12 February 2012

Oz



Judul: Oz
Penulis: Stefani Hid
Penyunting: A. Ariobimo Nusantara
Tebal: 136 hlm; 14 x 20 cm
Cetakan: 1, 2008
Penerbit: PT Grasindo
 




Nama Stefani Hid(ayat) mulai dikenal di dunia perbukuan Indonesia ketika ia menerbitkan novel perdananya yang bertajuk Bukan Saya, Tapi Mereka Yang Gila! (Katakita, 2004). Pada usia yang belum genap 19 tahun, jangkauan temanya telah melampaui penulis-penulis sebayanya yang masih berkisar pada cinta remaja yang stereotipikal (TeenLit). Dengan berani Stefani memilih menyasarkan bukunya kepada pembaca dewasa. Pada tahun yang sama, masih dengan penerbit yang sama, Stefani menerbitkan novel keduanya, Soulmate. Dalam novel yang ditulis dengan ritme cerpen ini, ia kian mempertegas kegemarannya pada tema pergumulan hidup (termasuk cinta) orang dewasa. Lalu pada tahun 2006, melalui penerbit Grasindo, ia menerbitkan novel ketiganya, masih bertema dewasa, Cerita Dante.

Menyusul novel ketiganya, Stefani menerbitkan antologi cerpennya yang dibuhul dengan judul bak pertautan dua unsur kimia, Oz. Di dalam buku dengan sampul berlatar warna hitam pekat ini pembaca akan  menemukan sembilan cerpen, salah satunya belum pernah dipublikasikan. Sekali lagi Stefani menunjukkan minatnya pada hal-hal yang tidak jamak: manusia-manusia dewasa dengan keterlukaan, ketidaksempurnaan, dan ketidakbahagiaan. Seolah-olah untuk menegaskan seleranya, pada sampul depan tersemat kalimat: 9 Stories Untuk Pembaca Dewasa

Oz – dalam cerpen yang judulnya dijadikan judul antologi cerpen- adalah lelaki genius dengan kemahiran memotong saluran oviduk para perempuan kaya yang tidak menginginkan anak. Suatu hari, Judas Nash datang mencarinya dengan harapan Oz akan membuatnya mengenal dirinya sendiri. Kedatangan Judas Nash ternyata akan menyingkapkan jati diri Oz yang sesungguhnya.

Mars dalam cerpen Mars dilahirkan dalam keluarga di mana child abuse merupakan hal yang lumrah. Bayangkan, pada masa kecilnya, ibu Mars memaksa Mars menyetubuhi seekor ikan kakap. Dalam pertumbuhannya, Mars menyaksikan kejadian miris menimpa Pluto, adiknya. Kedua orangtuanya menista Pluto: mengikat dan mencoba menghanguskannya. Di kemudian hari, Mars memilih sebuah profesi yang diyakininya bisa mencegah kelahiran anak-anak malang seperti Pluto.

Dalam Penghuni Kepalaku Stefani menghadirkan perempuan tanpa nama yang dalam kegelisahannya ngebut di jalanan di ambang subuh. Benak perempuan itu terus-menerus berdenyut mempertanyakan eksistensi dirinya. Lambat laun sebab-musabab kegelisahannya diurai. Ia telah muak dengan deviasi seks yang dilakukan suaminya; maka ia mengurung suaminya di bagasi mobil. Ia merasa dirinya najis sebagai konsumen adiktif obat-obat penenang dan stimulan, minuman keras, dan rokok. Ia mengakui jika kegelisahannya dipertebal oleh koleksi dosa yang pernah ia lakukan.

Solitude merupakan racauan seorang dokter kandungan sinting yang baru membunuh anjingnya. Pembaca dibingungkan oleh nyaris semua yang ia sampaikan. Tapi yang jelas, ia sangat mumpuni dalam melakukan aborsi karena begitu eksplisit menjelaskan proses aborsi. Stefani menunjukkan ketidakberjarakannya dengan dunia medis dan malapraktik yang kerap terjadi. Coba simak uraiannya mengenai proses penguretan rahim:

Saya suruh perempuan itu kencing beberapa kali dengan kateter melalui ureter untuk mengosongkan kandung kemihnya. Saya sterilkan vaginanya dengan cairan antiseptik. Saya ambil sonde, memasukkannya ke liang vagina untuk mengetahui ukuran kedalaman rahim. Saya sterilkan juga rahimnya. Lalu saya ambil kocker, menjepit leher rahim bagian atas dan menariknya keluar agar terlihat. Saya masukkan lagi sonde kedua kalinya, mengukur panjang rahim. Kemudian saya masukkan cunan abortus untuk mengeluarkan bagian janin yang besar, saya putar 360 derajat, searah jarum jam. Bagian besar janin, termasuk plasenta, terangkat sudah. Selanjutnya saya masukkan kuret tajam untuk mengeruk bagian-bagian kecil yang masih menempel di dinding rahim (Solitude: 45 -46).

Jujur saja, saya tidak bisa menikmati semua cerpen dalam antologi cerpen ini. Dari sembilan cerpen yang ada, hanya Oz, Mars, dan Solitude yang bisa saya nikmati. Saya kurang bisa menikmati Litost, kisah seorang lelaki pemabuk dan pecandu, manusia kesepian yang bingung dengan eksistensi Tuhan. Jamais Vu, yang mengalirkan mimpi seorang penulis cerita-cerita muram tentang ahli kesehatan jiwa yang bertemu orang gila di sebuah gubuk di hutan pinus. Mungkin karena mengidap jamais vu (semacam distorsi ingatan yang parah) ia sampai kehilangan jejak waktu. Baru saja mengatakan pertemuannya dengan seseorang minggu yang lalu (hlm. 66) berikutnya sudah mengatakan telah 24 hari tak melihat manusia (hlm. 67). Majenun, cerpen yang membeberkan ikhwal perempuan korban KDRT dan memutuskan pensiun sebagai  parasit laki-laki. Dan Awan, cerpen yang mengisahkan tentang perempuan bernama Awan, penggemar  halusinogen yang lebih suka menciptakan imajinasi ketimbang menghadapi realitas.

Setelah membaca cerpen-cerpen yang memicu kebosanan –seolah-olah sengaja ditulis dengan kecenderungan dibikin susah, saya mengira akan terpesona kembali dengan cerpen pamungkas, Kereta Hitam Biru. Idenya menarik, kisah dari perspektif empat orang yang (pernah) berada dalam satu kereta yang mengalami kecelakaan. Dua di antaranya langsung tewas, dan sisanya hidup dibayang-bayangi maut. Ekspektasi saya kandas dengan akhir kisah yang biasa-biasa saja karena tidak digarap dengan baik.

Secara keseluruhan, cerpen-cerpen dalam antologi cerpen ini terasa berjarak. Rasanya tidak mudah bagi pembaca untuk menjumpai jelmaan karakter-karakter ciptaan Stefani di dunia nyata. Mungkin itulah yang menjadi sebab, Stefani lebih memilih dunia Barat, di mana segala sesuatu seakan-akan bisa terjadi.

Stefani Hid ternyata lebih mengesankan ketika menulis novel ketimbang cerpen.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan