Judul Buku:  Tuhan Jangan Pisahkan Kami
Pengarang:  Damien Dematra
Tebal: 238  hlm; 14  x 21 cm
Cetakan: 1, Januari 2010
Penerbit:  Gramedia Pustaka Utama
Sebagai penghargaan atas perjuangan para penderita lupus yang dikenalnya, Damien Dematra menulis novel yang diberi judul Tuhan Jangan Pisahkan Kami. Ia mempersembahkan novel ini kepada Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia, dan semua odapus (orang yang hidup dengan lupus) di Indonesia. Harapan mulia Damien karyanya ini bisa mengangkat kesadaran masyarakat tentang penyakit lupus sekaligus memberikan semangat pada penderitanya untuk meyakini bahwa lupus bukanlah akhir dari kehidupan. Menurut pengakuannya, ia tersentuh dan terinspirasi oleh cinta seorang teman kepada istrinya yang meninggal setelah berjuang melawan lupus. Dalam proses kreatifnya, setelah riset selama satu bulan, novel ini bisa diselesaikan dalam waktu empat hari pada akhir tahun 2009, sekaligus dengan skenario filmnya. Wow!
Tanpa  asmara,  kisah (fiksi) perjuangan melawan penyakit apa pun tidak akan  menarik untuk  disimak. Maka Damien menciptakan kisah asmara seorang  gadis penderita lupus  dengan seorang pria –yang bukan pria biasa. Sang  pria bernama Zahir Amara, berasal  dari keluarga kaya tapi tidak akur.  Latar belakangnya sebagai anak keluarga  kaya dan arsitek lulusan New  York membuat Zahir menjadi incaran banyak wanita.  Mereka tidak tahu,  Zahir tidak pernah merasa bahagia terlahir sebagai anak  seorang arsitek  sekaligus pengusaha (atau  konsultan manajemen?)  bernama Pramana Widogdo Amara dan perempuan gemar  bergaya bernama  Aryanti Amanda. Mereka tidak tahu, sepanjang hidupnya Zahir berjuang   untuk mencintai ayahnya yang sering melakukan tindakan kekerasan padanya  di  masa kecil. 
Zahir   mengenal Prasasti Alanis, perempuan yang berhasil memikat hatinya  ketika  menjemput adiknya, Kersen, di planetarium sebuah pusat budaya.  Sasti adalah  pekerja planetarium yang mengambil kerja ganda sebagai  penyobek karcis bioskop  di lokasi sama. Perempuan berparas indah dan  berpenampilan sederhana ini yatim  piatu. Ia tinggal di sebuah tempat  kos dan sedang mengumpul uang agar bisa  melanjutkan kuliah untuk  mewujudkan cita-cita menjadi penulis atau wartawan. Hingga  dewasa dan  hidup mandiri, Sasti tidak pernah bisa melupakan mendiang ibunya,   Karina Maharani, yang meninggal sebagai pecandu heroin. Saat bertemu  Zahir, ia  sedang menjadi obsesi cinta supervisornya di planetarium,  Salman Saputra,  seorang astronom. Tapi, ia tidak bisa menyukai Salman  lebih dari sekadar teman  baik.  Sepanjang usia dewasanya, Sasti  belum pernah jatuh cinta dan pacaran. 
Pertemuan  Zahir dan Sasti  yang  kedua terjadi di  kelas melukis. Untuk menambah penghasilan, Sasti  melamar menjadi model lukis.  Zahir, kebetulan, sedang belajar melukis  di kelas bersangkutan. Tidak bisa  dielakkan lagi, cinta tumbuh di  antara mereka. Sikap Zahir yang blakblakan  membuat Sasti dengan mudah  bisa menerima Zahir. Sayangnya, cinta mereka tidak  berlangsung mudah.  Tidak hanya menghadapi kecemburuan Salman, mereka juga mesti  menghadapi  penyakit yang secara berangsur merampas kejelitaan Sasti. 
Ketika  Sasti  dipaksa menerima vonis sebagai penderita lupus, penyakit  autoimun yang  disebabkan karena kelebihan antibodi, sesungguhnya Zahir  tidak ingin  meninggalkannya.  Tapi, karena Salman   merasa dirinya yang paling layak merawat Sasti, dalam kebimbangan,  Zahir  mencoba mundur. Apalagi, secara mendadak, Zahir dijodohkan dengan  Marsha,  perempuan pilihan keluarga. Zahir tak menduga, tindakan  mundurnya membuat Sasti  mempersiapkan mental untuk hidup bersama  Salman.
Novel  ini bagaikan  terbagi ke dalam dua bagian dengan konflik yang berbeda.  'Bagian pertama'  berakhir saat Salman meninggal setelah sebelumnya  sempat bertengkar dengan  Sasti. Pada 'bagian kedua', Zahir yang telah  kehilangan pesaing, harus  memperjuangkan cintanya terhadap konfrontasi  orangtuanya. Ia tidak peduli  seandainya karena tekadnya ia didepak  ayahnya. Ia ingin hidup dekat dengan Sasti,  menolong kekasihnya  berdamai dengan hati, pikiran, tubuh,Tuhan, dan lupus. 
'Bagian   pertama' memang bukan bagian yang paling menarik. Meskipun bermodal  kebetulan  demi kebetulan, Damien mampu memberikan sengatan yang  signifikan pada 'bagian  kedua'. Ia memulai dengan memperkenalkan Sasti  ke dalam lingkup pergaulan  keluarga Zahir, lalu membeberkan kenyataan  demi kenyataan yang menghubungkan  kehidupan Sasti dan Zahir, dalam  dunia yang mendadak menyempit. Di dalamnya  terdapat perkelindanan 4  kisah cinta di masa lalu yang diwarnai pengkhianatan,  kekerasan dalam  rumah tangga, perselingkuhan, kebohongan, kasih tak sampai, dan  cinta yang tidak melapuk oleh perjalanan waktu. 
Pada  saat 'bagian  kedua' hampir berakhir, Damien menukik pada perjuangan  paling menentukan dalam  kehidupan Sasti, bagian yang menjadi inspirasi  sentral ditulisnya novelnya ini.  Dokter sudah mengatakan Sasti tetap  bisa normal kendati mengidap lupus.  Manajemen stres, olahraga teratur,  makanan yang seimbang, dan menghindari paparan  sinar matahari, akan  membantu menjaga kesehatannya. Namun ternyata, Sasti tidak  sepenuhnya  bisa melaksanakan kepatuhannya pada nasihat dokter. "Tuhan jangan   pisahkan kami," menjadi doa orang-orang yang mencintainya kala  menyaksikan  penderitaannya. Sanggupkah doa ini memulangkan Sasti dari  ketidaksadarannya? 
Novel Tuhan  Jangan Pisahkan Kami bergulir dalam alur yang tidak sukar  ditebak. Begitu  mulai masuk dalam konflik, niscaya pembaca sudah  memahami tujuan pengarang akan  mengarahkan ceritanya. Hampir klise,  namun tidak sempat terpuruk sebagai bacaan  yang mengecewakan –di luar  niat luhur Damien untuk mengedukasi masyarakat  tentang lupus. 
Kelebihannya,   Damien adalah penulis yang bisa mengalirkan cerita ke dalam plot  dengan lancar.  Ia menyertai narasinya dengan banyak dialog yang lincah  dan segar khas anak  muda. Sedikit terpeleset ketika Aryanti, ibu Zahir,  mengatakan "please, deh" (hlm.  118) kepada anaknya. Duh, yang benar  saja! 
Tampaknya   Damien tidak cukup andal dalam mendeskripsikan keindahan alam,  karenanya, sebenarnya,  ia tidak usah memaksakan diri. Terasa  menggelikan saat ia menulis: "Ia merebahkan diri dan menatap  langit biru.  Awan putih menggantung lembut di udara, dan sang angin  mempermainkannya,  menerbangkannya ke kiri dan kanan, bergoyang,  melambai, menari." (hlm.  139).  Untuk ini, saya ikut-ikutan bilang:  "please, deh!"


0 comments:
Post a Comment