25 March 2013

The London Eye Mystery


 
Judul Buku: The London Eye Mystery 
Pengarang: Siobhan Dowd (2007)
Penerjemah: Yoga Nandiwardhana
Penyunting: Primadonna Angela
Tebal: 256 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Januari 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




London Eye atau disebut juga Millenium Wheel adalah kincir observasi terbesar di dunia. Dengan tinggi 135 meter dan roda berdiameter 120 meter, London Eye memiliki 32 kapsul pengamatan di sisi luar lingkarannya. The Eye -demikian julukan bagi London Eye- berputar dengan kecepatan 0,26 meter/detik, dan satu putaran memakan waktu sekitar 30 menit. Kincir yang diresmikan oleh Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, pada 31 Desember 1999 dan baru dibuka untuk publik pada 9 Maret 2000 ini menjadi objek pariwisata terkenal sekaligus ikon London.

Menaiki London Eye adalah kegiatan yang paling disukai Ted Sparks, seorang bocah laki-laki penyandang Sindrom Asperger. Ke sanalah, Ted dan Kat, kakak perempuannya, membawa Salim -putra Bibi Gloria- karena merupakan pengalaman baru baginya.  Tapi saat ketiga anak ini mengantre untuk membeli tiket, seorang laki-laki asing yang mengaku klaustrofobik menawarkan satu tiket gratis. Diputuskan, hanya Salim yang akan naik London Eye, pada pukul 11.32. Sebelum kapsul berpenumpang 21 orang yang dinaiki Salim tertutup, ia tampak berbalik dan melambai kepada kedua saudara sepupunya.

Tiga puluh menit kemudian, pukul 12.02, tatkala kapsul mendarat, pintu terbuka dan para penumpangnya keluar, Ted dan Kat tidak melihat Salim di antara mereka. Salim yang disebut-sebut ibunya sebagai pelawak penuh aksi dan pengagum gedung-gedung tinggi, menghilang. Padahal, Salim dan ibunya hanya singgah di London -dan menginap di rumah keluarga Sparks- dalam perjalanan dari tempat tinggal mereka, Manchester, menuju New York. Mereka akan pindah ke Amerika Serikat karena Gloria mendapat pekerjaan sebagai kurator seni.

Menghilangnya Salim secara misterius, tentu saja, menimbulkan kehebohan di rumah keluarga Sparks. Bagaimana mungkin Salim yang naik London Eye tidak turun? Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Ketika polisi pun dibuat bingung, bersama-sama, melupakan sementara ketegangan di antara mereka, Ted dan Kat, memutuskan untuk memecahkan kasus menghilangnya Salim. Ted merumuskan delapan teori mengenai hilangnya Salim dan bertindak untuk menguji kedelapan teorinya.

1. Salim bersembunyi di dalam kapsul.
2. Arloji Ted Salah.
3. Salim keluar dari kapsul, tapi mereka tidak saling melihat.
4. Salim sengaja menghindari Ted dan Kat atau mengalami amnesia (hilang ingatan).
5. Salim terbakar secara spontan.
6. Salim keluar dari kapsul dalam samaran.
7. Salim masuk ke lengkungan waktu sehingga nyasar di waktu lain atau di dunia paralel.
8. Salim keluar dari kapsul bersembunyi di balik pakaian orang lain.

Satu demi satu teori itu dicoret dari daftar, tapi sebelum selesai diuji, Ted menambahkan teori kesembilan. Menurut teori ini, sejak awal Salim memang tidak pernah naik London Eye. Tapi bukankah mereka melihat Salim melambai dan memasuki salah satu kapsul? Ted dan Kat harus berusaha lebih giat, sampai terpaksa berbohong pada ibu mereka, untuk mengikuti semua petunjuk yang mengarah pada keberadaan Salim. 

Mampukah mereka? Dalam kesedihannya, ada optimisme dalam kata-kata Bibi Gloria.  "Kadang aku pikir ada yang lebih dari otakmu itu, Ted, daripada seluruh otak kami disatukan. Kalau saja otak dapat mengembalikan Salim, otakmulah yang mampu melakukannya." (hlm. 157). 

Dan  Bibi Gloria memang tidak salah. Ted Sparks, sang narator orang pertama dalam novel The London Eye Mystery (Misteri London Eye) karya Siobhan Dowd, akan menemukan jalan menuju Salim, pada tendangan kedelapan puluh tujuh ke gudang di kebun belakang rumahnya.

Ted Sparks, tentu saja, merupakan karakter sentral yang paling menarik dan mengundang rasa sayang dalam novel ini. Siobhan Dowd tidak menyebut secara langsung kalau Ted menyandang Sindrom Asperger. Tapi dari penuturan Ted mengenai kondisinya -antara lain kepada Salim- kita bisa memastikan kalau Ted memiliki sindrom yang ditemukan pada tahun 1944 oleh Hans Asperger, seorang dokter anak asal Austria.

"Ada sesuatu di otakku," kata Ted. "Aku bukannya sakit. Atau bodoh. Tapi aku tidak normal. Seolah otak itu adalah komputer. Otakku berjalan pada sistem operasi yang lain dibandingkan orang-orang biasa. Kabel-kabelnya pun berbeda. Karena itu, aku sangat hebat dalam memikirkan fakta dan cara kerja berbagai hal, dan dokter bilang aku berada pada bagian spektrum yang berfungsi tinggi. Tapi aku tidak pandai melakukan hal-hal seperti bermain bola. Olahraga favoritku adalah trampolin. Aku suka melompat di atasnya setiap hari karena itu membantuku berpikir. Sindromku membuatku hebat dalam mengingat hal-hal besar, seperti fakta penting tentang cuaca. Tapi aku selalu melupakan hal-hal kecil, seperti tas olahragaku. Ibuku bilang otakku seperti saringan. Maksudnya banyak hal jatuh melalui lubang-lubang di memoriku." (hlm. 33-34).

Selain Ted, Salim adalah karakter lain yang mengundang simpati. Ia adalah anak semata wayang Gloria dengan Rashid, dokter berdarah India, yang telah diceraikannya. Saat bertemu dengan Ted, bukannya menghina Ted, Salim malah memperlihatkan keakraban dan pemahaman yang manis. Lalu ketika terlibat perbincangan dengan Ted di kamar tidur, ia mengindikasikan empati yang mendalam. 

"Aku tidak suka menjadi berbeda. Aku tidak suka berada di dalam otakku. Kadang rasanya seperti berada sendirian di ruangan luas yang kosong. Dan tidak ada apa pun di situ, hanya aku," kata Ted.

"Aku tahu tempat itu," kata Salim. "Aku di dalam situ juga. Sangat sepi di sana, ya kan?" (hlm. 35).

Lewat novel ini, Siobhan Dowd tidak hanya memberikan pembaca sebuah kisah menarik mengenai pemecahan kasus hilangnya seorang anak menggunakan karakter anak-anak, tapi juga edukasi mengenai anak-anak penyandang Sindrom Asperger. Karena penyandang Sindrom Asperger - seperti pernyataan Ted- memiliki otak aneh yang bekerja dengan sistem yang berbeda dengan orang lain, cara menangani dan menghadapinya tentu saja berbeda dengan orang-orang biasa. Bagi anak-anak penyandang Sindrom Asperger sendiri, kondisi mereka telah menjadi tantangan hidup yang berat. Tidak semua orang bisa menerima mereka dengan baik. Dengan menampilkan Salim yang menganggap Ted keren -belakangan menyebutnya unik- Siobhan Dowd tentunya berharap adanya penerimaan yang sama baiknya dialami anak-anak penyandang Sindrom Asperger di dunia nyata. 

Karena Ted Sparks menyandang Sindrom Asperger, mau tidak mau, novel ini mengingatkan pada novel The Curious Incident of the Dog in the Night-time karya Mark Haddon (2003). Apalagi baik Ted Sparks maupun Christopher Boone dikisahkan melakukan penyelidikan untuk memecahkan sebuah kasus. Tapi kendati sesama penderita Sindrom Asperger, keduanya memiliki cara berbeda mendedahkan kisah. Christopher yang memiliki minat lebih beragam tidak hanya menggunakan kata-kata tapi juga gambar. Ia pun lebih meyakinkan sebagai penyandang Sindrom Asperger ketimbang Ted. (BTW, Siobhan adalah nama salah satu karakter dalam The Curious Incident of the Dog in the Night-time).  Meskipun begitu, hal ini tidak lantas membuat The London Eye Mystery kehilangan daya tariknya. Karena begitu mulai membaca novel pemenang penghargaan NASEN/TES Special Educational Needs Children's Book 2007 ini akan terasa sulit untuk melepaskannya sebelum berhasil ditamatkan. Coba saja!

Ada kekeliruan mengenai London Eye dalam edisi Indonesia ini. Disebutkan bahwa London Eye memiliki dua puluh tiga kapsul (hlm. 7), padahal sebenarnya ada tiga puluh dua kapsul. Setelah membaca bab satu edisi Inggris, baru saya mengetahui kalau kekeliruan ini disebabkan oleh penerjemahnya. 

Kau masuk ke dalam salah satu dari dua puluh tiga kapsul bersama orang lain yang mengantre bersamamu, dan ketika pintu ditutup, suara bising kota tak lagi terdengar.

You are sealed into one of the thirty-two capsules with the strangers who were next to you in the queue, and when they close the doors, the sound of the city is cut off.


Siobhan Dowd (4 Februari 1960 - 21 Agustus 2007) menerbitkan buku pertamanya, A Swift Pure Cry, pada tahun 2006 dan memenangkan Brandford Boase dan Eilis Dillon. Saat meninggal karena kanker payudara  dalam usia 47 tahun, ia telah menyelesaikan dua novel yang belum diterbitkan. Bog Child diterbitkan pada tahun 2008 (dan memenangkan Carnegie Medal), sedangkan Solace of the Road menyusul setahun kemudian. Semua royalti bukunya diberikan pada Siobhan Dowd Trust yang didirikan beberapa saat sebelum ia meninggal. Badan amal ini bertujuan mendukung kesenangan membaca bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam bidang sosial. 












Informasi mengenai London Eye bisa dibaca di sini 

4 comments:

Oky said... Reply Comment

Wow, it sounds fun.. ini bener juga mirip2 sama The Curious Incident of the Dog in the Night-time.

Endingnya gmn mas? #HEH *plak*

Jody said... Reply Comment

Endingnya? Dibaca aja sendiri... haha

Oky said... Reply Comment

Abis baca ini aku langsung beli bukunya lho. Buat hadiah ke temen soalnya ini jenis buku yg aku tahu dia bakal suka. Thanks for your review :D

Jody said... Reply Comment

Terima kasih, Oky :)

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan