12 February 2012

Maryamah Karpov


Judul Buku : Maryamah Karpov (Mimpi-mimpi Lintang)
Penulis: Andrea Hirata

Penyunting: Imam Risdiyanto

Tebal: xii + 504 hlm; 20,5 cm
 
Cetakan: 1, November 2008
Penerbit: Bentang
 


Perjuangan Cinta Lelaki Berwajah Dangdut




Dalam tulisan Andrea Hirata : Out of the Blue (Diphie Kuron, Edensor, hlm. 287), disebutkan jika Maryamah Karpov, buku keempat dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata "berkisah tentang perempuan dari satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini". Pernyataan ini menciptakan sejumlah dugaan dalam benak saya ihwal isi novel pamungkas karya penulis kelahiran Belitong ini. Dengan judul Maryamah Karpov berilustrasi seorang perempuan sedang bermain biola pada sampul yang sudah diperkenalkan jauh sebelum novel terbit, saya menduga buku keempat ini akan berkisah tentang seorang perempuan Belitong yang sukses mendunia karena kepiawaiannya memainkan dawai biola. Ternyata saya keliru. Tidak ada permainan biola kelas internasional seperti Vanessa Mae atau Lucia Micarelli (yang sering tampil dalam konser Josh Groban). Bahkan, tidak ada kisah tentang Maryamah Karpov selain sekedar disinggung sedikit saja. Apa yang ditulis Diphie Kuron juga tidak ada gaungnya dalam novel ini. 
 
Tetapi baiklah, saya akan menulis garis besar novel ini. Ada 73 mozaik yang menjadi isi buku. Katanya, Andrea menggunakan istilah mozaik (dan bukan 'bab' sebagaimana novel pertama) dengan alasan "ternyata perjalanan nasib seseorang tak ubahnya seperti ekstrapolasi potongan-potongan mozaik" (Sang Pemimpi : 276). Tujuh puluh tiga mozaik itu menjadi dua bagian yang diantarai judul "Seminggu Berselang" (yang sesungguhnya tidak perlu mengingat novel ini menggunakan alur kilas balik). Penulis mengawali novelnya dengan kisah kenaikan pangkat sang ayah sebagai kuli Maskapai Timah yang dibatalkan. Oleh Orang Melayu Dalam peristiwa ini disebut sebagai 'cobaan nan tak tertanggungkan'. Apa yang dialami sang ayah, kemudian, disejajarkan Ikal dengan apa yang ia alami bertahun-tahun kemudian. Boleh dibilang, bagian ini merupakan prolog dari novel ini. 
 
Setelah kenangan akan peristiwa naik pangkat dan sebuah ruang pucat, Ikal menerawang ke masa-masa sebelumnya. Ia lulus kuliah dari sebuah universitas bergengsi di Eropa, Sorbonne (tadinya saya kira Ikal lulus di Inggris karena dalam buku ketiga Edensor, disebutkan Ikal ikut exchange program di Sheffield Hallam University karena Profesor Turnbull, supervisor tesis Ikal pensiun dan pulang kampung, tetapi ternyata si prof muncul juga di ruang ujian tesis Ikal di Sorbonne). Tanpa pekerjaan yang pasti, Ikal , si wajah dangdut, kembali ke Belitong dengan perasaan rindu dan masih setia memikirkan A Ling, cinta pertamanya. Bersamaan dengan kedatangan Ikal, kampung Ikal mendapatkan seorang dokter gigi, Budi Ardiaz. Budi Ardiaz datang untuk menyilih tata cara perdukunan gigi yang sampai saat itu dipegang teguh masyarakat Belitong di kampung Ikal. 
 
Untuk membuat kehadiran Budi Ardiaz dalam novel bermakna, Ikal pun menderita sakit gigi. Ikal, yang lulusan luar negeri, ternyata tidak mau menjadi pasien dokter gigi yang berkalung stetoskop (hlm. 462) ini gara-gara trauma masa kecil yang tidak ada hubungannya dengan dokter gigi. Di tengah-tengah upaya Ketua Karmun, kepala kampung, untuk mendorong Ikal berobat ke klinik gigi, mendadak ditemukan mayat-mayat di perairan Belitong. Salah satu mayat, seorang lelaki dengan tato kupu-kupu, tato yang sama dengan yang dimiliki A Ling. Setelah ditelusuri, diduga mereka adalah korban perompak penguasa Kepulauan Batuan. Korban-korban tersebut adalah para pelintas batas yang hendak menyeberang ke Singapura. 
 
Maka, Ikal bertekad mencari A Ling. Ia yakin, seperti mayat berajah itu, perempuan kecintaanya yang pernah dilacaknya hingga Siberia berada di Kepulauan Batuan (Apakah A Ling, yang dalam buku pertama, disebutkan pergi ke Jakarta untuk tinggal dengan bibinya yang hidup sendiri dan sekolah di sana kembali ke Belitong? Mungkin). Tetapi, untuk menjejak Batuan, mau tidak mau Ikal mesti berhadapan dengan pemimpin perompak penguasa Kepulauan Batuan, Tambok. Salah-salah, ia jadi mayat terapung seperti yang lain. Untuk itu, ia harus terlebih dahulu minta bantuan Tuk Bayan Tula, penguasa Selat Karimata dan Dayang Kaw, ketua tertinggi kaum lanun (bajak laut). Mereka bisa menjadi perantara Ikal bertemu Tambok. 
 
Tidak ada pelaut dan pemilik perahu yang mau menolong Ikal mencapai Kepulauan Batuan. Padahal Ikal butuh perahu dan ia tidak cukup berduit untuk bisa membeli perahu. Jalan satu-satunya adalah membuat perahu sendiri. Teman-temannya tidak tinggal diam, terutama Lintang dan Mahar. Mereka membantu Ikal memberi gagasan untuk pembuatan perahu. Hingga akhirnya, seperti Nabi Nuh, setelah melewati berbagai kesulitan dari hinaan-hinaan dari pihak tertentu, jadilah perahu Ikal yang diberi nama Mimpi-mimpi Lintang, untuk menghormati sang sahabat. 
 
Lalu, dimulailah perjalanan Mimpi-mimpi Lintang menuju Kepulauan Batuan. Perjalanan yang tidak gampang karena alam tidak segera bersepakat mempermulus upaya Ikal. Selain itu perjalanan ini dibayang-bayangi ketakutan akan para bajak laut yang bisa dengan mudah merenggut nyawa Ikal dan tiga rekan perjalanannya: Mahar, Kalimut, dan Chung Fa. 
 
Apakah Ikal bisa menjejak Kepulauan Batuan? Lantas, benarkah A Ling ada di sana? Pertanyaan-pertanyaan ini, tentu saja, akan terjawab dengan membaca tuntas seluruh novel ini. 
 
Seperti novel yang lain, Andrea menunjukkan kemampuannya mengolah kalimat. Banyak rangkaian kalimat yang dipadu dengan indah sehingga sedap dibaca. Cara Andrea menuangkan panorama alam ke dalam tulisan juga terasa sangat imajinatif. Hanya, tentu saja, pernyataan "kita akan merasakan betapa setiap kalimat yang diciptakan memiliki kekuatannya sendiri" (sampul belakang) terlalu berlebihan. 
 
Andrea masih menjual kisah-kisah mengharukan dalam novel ini. Mungkin, kisah sejenis adalah kekuatannya dan sering kali memang menyentuh hati pembaca. Namun, kian lama membaca, kian terasa berlebihan. Banyak kebiasaan masyarakat Belitong yang diangkatnya ke permukaan dengan kesan mengejek diri sendiri yang kentara, bermaksud menciptakan kelucuan, yang sayangnya terasa konyol. Pemberian julukan yang antara lain disebabkan pengalaman yang punya nama menjadi upaya melucu yang tidak enak dibaca karena terkesan tidak edukatif (mengingat tetralogi ini sering dikait-kaitkan dengan dunia pendidikan). Ikal, memang julukan yang tidak cukup memalukan bagi Andrea. Tetapi kalau Andrea Pembual? Ah, sungguh tidak enak didengar. Kalau Anda bertanya mengapa saya sebut Pembual, Anda bisa menemukan tradisi membual Orang Melayu Dalam (Andrea tentu saja termasuk di dalamnya) yang imajinatif (Mozaik 22 : Juru Muda Pompa). Pada banyak hal yang dibeberkan (seperti kebiasaan tertentu masyarakat Belitong, taruhan bola pingpong A Ngong dan A Tong, seluk beluk pembuatan perahu dan kecerdasan ilmu perahu Lintang serta permainan biola Ikal) , memang aroma membual terasa cukup menyengat. Andrea bak malihrupa Zainul "Helikopter" Arifin. 
 
Setelah sebelumnya menghasilkan 3 novel, Andrea masih termasuk penulis yang kurang cermat. Imam Risdiyanto, yang telah menyunting novel Andrea sejak buku kedua, Sang Pemimpi (buku pertama disunting oleh Suhindrati A. Shinta) juga masih kurang berdaya menghadirkan novel Andrea dengan suntingan yang amboi. Tugas seorang penyunting seharusnya tidak hanya menyiangi kalimat-kalimat yang dirangkai sang penulis, tetapi juga mempertimbangkan kelogisan dan konsistensi cerita. Yang bikin saya heran, pada halaman 258 (baik penulis maupun editor) bisa lalai hanya pada 1 (satu) halaman dan 2 (dua) alinea berturutan. Mana mungkin tinggi badan Harun, Ikal, dan Syahdan di kelas 3 SMP lebih pendek dari saat mereka kelas 2? Konyol kan?

Mengenai teman-temannya anggota Laskar Pelangi di halaman 268 (Mozaik 43: Rencana-rencana C), Andrea Ikal menulis: "Ajaib, mereka tak pernah ke mana-mana, tak pernah meninggalkan sudut bumi di pulau terpencil ini, tapi menemukan semua yang mereka cari". Sebuah inkonsistensi lagi. Sebab, dalam Laskar Pelangi (hlm. 492), disebutkan, Ikal, Syahdan, dan Kucai pergi ke Jawa (dalam Sang Pemimpi terjadi inkonsistensi juga, dikisahkan (hanya) Ikal dan Arai yang pergi ke Jawa). Dalam Laskar Pelangi (Bab 32: Agnostik) juga dikisahkan Syahdan pergi ke Jakarta selepas SMA. Ia pernah menjadi aktor figuran, kemudian berpindah profesi ke bidang komputer dan bekerja di Tangerang (jadi, ia bukan tak pernah ke mana-mana kan? Malah aneh sekali kalau mendadak ia meninggalkan pekerjaan dan hadir memberi dukungan moril). Masih tentang Syahdan. Dalam Maryamah Karpov ini, Syahdan mendadak muncul di hadapan Ikal. Disebutkan 1 kali dalam mozaik 40 (Perahu Asteroid), ditulis 3 kali dalam deskripsi pada mozaik 41 (Tiang Keramat) dan tidak pernah disebutkan lagi, bahkan pada mozaik 43 (Rencana-rencana C) ketika dengan singkat Ikal membahas teman-temannya. Sungguh janggal! 
 
Novel ini juga masih memunculkan nama A Kiong. Padahal dalam Laskar Pelangi A Kiong telah memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman dan disebutkan jika "A Kiong tinggal sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yan gelap" (Laskar Pelangi : 465). Masih soal A Kiong. Dalam Laskar Pelangi (hlm. 466) disebutkan jika ia menikah dengan Sahara, punya anak lima dan toko kelontong tempat sahabatnya, Samson, bekerja sebagai kuli. Tetapi, dalam novel keempat ini, A Kiong sama sekali bukan suami Sahara. A Kiong (hlm. 266) disebutkan membuka warung kopi di pasar ikan dan Sahara (hlm. 267) telah mapan, bahagia dengan suami dan anak-anak. Yang bukan A Kiong (meski tidak disebutkan namanya). 
 
Tentang Mahar juga. Dia sekarang adalah dukun kepada siapa A Kiong mengabdi. Sungguh menggelikan jika mengenang (baca: membaca) perjalanan hidup Mahar dalam buku pertama. Mahar dalam Laskar Pelangi adalah seorang pengajar, penulis artikel kebudayaan, organisator berbagai kegiatan budaya, pelatih beruk pemetik kelapa, kemudian novelis yang membuat Syahdan cuti kerja, meninggalkan Bandung (bukan Tangerang) dan pulang ke Belitong untuk menjadi panelis pada peluncuran novel Mahar. Eh, kok dalam buku keempat ini Mahar malah jadi dukun, pengagum setia Tuk Bayan Tula pula. Apa kata dunia? Bagaimana ini, Kak Andrea? Katamu dalam Sang Pemimpi kamu menulis memoar? (Sang Pemimpi: 275) Bagaimana mungkin memoarmu tidak konsisten? Mungkin, seperti katamu (Sang Pemimpi: 273), kau "bukan Truman Capote yang mampu melihat intelegensia pada setiap gelembung peristiwa lalu menulis dengan presisi yang mengagumkan". 
 
Judul novel yang tidak mencerminkan isi novel patut dipertanyakan, Kawan. Kenapa harus diberi tajuk Maryamah Karpov? Judul ini memang telah dimunculkan sejak buku kedua, Sang Pemimpi. Dalam "Ucapan Terima Kasih", Andrea menyinggung Maryamah Karpov sebagai novel terakhir yang membahas 'tentang penghormatan kepada kaum perempuan' (Sang Pemimpi: 277). Tetapi setelah saya kelar mengais-ngais isi buku ini, saya tidak menemukan 'penghormatan' yang dimaksud. Andrea sekadar menyentil sedikit Mak Cik Maryamah yang sering mengajari orang langkah-langkah catur Karpov di warung kopi (hlm. 240). Mungkin, kadung sudah diumumkan judul buku keempat, padahal ceritanya belum usai ditulis, maka judul ini tetap dipertahankan dan diberi sub judul Mimpi-mimpi Lintang. Apa hubungannya Maryamah Karpov dengan Mimpi-mimpi Lintang? Tidak ada! Dan terus terang, sub judulnya lebih tepat dibanding judulnya! 
 
Akhirnya, menurut saya, dengan novel pamungkas ini, tetralogi Laskar Pelangi tidak hanya menjual keberanian bermimpi untuk meraih cita-cita akademis, tetapi juga keberanian untuk memperjuangkan orang yang dicintai. Hanya, akankah cinta Ikal kepada A Ling dikukuhkan dalam ikatan pernikahan seperti cinta Arai kepada Zakiah Nurmala? Ekspresi ayah Ikal yang akan memutuskan.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan