12 February 2012

Rahasia Selma



Judul Buku: Rahasia Selma
Pengarang: Linda Christanty
Tebal: 122 hlm, 20 cm
Cetakan: 1, April 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Sulit rasanya bersukacita jika membaca cerpen-cerpen Linda Christanty yang dikumpul dalam buku bertajuk Rahasia Selma. Ia mengulang kembali apa yang ia lakukan dalam kumpulan cerita perdananya, Kuda Terbang Maria Pinto- yang meraih penghargaan buku fiksi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2004. Mengusung kesedihan sebagai bagian kehidupan manusia yang kerap kali begitu dominan. 


Pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak bukan tema yang baru di dunia fiksi kita. Pohon Kersen memang menjabarkan kecintaan seorang anak –perempuan?- pada pohon kersen. Namun yang ingin diangsurkan Linda adalah pelecehan seksual yang dilakukan orang yang sudah dianggap keluarga, dengan jalan mengiming-imingi si anak yang hobi baca dengan komik-komik. Yang mengherankan, walau keluarga tampaknya tahu apa yang terjadi, masalah pelecehan seksual ini tidak memberi dampak kemarahan yang signifikan. Cerita mengalir begitu saja, apa adanya, mungkin karena anak-anak yang berkisah. Kendati tidak menjadi fokus cerita, Linda masih memunculkan pelecehan seksual dalam cerpen Rahasia Selma dan Kupu-kupu Merah Jambu. Dalam Rahasia Selma pelakunya guru olahraga, sedangkan dalam Kupu-Kupu Merah Jambu seorang guru mengaji.

Keluarga disfungsional juga masih menjadi tema pilihan Linda. Tema ini meraja dalam kumpulan cerita Kuda Terbang Maria Pinto. Antara lain terdapat dalam cerpen Makan Malam, Lubang Hitam, atau Rumput Liar. Sekarang ditampilkan Linda lewat Menunggu Ibu, Rahasia Selma, dan Para Pencerita. Menunggu Ibu digulirkan dari seorang perempuan bernama Pia. Ia tinggal bersama ibunya yang tidak waras. Setelah ibunya nyaris bunuh diri, Ayah Pia meninggalkan rumah. Rupanya ibu mencintai lelaki lain tetapi tidak bisa menolak saat pernikahannya diatur ninik mamak. Akibatnya, keluarganya hancur, kedua anaknya tercerai, dan keapesan datang beruntun membentuk kenangan pahit. Jika belum merasa gundah membaca cerpen ini, simak cerpen Para Pencerita yang pernah dimasukkan dalam kumpulan cerita pendek Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya (Demos, Januari 2010). Berseting Aceh –tidak disebut tetapi tersirat dalam narasinya, Para Pencerita menguak kenangan tidak terlupakan dari benak Fahmi. Tidak jelas dari mana Fahmi datang untuk melihat rumah dan taman keluarganya yang rusak dan terbengkalai. Namun dengan memikat, dari perspektif Fahmi, Linda mengumbar kesedihan demi kesedihan yang telah melanda keluarga Fahmi. Kerinduan itu tidak pernah pudar, tidur di atas ranjang di kamar tamu mendengar percakapan para pencerita: ibu, kedua kakak perempuannya, bibi, dan Wak Nur. Dalam kesedihan Fahmi, kenangan para pencerita menghamburkan kejenakaan seperti terlukis dalam kalimat ini:  "Tidur dengan mereka tidak hanya membuatnya menyadari kekuatan kata-kata dan sihir rahasia terpendam, juga menanggung gatal-gatal di kepala. Kutu-kutu rambut mereka terbang, berloncatan, bermukim, dan berbiak di kepalanya dengan riang gembira, seperti pencari emas menemukan tambang baru." (hlm. 84).

Membaca Rahasia Selma memang tidak akan sama kesannya dengan kedua cerpen tadi. Selma yang masih cilik tidak tersapu badai kesedihan saat ayahnya yang gemar berselingkuh mendadak mati. Ayahnya memang jarang berada di rumah. Sebagian besar waktu Selma dihabiskan bersama ibunya, seorang pelukis. Selma hanya mendambakan suasana rumah yang ramai, jadi ia tidak keberatan mesti tidur sendiri ketika Tante Bona dan Om Sampah menginap di kamar ibu. Yang penting, mereka membuat rumah menjadi ramai. Ia belum tahu, ibunya seorang biseks, bisa tidur dengan Tante Bona sekaligus dengan Om Sampah.

Tema LGBT rupanya masih menjadi favorit Linda. Selain dalam cerpen terkini, Rahasia Selma, kita bisa temukan dalam cerpen berjudul Mercusuar. Sebelumnya, cerpen ini pernah dimasukkan dalam antologi cerpen LGBT, Rahasia Bulan (2006). Mengambil secara samar-samar latar seputar peristiwa Mei, Linda menggenjot kehidupan seorang lesbian berdarah Cina bernama Hana. Ia meninggalkan kekasihnya, Chen, bercinta dengan Naida, istri orang, kemudian hidup bersama seorang sejarawan; semuanya lesbian. Dari lesbian tidak setia, Hana menjadi lesbian traumatis. Kegetiran trauma yang dialami Hana diperbandingkan Linda dengan harum tubuh si sejarawan: "Harum tubuhnya mengikutiku ke mana-mana, seperti kenangan. Dan kenangan akan aroma sama seperti trauma, selalu tersimpan lama, sayup, dan bangkit memenuhi benakmu oleh satu peristiwa tak terduga, seperti dampak sengat listrik voltase rendah. Tiba-tiba terasa ngilu di jantungmu ketika kotak ingatanmu terbuka. Kamu laksana mobil parkir, yang bisa melaju lagi saat urusan sang tuan sudah selesai. Tuanmu kali ini: kenangan." (hlm. 49). Kisah lesbian bernasib sial –walau berbeda akhirnya, pernah diangkat Linda dalam cerpen Lubang Hitam (Kuda Terbang Maria Pinto).

Mengulang Balada Hari Hujan (Kuda Terbang Maria Pinto), Linda mengangkat kembali cerita tentang waria, yang diolok-olok tetapi diincar pria hidung belang, yaitu dalam cerpen kriminal Kupu-kupu Merah Jambu. Linda tidak secara langsung dan terang-terangan menyingkap identitas seksual si kupu-kupu bersayap merah jambu. Untuk mengetahuinya –sehingga cerita bisa dinikmati, pembaca mesti mencermati narasi Linda.

Kesedihan sudah pasti menjadi sandaran cerpen berjudul Kesedihan. Dengan narasi yang menghanyutkan, Linda mengisahkan tentang sepasang suami-istri India (?) yang sudah tua, menerima kehadiran perempuan lain di rumah mereka, untuk tidur bersama si lelaki, dan diam-diam meremukkan hati si perempuan. Ceritanya biasa saja, tetapi dengan kecakapannya menuturkan kesedihan, pesona Linda tidak meluntur. Jazirah di Utara juga menggelontorkan kesedihan dalam pameran kalimat indah dan puitis. Di dalam kebersahajaannya, cerpen ini terasa kaya. Bagi si perempuan, yang dari sudut pandangnya cerita mengalir, lelaki yang bercinta dengannya pada malam kematian ayahnya, adalah jazirah yang membentang dalam pikirannya. Ia tahu hubungan mereka tidak akan dikukuhkan dalam rumah pernikahan sebagaimana orangtuanya, tetapi ia juga tidak mau merespons kehendak ayahnya untuk menikahi lelaki yang akan menjadi pusat kepatuhannya sekaligus sumber kutuk atau berkat atas kehidupannya. Kesedihan masih tidak bisa ditanggalkan dari cerita yang paling singkat dalam kumpulan ini, Ingatan. Cerpen ini hadir sebagai ungkapan seorang almarhum panyair yang ditujukan kepada anaknya, tentang kematiannya yang disebabkan oleh puisi-puisinya. Singkat, tetapi tidak kosong.

Drama, cerpen ketujuh dari sebelas cerpen yang ditampilkan Linda, mencoba sedikit menggebah kemuraman dalam kisah-kisah kelabu yang sudah disebut, tetapi tidak cukup sukses. Di sini kita bisa menemukan 'drama' kehidupan seorang pengacara nekat mata bakul, yang karena sok paham hak asasi, membesut drama beraroma politik sendiri. Cerpen ini tidak terlalu meninggalkan kesan, kecuali dua ungkapan di dalamnya, soal kandung kemih yang bertentangan. Ketika si tokoh ingin pipis, pertama kali ditulis begini: "Kandung kemihnya terasa gembung. Di mana toilet umum?" (hlm. 72), kemudian ketika ia ingin pipis lagi, ditulis begini: "Kandung kemihnya sudah kempis lagi. Untunglah ada toilet umum dekat kafe."(hlm. 79).

Menutup kumpulan cerita ini, Linda yang juga telah menerbitkan kumpulan esai dan reportase bertajuk Dari Jawa Menuju Atjeh (KPG, 2009), menghadirkan cerpen berjudul Babe. Mungkin mampu mengguyur secukup kesesakan berlarat-larat yang timbul dari cerita-cerita sebelumnya. Kali ini, Linda mengambil dunia maya (internet) sebagai lahan aksi dua tokoh yang tidak pernah bertemu langsung. Mereka menjalin hubungan di sebuah ruang bicara, bercinta, menikah, dan punya anak yang pada umur tiga tahun diculik. Ceritanya mengalir ceria seolah benar-benar terjadi, padahal isinya maya seperti dunia tempatnya lahir. Bahkan nama asli, mereka pun tidak saling tahu.

Linda di dalam Rahasia Selma masih sama dengan Linda dalam Kuda Terbang Maria Pinto. Ia masih mengasyiki tema kemanusiaan, masih gesit berkelit dari realisme bertendens. Ia masih menghanyutkan dengan ketangkasan yang menghasilkan rangkaian kalimat indah dan puitis. Ya, Linda masih seperti yang dulu. Tiada kebaruan yang ia suguhkan, tema maupun teknik bernarasi. Namun apa mau dikata, seperti yang disampaikan seorang pengkhotbah dalam buku sucinya: Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (Ecclesiastes 1: 9). Jadi? Biarkan saja Linda Christanty terus berproduksi, sama seperti pengarang lainnya. Barangkali, kali berikut, kita akan dibuatnya lebih banyak bersukacita. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan