05 May 2012

Sanubari Jakarta


Judul Buku: Sanubari Jakarta
Pengarang: Laila Lele Nurazizah
Tebal: 152  halaman
Cetakan: 1, April 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama







Sanubari Jakarta adalah koleksi cerpen LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) yang diangkat dari film omnibus bertajuk sama. Sepuluh cerita dalam film yang dicerpenkan ini ditulis oleh Laila Nurazizah, penulis  yang baru berusia 21 tahun, dengan berkonsultasi pada dua aktivis LGBT, Dimas Hary dan Sri Agustine. Koleksi ini diterbitkan berbarengan dengan perilisan filmnya. Oleh Laila yang lebih suka dipanggil Lele, buku keduanya ini (sebelumnya ia telah menerbitkan novel berjudul Memorabilia, 2010) adalah kembaran dari versi filmnya. 

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen bertajuk 1/2. Cerpen ini dituturkan oleh Abi, pria gay yang menyukai warna merah biru seperti warna kacamata tiga dimensi. Abi memiliki ketertarikan seksual kepada  Biyan, seorang pria metroseksual. Sayangnya sebagai heteroseksual, Biyan lebih menyukai Anna, seorang perempuan, ketimbang Abi.

Skenario Malam Ini Aku Cantik ditulis berdasarkan cerpen karya Hally Ahmad. Dalam koleksi ini, skenario tersebut dialihkan kembali ke dalam bentuk cerpen. Dari sudut pandang Agus, Lele mengisahkan kehidupan seorang pria yang memiliki istri dan anak di kampung, tapi pada malam hari di Jakarta, demi membiayai hidup keluarganya, menjelma menjadi waria yang melayani pria-pria penyuka hasrat menyimpang. Maka, tak pelak lagi, kita akan mengikuti adegan persetubuhan ala waria dalam cerpen ini. 

Lumba-Lumba –yang menjadi judul cerpen ketiga- adalah hewan yang memiliki perilaku homoseksual. Lele mengumpamakan para karakter dalam cerpen ini sebagai lumba-lumba, baik perempuan maupun laki-laki. Cerpen ini mengingatkan pada kenyataan bahwa terkadang perempuan lesbian atau pria gay memutuskan menikah sekadar membangun rumah tangga demi status sosial. “Lumba-lumba itu hanya simbol yang aku pilih untuk menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan,” kata Adinda. (hlm. 41). Hanya saja, kemunculan istilah lumba-lumba di sini terlalu boros sehingga hampir menyebalkan. Ada Taman Kanak-Kanak Lumba-Lumba tempat Adinda, si perempuan lumba-lumba  menjadi guru dan mengajarkan tentang lumba-lumba. Ada murid-murid yang disuruh menggambar lumba-lumba. Lalu, gara-gara gambar lumba-lumba salah satu murid, yang Adinda sebut ‘baik dan cerdas kayak lumba-lumba’, radar lumba-lumba Adinda bersinggungan dengan radar lumba-lumba Anggya, ibu si murid. Maka, kedua perempuan lumba-lumba ini pun melakukan aktivitas layaknya lumba-lumba. Cape deh. 

Cerpen keempat, Terhubung, mengisahkan kehidupan dua perempuan lesbian yang tidak saling kenal. Secara bergantian menggunakan narator orang pertama (saya dan gue), kita akan mengikuti pergumulan mereka terkait dengan pria. Kartika dijodohkan orangtua dengan pria mentereng nan tampan, sedangkan Agatha terus-menerus ditinggalkan kekasih lesbiannya yang menikahi pria. Dengan alasan adanya ‘firasat’, Lele mempertemukan kedua lesbian yang tidak saling kenal ini ketika secara bersamaan keduanya hendak membeli bra. Kalimat menggoda dilemparkan Lele pada bagian penutup: “Memangnya salah jika jenis manusia yang memakai bra juga tertarik pada manusia yang memakai bra?” (hlm. 63).

Dalam cerpen Kentang dikisahkan bahwa setelah sebulan tidak bertemu (entah karena apa), pasangan gay, Marcel dan Drajat, hendak bercinta di kamar kos Drajat. Tapi, aktivitas mereka terpotong dan tidak bisa dituntaskan lantaran seperti sudah diatur saja, gangguan datang menyelip. Tidak bisa dihindari lagi, Marcel pun bete abis. Dan saking jengkelnya, meluncurlah dari mulutnya serangkaian kalimat vulgar pemicu tawa. Marcel kian dongkol dengan kenyataan Drajat yang masih tidak terbuka kepada orangtuanya soal hubungan mereka. 

Menunggu Warna dituturkan dari perspektif Satria, seorang pekerja pabrik yang tertarik kepada pekerja pabrik lain bernama Adam. Sebenarnya, Lele tidak perlu mengumumkan kepada pembaca bahwa: “judul cerita kadang tak menceritakan cerita secara langsung.” (hlm. 81). Biarlah pembaca yang merasakannya sendiri. Lele juga tidak perlu menyebut-nyebut cerita Satria sebagai ‘sebuah cerita yang dirancang bak dongeng kaum minoritas’, karena hal ini membosankan. 

Berseting sebuah kamar motel, Lele menggulirkan cerpen bertajuk Pembalut. Perempuan, sekalipun lesbian, tetap tidak bisa menolak menstruasi. Padahal menstruasi akan mengganggu aktivitas seksual. Tidak heran ketika pasangannya sedang menstruasi, seorang lesbian bisa uring-uringan. Seperti yang dialami Theresia, salah satu perempuan dalam kamar motel. Bianca, kekasihnya, sedang menstruasi. Maka pertengkaran pun terpicu dengan cara yang sama manakala sehabis tidur bersama bra tertukar atau ketika stok pembalut habis. Bianca sendiri tak kurang uring-uringannya karena Theresia akan menikahi seorang pria yang ia sebut bajingan. Pertengkaran mereka kian meruncing dengan kehadiran Liona, perempuan lain, di kamar motel itu. Cerpen ditutup dengan adegan yang bakal membuat kita tersenyum-senyum. 

Sebuah cerpen yang tidak menyenggol permasalahan LGBT muncul di luar dugaan. Topeng Srikandi memang berkisah tentang seorang perempuan yang lebih suka menjadi seperti ayahnya ketimbang ibunya, tapi tidak disebutkan kalau ia seorang lesbian atau biseksual. Enam bulan setelah dipecat dari pekerjaan di sebuah kantor yang didominasi kaum pria, ia kembali dengan kemasan baru: laki-laki. Awalnya, ada dugaaan kalau Srikandi hendak membalas dendam. Ternyata, ia hanya mau menunjukkan dirinya bahwa dialah sebenarnya Srikandi yang dipecat. 

Dua cerpen terakhir bertemakan transgender. Untuk A berkisah tentang seorang pria bernama Ari yang menulis surat kepada perempuan bernama Arina. Arina adalah perempuan lesbian yang pernah jatuh cinta pada seorang gadis dan mengalami penolakan. Sedangkan Kotak Cokelat bercerita tentang Reuben, pria tampan yang mencintai Mia, seorang desainer. “Life was like a box of chocolates, you never know what you’re gonna get,” demikian yang dikatakan sang ibu kepada putranya dalan film Forest Gump (1994: disutradarai Robert Zemeckis dengan pemeran utama Tom Hanks). Maka, ketika Reuben akhirnya membuka sebuah kotak cokelat, ia menemukan kenyataan yang akan menguji sejauh mana cintanya pada Mia. Lele menulis: “Adakah yang lebih penting dan lebih baik dari sebuah cinta?” (hlm. 133).

Sebenarnya, pada umumnya, cerita dalam cerpen-cerpen di sini terbilang menarik. Memang, kalau bukan lesbian, gay, tentu saja para karakter adalah biseksual atau transgender. Tapi tetap saja, keputusan mengungkapkan orientasi seksual karakter pada beberapa cerita yang terlalu cepat bukanlah hal yang bijak. Karena, begitu orientasi seksual mereka tersingkap, cerita menjadi datar dan kehilangan daya tarik. Hal ini terlihat dalam cerpen 1/2, Lumba-Lumba, Menunggu Warna, Untuk A, dan Kotak Cokelat. Lele seharusnya mempertimbangkan dengan tepat kapan membuat pembaca tercengang. Kelemahan Lele dalam mengendalikan cerita seperti ini kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakbisaannya memahami dengan baik perbedaan sebuah karya berbentuk film dan buku. Bahasa gambar dan bahasa tulisan akan dicerna dengan cara yang tidak sama oleh para penikmatnya.
 
Kesan yang tertangkap jelas dari pembacaan koleksi cerpen ini adalah semua cerpen ditulis dengan kesetiaan nyaris penuh pada isi skenario. Hal ini terasa sekali pada cara Lele membuka cerita dan menggulirkannya. Meskipun Lele menambah-nambahkan rangkaian kalimat, bahkan bereksperimen dalam POV, ia tidak mampu melepaskan keterikatannya pada skenario yang notabene merupakan hasil karyanya. Kesetiaan pada skenario semacam ini kontan menghasilkan cerpen-cerpen dengan efek yang langsung tumpul sebelum menghantam benak pembaca. 

Terlepas dari kelemahan yang ada, Laila Nurazizah telah berhasil menambah perbendaharaan fiksi LGBTdalam dunia buku Indonesia. 





 
                                   
Sutradara

1/2  - Tika Pramesti
Malam Ini Aku Cantik - Dinda Kanyadewi
Lumba-Lumba - Lola Amaria
Terhubung - Alfrits John Roberts
Kentang - Aline Jusria
Menunggu Warna - Adriyanto Waskito Dewo
Pembalut - Billy Christian
Topeng Srikandi - Kirana Larasati
Untuk A - Fira Sofiana
Kotak Cokelat - Sim F


Sumber gambar: di sini 

2 comments:

Pengakuan Gay Indonesia said... Reply Comment

SETIA... mungkin dalam gay sulit untuk hal 1 ini. tapi bukan hal mustahil. pencarian gay kebanyakan memang identik dg Sex. bukan seorang gay dak punya hati, tapi separuh dari mereka, harus bilang lelah banyak bilang cinta, selalu b'akhir kecewa!
banyak sekali, dari mereka meniatkan pacaran, kalo dihitung hari paling juga cuma bertahan 2-3bulan saja. kenapa? intinya keinginan awal dari seseorang itu adalah sekedar tuk melampiaskan sex! bukan kebutuhan hati...
jadi saatnya peka membedakan & menilai dari seseorang yg akan menjadi calon pasangan anda. jangan terlena liat fisik & omongannya!
jujur dari saya sendiri, sempat menjalani hubungan 3tahun. & kalaupun memang sama2 suka & sayang, itu berasa. tidak akan timpang dalam perhatian. tidak perlu harus mengejar & dikejar. pasti saling! walaupun itu terjadi Long-distance. tapi ada rasa bangga kita merasa bisa dicintai orang, tanpa harus mengeluarkan rupiah!
dia seorang duda!
*
tapi sekarang sudah putus sih, sedang cari2 lagi. yg berbobot lah omongannya!
& saya mengakui jika saya kurang tertarik tuk menjalin hubungan dengan mereka yg usia dibawah saya (ABG/Brondong). saya menyukai sosok pria dewasa!
mereka jauh lebih bisa buat adem suasana hati...
I'm 27yo +62856 64600 785

Jody said... Reply Comment

@indonesia gay pulau:
Terima kasih sudah berkunjung :)

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan