20 May 2012

Lelaki yang Membelah Bulan


Judul buku: Lelaki Yang Membelah Bulan
Pengarang: Noviana Kusumawardhani
Tebal: xiv + 82 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2011
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
                                     





Sebagai koleksi cerpen, Lelaki Yang Membelah Bulan karya Noviana Kusumawardhani tergolong irit. Di dalamnya hanya terdapat delapan cerpen yang lima di antaranya pernah dipublikasikan. Tapi, meskipun hanya delapan cerpen, koleksi ini cukup memberikan pengalaman baca yang mengasyikkan. Karena kedelapan cerpen ini ditulis berdasarkan gagasan simpel tapi imajinatif dengan rangkaian kalimat yang diolah dengan matang dan indah. Dalam cerpen-cerpen ini kita akan menemukan berbagai kisah dalam nuansa melankolis yang disampaikan lewat senja, malam, air mata, dan hujan.

Rongga adalah cerpen pembuka yang langsung menetaskan kesedihan. Di sebuah desa, kesedihan dipandang sebagai kejahatan sehingga tidak boleh dijadikan bahan pembicaraan meskipun serasa hendak memecahkan dada. Ketika penduduk desa membincangkan kesedihan, kerongkongan mereka akan berlubang dengan sendirinya dan mereka tidak akan bisa berbicara lagi. Rongga di kerongkongan ini mesti ditutup untuk mencegah infeksi yang menyebabkan kesakitan yang hebat. Karena itu, setiap kesedihan datang, orang-orang akan menyembunyikan dengan sekuat tenaga. Kemplu, jagoan desa, begitu gencar mengkampanyekan kesedihan sebagai kejahatan besar. Pada waktu keluarganya hilang, ia tertawa gembira dan mengadakan pesta besar.  “Hanya orang-orang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan,” kata Kemplu (hlm. 4). Lalu, setiap senja datang di mana situasi membuat kesedihan tidak tertahankan lagi, Kemplu menghilang di Hutan Gembira yang terletak di ujung desa. Setiap pagi, ia keluar dari sana dengan penuh kegembiraan. Manakala kepala desa memutuskan membabat hutan untuk membuat taman keriaan demi meningkatkan kebahagiaan, Kemplu tidak terima. Apa sebenarnya yang disembunyikan Kemplu di dalam hutan? Sebelum benar-benar memungkas cerpen ini, Noviana menulis: “Berterima kasihlah kepada kesedihan dan air mata, karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna.  Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.“ (hlm. 10).

Setiap senja datang, perempuan dalam cerpen Perempuan Senja menari dengan sangat gembira, dan saking gembiranya, ia pun menangis dengan luar biasa. Tariannya bagaikan afrodisiak yang  menggelitik kehidupan para lelaki yang pada gilirannya akan menghidupkan gairah kehidupan. Kebiasaan menari ini berhenti begitu si perempuan menikahi lelaki yang memberikannya saputangan bersulam sepasang kolibri berwarna ungu. Dengan berhentinya tarian si perempuan, warna-warna di desa berangsur-angsur memudar. Setelah hanya tersisa hitam, putih, dan abu-abu, kebahagiaan menjadi barang langka. Ketidakbahagiaan mencetus kemarahan para warga desa dan mengakibatkan perginya suami si perempuan senja.

Ketika dengan mencintai seseorang kita kehilangan kebebasan, salah satu yang kita lakukan mungkin sama dengan apa yang dilakukan oleh perempuan dalam cerpen Lampion Merah Bergambar Phoenix. “Lampion adalah tanda bahwa tak boleh ada tangan-tangan lain yang melata di atas gairahku,” kata si perempuan pembuat lampion (hlm. 24). Setelah membuat hingga beratus-ratus lampion bagi kekasihnya, ia memutuskan berhenti dan meninggalkan sang kekasih.

Di dalam cerpen Lelaki yang Membelah Bulan ada seorang pelacur berjumpa lelaki dengan separuh tubuh mengeluarkan sinar keemasan. Lelaki ini telah mencoba membelah bulan untuk melihat warna hitam di balik cahaya terangnya. Negeri bulan murka dan merajamnya hingga separuh cahaya bulan ada di tubuh si lelaki. Bertemu dengan pelacur pemilik kedai ini, si lelaki berharap akan mengisi separuh gelap tubuhnya dengan cahaya. Harapan yang sukar diwujudkan si pelacur karena, “Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku,” katanya (hlm. 39).

Cerpen Peti Mati mengisahkan tentang seorang lelaki yang mati dalam kesepian. Sebelum mati, ia berpesan pada ketua RT setempat untuk menguburkannya dalam peti mati. Amanatnya dipatuhi, tapi mayat lelaki itu tidak bisa masuk ke dalam peti mati. Berkali-kali peti diganti, mayatnya selalu memanjang sehingga tidak muat dalam peti. Secara mengejutkan, keberadaan mayat yang tidak bisa dikuburkan itu mendatangkan kemakmuran bagi penduduk desa. Hanya saja, kemakmuran itu diikuti keserakahan yang membuat desa itu mengalami kemunduran sosial yang pada gilirannya menularkan kesedihan si lelaki yang sudah mati. Cuma ada satu jalan berisiko yang akan ditempuh oleh ketua RT untuk menghentikan kondisi ini.

Cinta sejati tidak selalu mesti bersatu. Ungkapan ini terlukis dalam cerpen Penari Hujan. Seorang lelaki ingin menikahi perempuan yang ia cintai, tapi si perempuan masih ingin mengejar mimpi-mimpinya. Meskipun menyatakan kepada si lelaki bahwa cinta yang ia miliki selalu 'adi busana', selalu sejati, tetap ia meninggalkan si lelaki.

“Kekasihku, kematian harus dirayakan. Tertawalah seperti ketika hari kelahiranku disambut dengan suka cita. Bunyikan musik penuh keriaan dan menarilah dalam dentam riang, karena rohku akan kembali pulang. Kesedihan dan air mata tak akan menjadi bukan apa-apa,” tulis seorang pelacur tua kepada kekasihnya yang entah berada di mana dalam cerpen Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati. Saat menulis, pelacur ini memang sudah siap untuk benar-benar mati, yaitu rohnya dilepaskan dari tubuhnya. Ia telah mempersiapkan dirinya dan menunggu kemunculan si pencabut roh. Tapi, si pencabut roh tidak kunjung datang. Mengapa? Noviana memberikan sentuhan humor pada bagian penutup cerpen ini terkait apa yang terjadi pada si pencabut roh. Si pelacur tua yang pernah kehilangan cinta itu pun berkata: “Mungkin sebenarnya aku memang tidak usah mencari ke mana-mana cinta itu, karena rohku adalah cinta itu sendiri.” (hlm. 68)

Koleksi cerpen ini ditutup dengan cerpen berjudul Pemburu Air Mata. Adalah sebuah desa di kaki gunung, luar biasa indah dengan segala sesuatu yang dibuat dari kristal-kristal air mata yang membeku. Jalan-jalan, rumah, bahkan beberapa baju yang dipakai warga dibuat dari pintalan kristal air mata. Memang, kehidupan penduduk desa itu tergantung dari air mata. Semakin banyak seseorang mengeluarkan air mata, maka semakin bahagialah orang itu. Ke mana saja mereka pergi, warga desa selalu membawa botol besar air mineral kosong dan spons. Saat air mata mengucur deras, mereka menyapu dengan spons, dan memeras air mata ke dalam botol. Air mata itu dikumpulkan di sebuah koperasi unit desa untuk diolah menjadi balok-balok kristal air mata sebagai bahan dasar benda apapun yang ada di desa. Namun, kedamaian desa itu terusik dengan kemunculan salah satu warga yang sudah lama merantau dan tidak bisa lagi mengeluarkan air mata. “Air mata hanya untuk perempuan. Lelaki tidak menangis. Karena hanya lelaki pengecut saja yang menangis.” (hlm. 74). Para lelaki yang mendengar perkataannya spontan berhenti mengeluarkan air mata, dan tatkala mereka berhenti mengeluarkan air mata, balok-balok kristal air mata yang dihasilkan menurun kualitasnya. “Air mata pada akhirnya menjadi absurd maknanya, dan para pemburu air mata tak pernah lelah memburunya. Mereka benar-benar  tahu bahwa hidup mereka akan kembali penuh  bila dengan air mata. Ya, karena dari air mata akan lahir tawa,” tulis Noviana (hlm. 78).

Membaca cerpen-cerpen Noviana dalam koleksi ini adalah semacam menikmati perayaan terhadap kesedihan, perpisahan, dan kematian. Hal yang lumrah bila mengingat kehidupan manusia tidak akan pernah steril dari tiga hal itu. Namun, seperti pelangi sehabis hujan, di dalam kesedihan, perpisahan, dan kematian, Noviana juga mengisyaratkan adanya kegembiraan, penerimaan, dan kehidupan dalam semua cerpen yang ditulisnya dalam  genre realisme magis ini. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan