Judul Buku: Evergreen
Pengarang: Prisca Primasari
Penyunting: Anin
Patrajuangga
Tebal: 204 halaman
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Grasindo
Rachel
Yumeko River dipecat dari pekerjaannya sebagai editor novel misteri di Sekai Publishing. Kejadian
ini bagaikan ganjaran bagi sikapnya yang egois, lalai, dan meremehkan orang
lain yang memang telah menjadi bagian dari kepribadiannya. Rachel pun ditinggalkan
teman-temannya yang sudah bosan dengan karakternya yang tidak menyenangkan.
Sungguh pukulan berat bagi Rachel mengingat reputasinya telah runtuh di semua
penerbitan di Tokyo. Ia tidak bisa menekuni pekerjaan di dunia perbukuan kendati
editor merupakan keahlian satu-satunya. Dalam keputusasaan yang membuatnya sempat
terpikir mengakhiri hidupnya, Rachel memasuki Evergreen.
Evergreen
adalah sebuah kedai es krim yang hangat dan nyaman dengan menu berlimpah dan para
pekerja yang ramah di Kamazawa-Dori. Lagu-lagu The Beatles akan menyapa telinga para
pengunjung saat berada di dalamnya. Yuya Fukushima, pemuda penggemar manga dan
memiliki fobia terhadap bebek lantaran pengalaman mengejutkan di masa kecil,
adalah pemilik Evergreen. Pemuda yang lebih memperhatikan kebahagiaan orang
lain ketimbang dirinya sendiri ini mempekerjakan tiga karyawan yang diberinya
gaji tinggi. Fumio Kitahara, Gamma Satyo, dan Akari Nakashima.
Fumio,
pemuda dengan senyum menyenangkan, datang ke Tokyo dari Osaka bersama Toshi,
adiknya, untuk mencari ayah mereka. Sepuluh tahun sebelumnya, sang ayah
meninggalkan Osaka tanpa pamit. Sehari sebelum pergi, ia menitipkan pesan
kepada kedua anaknya: Apapun yang terjadi, ingatlah itu Fumio,
Toshi. Jika kalian meragukan kasih sayang ayah kalian, ingatlah empat musim.
Ingatlah salju, daun mapel, bunga, dan matahari. (hlm. 100).
Awalnya,
Toshi juga bekerja di Evergreen, tapi sakit yang diidapnya membuat ia berhenti
dan menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah. Keluarnya Toshi dari Evergreen
menambahkan kesedihan di dalam hati Akari Nakashima, gadis tomboi yang
mempunyai pengalaman kehilangan sahabat dalam hidupnya.
Sementara
bekeja di Evergreen, Gamma Satyo yang berdarah Indonesia menyimpan impiannya
untuk membuka kedai es krim sendiri. Sesuai kesepakatan dengan Yuya, ia akan
membuka kedai es krim setelah Evergreen semakin besar dan membuka cabang di
Prancis. Keinginan mempunyai kedai es krim timbul karena mendiang ibu Gamma
pernah mendirikan kedai es krim.
Setiap
Jumat di akhir bulan, Yuya dan ketiga karyawannya mengadakan gathering bertema Memories yang dimulai setelah kedai tutup. Diiringi musik oldies, setiap orang akan mendapatkan
giliran duduk di dekat perapian dan pohon tiruan tanpa daun tempat
bergelantungan kertas berisi testimoni pengunjung, kemudian menceritakan
kenangan tak terlupakan yang dialaminya.
Setelah
hadir dalam gathering untuk pertama
kalinya, timbul keinginan dalam diri Rachel untuk menjadi bagian dari
Evergreen. Kepedulian Yuya terhadap Rachel diwujudkan dengan tawaran untuk bergabung
sebagai karyawannya. Kehadiran Rachel disambut hangat, kecuali Kari yang
membutuhkan kesamaan kenangan sebelum bisa menerima Rachel.
Apa
yang terjadi pada pemilik dan karyawan Evergreen tidak luput dari perhatian
Toda Toichiro. Pemimpin redaksi sebuah penerbitan ini telah lama menjadi
pelanggan Evergreen, sering datang sendirian dan dengan setia menghabiskan
waktu sambil membaca novel Akutagawa Ryunosuke. Toda yang memiliki kemampuan
bermain sulap diterima dengan baik oleh peserta gathering.
Tanpa sepengetahuannya, jalinan takdir telah menggiringnya ke tempat di mana ia
akan bertemu seseorang yang telah membuat kehidupan pernikahannya terpuruk.
Setiap
karakter dalam novel karya Prisca Primasari ini memiliki problematika kehidupan
internal. Rachel menyandang berbagai sifat buruk bukannya tanpa penyebab. Dari
seorang gadis yang ramah dan baik hati, setelah perceraian orangtuanya dan
ayahnya meninggalkan keluarga, Rachel berubah menjadi gadis yang berperilaku
tidak menyenangkan. Orangtua Yuya (tidak disebutkan apakah ayah dan ibunya atau
hanya salah satunya) meninggal karena bunuh diri. Seperti sudah disebutkan
sebelumnya, Fumio dan Toshi ditinggalkan ayah mereka yang tidak pernah kembali,
sementara ibu mereka telah meninggal saat melahirkan Toshi. Gamma ditinggalkan
ayahnya yang kembali ke Indonesia sementara ibunya meninggal karena kecelakaan.
Seumur hidup Kari, ia dibebani perasaan sedih karena kehilangan sahabat yang
disayanginya, dan sekali lagi ia terancam kehilangan orang yang disayanginya.
Sementara Toda Toichiro yang hampir kehilangan istrinya, terombang-ambing dalam ketidakpastian arah kehidupan pernikahannya.
Bagian
paling menyentuh dalam novel ini adalah hubungan di antara Fumio, Toshi, ayah
mereka, dan kenangan-kenangan dalam hidup mereka. Pada usia 19 tahun, Toshi
didiagnosis mengidap Alzheimer. Sebuah kasus langka yang agaknya disebabkan
oleh faktor genetis. Alzheimer biasanya menyerang orang-orang berusia lanjut,
dan memang benar tidak tertutup kemungkinan dialami orang-orang belia.
Pemilihan penyakit Alzheimer pada usia muda langsung mengingatkan pada film
drama Korea A Moment to Remember yang
mengisahkan tentang perempuan 27 tahun yang mengidap Alzheimer dan melupakan
kenangan-kenangan serta orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Sambil
bekerja mengumpulkan biaya pengobatan, Fumio harus merawat Toshi. Tapi hal ini
tidak menjadi beban bagi Fumio. Kenangan-kenangan Toshi-lah yang menjadi
beban baginya dan menciptakan ketakutan serta kepedihan. Fumio telah
mencatat, sejak masa kanak-kanak, mereka telah mengumpulkan 70 kenangan.
Semakin lama, semakin sedikit kenangan yang bisa diingat Toshi, padahal Fumio
hidup dan bertahan karena kenangan-kenangan yang melibatkan Toshi itu.
Bersama
menjadi bagian dari Evergreen atau terkena pengaruh kehangatan Evergreen mereka
saling mengenal dan memahami, merasa senasib dan sepenanggungan. Kesedihan dan
kegembiraan, kenangan-kenangan pahit dan manis, kebaikan dan keburukan pribadi,
diungkap dan dimengerti. Saat memasuki Evergreen pertama kali, Rachel belum
tahu, bahwa dalam kenyamanan kedai es krim dengan menu berlimpah dan dalam
kehangatan persahabatan dan persaudaraan yang ada, hidupnya akan berubah untuk
selamanya. Kebaikan hati yang manis akan menepis egoisme yang telah berkarat
semenjak ia menginjak usia tujuh belas tahun.
Evergreen
adalah novel dengan kisah indah bermuatan momen-momen spesial yang mengharukan dan menghangatkan
hati. Persahabatan dan kehilangan, kesalahan dan keinginan memperbaiki diri,
memaafkan dan menerima kehidupan apa adanya, membahagiakan dan mengembalikan
semangat hidup sesama, kenangan dan impian serta bagaimana mempertahankannya. Dan tentu saja cinta: orangtua dan anak, suami dan istri, pemilik kedai
es krim dan karyawannya. Setelah melewati sederet duka dalam plot yang membuat
mata berkaca-kaca, kita akan menemukan kebahagiaan dan tekad mewujudkan impian
yang tidak pernah mati.
Sekali lagi, setelah Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012) dan Paris (2013) yang sudah saya baca, Prisca Primasari membius saya dengan keindahan kisah yang meninggalkan kenangan tak terlupakan. Tema yang diangkatnya memang tidak selalu baru, tapi selalu terasa segar dalam penuturannya yang memikat. Belum lagi seting lokasi mancanegara yang dimanfaatkannya. Sejak menerbitkan novel perdananya, Spring in Autumn (2006) Prisca telah menunjukkan minat dalam memanfaatkan seting lokasi di luar Indonesia. Ia melakukannya lagi dalam novel Will & Juliet: A Love Chronicle in New York City (2008), The Fairy Tale House (2008), Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011) dan Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012). Seting Jepang sebelumnya pernah dipakainya dalam novela berjudul Chokoréto yang tergabung dalam Gagas Duet Beautiful Mistake (2012). Kali ini, ia menjadikan Jepang sebagai seting, dimulai pada musim semi saat sakura bermekaran dengan keindahan helai-helai tajuknya hingga musim gugur tahun berikutnya yang melankolis.
Satu hal yang menganggu dalam Evergreen adalah font yang dipakai. Memang setelah terbiasa, pembacaan tidak lagi tersendat, tapi ada baiknya ukurannya dibuat sedikit lebih besar untuk kenyamanan selama membaca.
Sekali lagi, setelah Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012) dan Paris (2013) yang sudah saya baca, Prisca Primasari membius saya dengan keindahan kisah yang meninggalkan kenangan tak terlupakan. Tema yang diangkatnya memang tidak selalu baru, tapi selalu terasa segar dalam penuturannya yang memikat. Belum lagi seting lokasi mancanegara yang dimanfaatkannya. Sejak menerbitkan novel perdananya, Spring in Autumn (2006) Prisca telah menunjukkan minat dalam memanfaatkan seting lokasi di luar Indonesia. Ia melakukannya lagi dalam novel Will & Juliet: A Love Chronicle in New York City (2008), The Fairy Tale House (2008), Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011) dan Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012). Seting Jepang sebelumnya pernah dipakainya dalam novela berjudul Chokoréto yang tergabung dalam Gagas Duet Beautiful Mistake (2012). Kali ini, ia menjadikan Jepang sebagai seting, dimulai pada musim semi saat sakura bermekaran dengan keindahan helai-helai tajuknya hingga musim gugur tahun berikutnya yang melankolis.
Satu hal yang menganggu dalam Evergreen adalah font yang dipakai. Memang setelah terbiasa, pembacaan tidak lagi tersendat, tapi ada baiknya ukurannya dibuat sedikit lebih besar untuk kenyamanan selama membaca.
0 comments:
Post a Comment