Leila telah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Malam Terakhir (pertama kali diterbitkan Pustaka Utama Grafiti, 1989, kemudian diterbitkan ulang Kepustakaan Populer Gramedia pada 2009 dan 2012). Kumpulan cerpen ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul Die Letzte Nacht (Horlemann Verlag). Penulis skenario sinetron Dunia Tanpa Koma (2006) ini juga telah meluncurkan kumpulan cerpen 9 dari Nadira. Baik Malam Terakhir maupun 9 dari Nadira sedang dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Inggris dan akan diterbitkan oleh Yayasan Lontar. Kabarnya, Leila sedang menggarap lanjutan 9 dari Nadira dan kumpulan cerita seorang pembunuh bayaran, Lembayung Senja.





 Pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan