02 July 2013

12 Menit


Judul Buku: 12 Menit
Pengarang: Oka Aurora
Penggagas cerita: Regina Septapi
Tebal: xiv + 348 hlm;  14 x 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2013
Penerbit: Noura Books






12 Menit Untuk Selamanya adalah film tentang perjuangan pelatih dan anggota Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT) untuk berlaga di Istora dalam rangka memperebutkan juara umum Grand Prix Marching Band (GPMB). Berdasarkan skenario yang ditulisnya sendiri, Oka Aurora meramu sebuah novel adaptasi yang diberi judul 12 Menit. Mengapa 12 menit? 12 menit adalah waktu maksimum yang diberikan kepada sebuah grup marching band untuk menampilkan aksi mereka di ajang kompetisi marching band

Adalah Rene, pelatih marching band yang dipinang PKT untuk membina MBBPKT. Ia bukanlah Rene Conway yang berkontribusi pada kemenangan marching band itu di GPMB 1994. Ia adalah seorang (ternyata) wanita Indonesia, lulusan Amerika, dan pernah bergabung dengan Phantom Regiment, marching band profesional berskala internasional (seperti Rene Conway). Sejak SMA di Jakarta, Rene telah aktif dalam kegiatan marching band. Ia pernah bermain di battery, front ensemble/pit percussion, brass, dan bahkan pernah menjadi field commander. Setelah pulang ke Jakarta, Rene melatih marching band sebuah perusahaan yang memenangkan juara umum di GPMB tiga tahun berturut-turut. 

Sebagai pelatih, Rene merancang impian yang sebenarnya tidak muluk-muluk. Ia ingin membawa MBBPKT menjadi juara umum di GPMB. Tidak heran, dalam melatih, Rene kerap bersikap dan berbicara keras sehingga terkadang menciutkan nyali anggota MBBPKT. Ia tidak hanya mengajar teknik bermain melainkan juga menanamkan kepercayaan pada anak-anak marching band bahwa jika mereka mau, mereka bisa menandingi marching band lain di Jakarta. 

Begitu menjadi pelatih, Rene langsung diperhadapkan dengan keluarnya empat anggota marching band dari section leaders. Maka, ia pun memutuskan untuk melaksanakan audisi dari anak-anak cadet band untuk dijadikan tim inti. Hal yang sungguh tidak mudah karena banyak anggota cadet band yang tidak memiliki potensi sama sekali. Tapi akhirnya, ia berhasil melengkapi anggota marching band menjadi sebanyak 120 orang (tidak ada penjelasan mendetail oleh pengarang). Dan tiga dari anggota marching band ini ternyata remaja yang menyimpan permasalahan hidup. Hanya dipilih tiga orang lantaran tidak mungkin semua permasalahan anggota marching band itu diangkat dalam novel ini -kecuali dibuat berseri yang sangat panjang. Mereka adalah Tara, Elaine, dan Lahang. 

Tara, remaja berkerudung, sudah setahun di cadet band ketika Rene memilihnya. Ia adalah pemain snare drum yang telah menguasai hampir semua rudiment. Hanya saja, Tara memiliki keterbatasan pendengaran di mana kemampuan mendengarnya hanya sepuluh sampai dua puluh persen. Keterbatasan ini disebabkan oleh sebuah kecelakaan yang juga telah merenggut nyawa ayahnya. Setelah ibunya melanjutkan kuliah S2 di Inggris, Tara tinggal dengan Opa dan Oma-nya di Bontang. Rene-lah yang secara tidak sengaja menemukan kemampuan Tara yang sudah menguasai permainan drum sejak 12 tahun dan memintanya bergabung dengan marching band.

Elaine, gadis remaja blasteran, ibu Indonesia dan ayah Jepang, adalah seorang pemain biola yang berotak encer. Di Jakarta, ia aktif di sebuah marching band sebagai field commander. Saat ayahnya, Josuke Higoshi, dipindahtugaskan ke Bontang oleh perusahaan tempatnya bekerja, Elaine dan ibunya ikut ke Bontang. Setelah menetap di Bontang, Elaine memutuskan bergabung dengan MBBPKT. Ayahnya tidak setuju karena lebih suka anaknya menjadi ilmuwan, tapi akhirnya mengizinkan dengan syarat Elaine harus tetap berprestasi di sekolah. Meskipun ingin menjadi field commander, Rene menempatkannya di front ensemble.

Lahang yang memiliki kemampuan menari dan pemain kunci di color guards adalah putra Dayak. Remaja dari desa nelayan ini bergabung dengan marching band untuk merealisasikan impiannya: melihat Tugu Monas. "Kalau kau bisa bermimpi sampai di tugu ini, kau bisa bermimpi ke tugu-tugu lain di dunia," kata mendiang ibunya (hlm. 295). Untuk menjemput impiannya, ia harus berlatih fouettes dua puluh putaran dengan tekun. 

Demi dua belas menit di Istora dalam perhelatan GPMB, mereka berlatih keras, dalam seminggu tiga sampai empat kali, sore hingga malam hari. Dalam latihan, mereka tidak hanya mengandalkan bakat, melainkan juga ketahanan, ketabahan, dan keuletan. Jika melakukan kesalahan sudah pasti mendapat teguran keras, omelan, dan cemoohan. Semua mereka jalani, demi mewujudkan impian yang mereka gemakan, ketika mereka meneriakkan: VINCERO! 

Tapi, persiapan untuk menuju Istora dan ikut berkompetisi untuk menjadi juara umum, ternyata bukan hal yang mudah. Hampir secara simultan masalah datang menghadang. Tara yang rapuh dan sensitif dengan gangguan pendengarannya kehilangan nyali dan mengundurkan diri. Elaine tidak mendapatkan izin dari ayahnya untuk ikut beraksi di GPMB. Lahang lebih suka menjaga ayahnya yang sakit ketimbang memperagakan kemampuan fouettes-nya. 

Apakah Rene mampu mengatasi semua masalah dan membawa grup marching band yang dilatihnya berjaya di GPMB? Ada hal yang perlu dilakukan Rene yaitu meyakinkan anak-anak itu dan dirinya sendiri, bahwa dua belas menit di Istora akan menjadi saat kemenangan mereka. 


Rayakan dua belas menit terbaik dalam hidupmu ini. Bersenang-senang dan berpestalah, karena dua belas menit ini adalah milikmu.

Dan, kenanglah dua belas menit ini untuk selamanya (Rene: hlm 323)


12 Menit karya Oka Aurora mengangsurkan gagasan bahwa untuk mewujudkan sebuah impian selalu dibutuhkan kerja keras. Setiap departemen dalam marching band harus melewati ribuan jam latihan yang sangat menguji ketahanan mental untuk biasa menguasai tugas masing-masing. Mereka harus berdiri sampai kaki gemetaran di tengah lapangan menyandang alat musik seperti Euphonium, mellophone, tuba, snare drum, quatro, dan bass drum. Para pemain mallet percussion (marimba, xylophone, dan vibraphone) meski tidak menyandang alat musiknya, harus berdiri berjam-jam selama latihan. Pemain trompet menahan bibir yang perih dan rahang yang kaku serta nyeri karena meniup trompet dalam waktu yang lama. Latihan yang menyita waktu seakan-akan tidak cukup, mereka pun harus menahan perasaan saat mendapat teguran keras dan omelan dari para pelatih. Selain itu, mereka dituntut bisa mengalahkan diri sendiri, mengalahkan berbagai godaan yang bisa mengacaukan latihan mereka. Novel ini menambah kesulitan lain yang harus mereka hadapi. Sebagai manusia, hidup mereka pun tidak akan pernah steril konflik, membuat mereka terjepit, dan kadang berpikir menyerah adalah kesimpulan terbaik. Inilah yang menjadi konflik terbesar yang menantang Rene, tapi juga memberikannya keyakinan bahwa jika anak-anak itu bisa diarahkan untuk mengatasi semua kendala, kemenangan bukan sesuatu yang sulit diraih. 

Dari ketiga karakter anggota marching band yang ditonjolkan, Lahang yang memberikan kisah paling mengharukan dan menghangatkan hati. Ia sangat mencintai ayahnya dan tidak ingin laki-laki yang sedang sakit itu meninggal pada saat ia sedang tidak berada di rumah. Tapi ayahnya sendiri, dalam ketidakberdayaannya, berusaha membangkitkan semangat Lahang untuk mewujudkan impiannya. Kisah Lahang akan melampaui kisah Tara dan Elaine hingga bagian pamungkas novel. 

Novel  ini menjadi cukup menarik karena ditulis dengan lumayan baik dan enak dibaca. Berbagai istilah dalam marching band bisa ditemukan penjelasannya dalam glosarium yang dilampirkan sehingga pembaca tidak akan kebingungan. Terasa sekali, Oka Aurora tidak sekadar memindahkan isi skenario dengan menambahkan narasi atau deskripsi secukupnya. Kemungkinan besar karena skenarionya merupakan karyanya sendiri, maka tidak terlalu sulit untuk mengembangkannya dalam bentuk novel. Alhasil, 12 Menit, tetaplah bisa dinikmati secara terpisah dari filmnya.

Karena menampilkan grup marching band, daya tarik utama novel ini sudah pasti adalah kisah mengenai grup marching band yang rasanya belum pernah diangkat secara khusus dalam karya fiksi Indonesia. Dalam versi filmnya, kita bisa langsung menyaksikan -tanpa perlu membayangkan- permainan full band yang dilakukan oleh grup MBBPKT ini. Tapi dalam novel ini, memang agak sulit membayangkan, karena pengarang tidak menjabarkan dengan gamblang. Komentar para pelatih selain Rene yang dimunculkan ketika grup marching band itu bermain full band untuk pertama kalinya tetap tidak membantu imajinasi kita. Kalimat yang berbunyi "Dan, permainan marching band itu berakhir dengan dentuman yang meremangkan bulu kuduk" tentu saja masih jauh sekali dari cukup.

Saya sempat bingung dengan karakter Rene. Sejak karakter ini diperkenalkan, pengarang seolah-olah lupa memberi tahu pembaca bahwa Rene dalam novel ini adalah seorang wanita, dan bukan laki-laki. Nama Rene yang disematkan pada pelatih MBBPKT memang akan langsung menghubungkan kita kepada Rene Conway, pelatih MBBPKT yang sejatinya adalah seorang laki-laki. Tidak ada penjelasan yang memadai terkait dengan bersedianya Rene meninggalkan Jakarta dan menjadi pelatih MBBPKT. Apakah keputusannya ini disebabkan karena gaji yang besar? Kesan yang muncul hanyalah Rene berhasil 'dipaksa' oleh Corporate Communication PKT. Seharusnya, pengungkapan salah satu bagian masa lalu Rene menjelang bagian akhir novel bisa lebih dieksplorasi lebih dalam untuk memunculkan konflik lain yang tidak akan membuat novel ini berlarat-larat. Sayangnya, pengungkapan ini memang dimunculkan tanpa persiapan sebelumnya.

Ada kemunculan karakter yang menimbulkan pertanyaan, yaitu pemain trompet bernama Rob (Bab Lima). Mungkin, kemunculannya dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran bagi pembaca mengenai keuletan yang mendatangkan berkah. Tapi, jika dihubungkan dengan kisah utamanya, kemunculan Rob seolah-olah benang lepas dari keseluruhan kisah. Ia memang pernah menjadi anggota MBBPKT tapi tidak ikut serta dalam GPMB yang akan diikuti MBBPKT. Kemunculannya justru berkaitan dengan kepergiannya untuk bergabung dengan The Blue Devils, salah satu drum corps terbaik di Amerika. Jadi, kenapa Rob dipaksakan menjadi bagian dari novel ini? 

Kesalahan kecil lainnya yang seharusnya tidak perlu terjadi adalah Nuraini, anggota pit percussion yang dalam satu halaman mendapatkan dua nama panggilan dari Elaine, Ni dan Nur (hlm. 264).

Bagian yang paling menimbulkan pertanyaan adalah latar waktu terjadinya kisah 12 Menit ini. Mencermati informasi yang ada dalam novel ini, meskipun bisa dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1994, kisah dalam novel ini tampaknya terjadi setelah momen kemenangan pertama MBBPKT dalam kompetisi GPMB. Padahal, bukankah justru kisah dalam novel ini adalah mengenai momen menentukan dalam sejarah MBBPKT yang inspiratif itu? Oleh karena itu, saya menyimpulkan kalau novel ini sekadar didasarkan pada apa yang pernah dialami MBBPKT. Apalagi pelatihnya bukanlah Rene Conway, melainkan Rene yang identitas gendernya terlambat diungkapkan.





Catatan:

*) Fim 12 Menit Untuk Selamanya yang diproduksi oleh Big Pictures Production direncanakan akan tayang pada 29 Agustus 2013. Film arahan sutradara Hanny R. Saputra ini diramaikan oleh para pemain seperti Olga Lydia, Niniek L. Karim, Hesti Putri, Didi Petet, Verdi Solaiman, dan Noboyuki Suzuki. Sebagai pemeran utama adalah Titi Rajo Bintang -sebelumnya dikenal sebagai Titi Sjuman- yang didapuk menjadi Rene, Amanda Sutanto sebagai Elaine, Hudri sebagai Lahang, dan Arum Sekarwangi sebagai Tara. 




 **) Saat dibentuk, Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT) bernama Marching Band Yayasan Pupuk Kaltim dan berada di bawah Yayasan Pupuk Kaltim. Awalnya, hanya ditujukan untuk pegawai dan anak-anak pegawai PT Pupuk Kaltim. Setelah mengikuti Grand Prix Marching Band (GPMB) pada tahun 1980 membawa nama PT Pupuk Kaltim, namanya menjadi Marching Band Pupuk Kaltim. Pada tahun 2002, diubah menjadi Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT) dan membuka kesempatan bagi masyarakat Bontang untuk menjadi anggota. 

MBBPKT dikenal sebagai grup marching band yang meraih 10 kali juara umum di Grand Prix Marching Band, di mana beberapa di antaranya diraih secara berturut-turut. Rene Conway dan Andrew Dougherty adalah dua pelatih asing yang direkrut oleh PKT untuk melatih MBBPKT hingga memenangkan juara umum pada GPMB tahun 1994, untuk pertama kalinya. Kemenangan ini menepis mitos yang menyatakan bahwa juara umum selalu milik grup marching band asal Jakarta. 

Pada GPMB tahun 1994 itu, MBBPKT membawakan lagu berjudul Nessun Dorma, di mana di dalamnya terdapat kata "Vincerò" yang berarti Saya Akan Menang. Kata itu menjadi penyemangat bagi setiap anggota MBBPKT untuk berlatih dan memenangkan kompetisi. MBBPKT mendapatkan penghargaan internasional yaitu Sudler Shield Award (1998) dan Band of the Year (2001) dari World Association of Marching Show Bands. 


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan