13 February 2012

Aggelos


Judul Buku: Aggelos
Pengarang: Harry K. Peterson
Penyunting: Nuraini Mastura
Desain sampul: Kebun Angan
Tebal: 515 hlm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Mizan Fantasi






Malaikat (Yunani: Aggelos) yang menjelma menjadi manusia bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia fiksi. Harry K. Peterson, pengarang usia muda, mengusung tema ini dalam novelnya yang bertajuk Aggelos. Kata sahibulhikayat, sebuah kotak musik dicuri dari altarnya di Surga. Salah satu malaikat bertekad tidak membiarkan pencurinya meloloskan diri. Ia hampir berhasil ketika sebuah anak panah menembus jantungnya. Si malaikat terjerumus ke bumi bersama kotak musik yang jatuh dari tangan si pencuri.

Syahdan, malaikat yang jatuh ke bumi itu menjelma sebagai remaja pria bernama Slaven Dulton. Ia bersekolah di Te Anau International College, Selandia Baru,  dan menjadi buah bibir di kalangan anak gadis. Slaven tertarik pada Viola Mondru, balerina yang kerap mengajaknya bersilat lidah. Viola sedang mencari pengiring pribadi agar bisa mengikuti kontes balet yang akan diadakan di Celeste Pons, tempat berkumpul para balerina di Selandia Baru. Saat hampir putus asa, Viola mendengarkan permainan biola Slaven yang amat memukau. Slaven bisa memainkan musik yang pernah didengar Viola dari sebuah kotak musik, yang ia yakini, dalam mimpi.

Menjadi balerina yang bisa menari di tempat yang menjadi saksi percintaan Mary dan James, pasangan penari yang dikaguminya, sudah merupakan obsesi Viola. Tahun sebelumnya ia gagal mengikuti kontes karena kakinya terkilir. Padahal demi Celeste Pons, Viola rela membuang kesempatan pindah ke Paris bersama orangtuanya. Keputusan Slaven untuk mau mengiringnya disambut Viola dengan antusias. Satu hal yang membingungkannya, Slaven mengindikasikan ketidaksukaannya pada Daniel Scoot, kekasih Viola. Tidak jadi masalah bagi Viola, yang penting ia bisa mengikuti kontes balet. Namun, berdekatan dengan Slaven dan menikmati kepeduliannya yang sinis tak urung membuai Viola. Tanpa bisa dicegah, ia jatuh cinta dan ternyata mendapatkan balasan setimpal. Perasaan mereka mungkin tidak menjadi persoalan kalau Slaven Dulton manusia biasa.

Di bumi yang oleh penghuni Surga disebut Dyfed, Slaven yang kehilangan ingatan tengah mengemban misi penting. Ia mesti menemukan Jovett –nama kotak musik, yang hilang dan bersaing dengan Zuiver, malaikat sesat yang juga menginginkan Jovett. Jika ia kalah dan Zuiver mendapatkan Jovett,  tidak terelakkan lagi, malapetaka gigantis akan terjadi. Sebenarnya Cupid alias Elsker telah berusaha menggusah Zuiver dengan melontarkan sepasang anak panah bertuah. Sayangnya llyr-nya meleset; satu menembus jantung Slaven yang lain menghunjam jantung Viola. Kegagalan Cupid tidak saja menghilangkan Jovett, tetapi juga mendatangkan masalah monumental. Slaven dan Viola terbuhul cinta terlarang, padahal Aggelos tidak mungkin menjalin cinta dengan Dyfed.

Pertanyaan yang akan mengeriap di benak pembaca adalah yang manakah Zuiver di antara karakter-karakter yang bertebaran? Mungkinkah si tampan Signore Vecchia, guru seni baru, yang melarang hubungan Viola dan Slaven? Ataukah salah satu anak muda yang bersekolah bersama-sama Viola dan Slaven di Te Anau International College? Tampaknya pengarang mengandalkan resep klasik yang tidak pernah usang: si jahat biasanya paling pintar memalsukan penampilan.

Aggelos adalah novel perdana Harry K. Peterson. Berseting Te Anau, kota kecil cantik di Selandia Baru, di mana Suku Maori memegang keyakinan sebagai keturunan dari hasil percintaan terlarang Dewa Langit dan Dewi Bumi, pengarang menggelontor kisah fantasi yang menginternasional. Dengan menenun bersama-sama unsur mitologi, keagamaan dan seni, ia berhasil menghasilkan cerita bermodal kekuatan imajinasi yang memesona kendati tidak tergolong baru. Masih ditemukan kalimat-kalimat yang menuntut penyiangan agar tampil lebih bersih dan mengilap. Namun harus diakui bahwa sesungguhnya Harry cukup terampil dalam segi permainan kata. Keunggulan Harry yang lain tampak dalam menghadirkan dialog. Lebih banyak mengandalkan bahasa Indonesia yang baik, tetapi kelenturannya terjaga, dialog-dialog tetap tampil segar dan berbobot. Dari seluruh aspek penulisan, penetasan gagasan, dan pemetaan konflik yang memadai, kita bisa berharap pengarang yang satu ini akan menelurkan novel berikut yang tidak kalah seru. Dalam buku ini, disebutkan, ia sedang menulis sekuel Aggelos.

Kemahiran Harry membangun latar belakang karakter patut disanjung. Ia mendedahkan Surga sebagai wilayah yang diatur hierarki, ada Eligos dengan para malaikat yang memiliki fungsi khusus. Dalam dunia Kristiani, misalnya, Tuhan dipercaya memiliki banyak malaikat. Ada serafim bersayap enam, kerubim yang mengawal tabut perjanjian, ada juga penghulu malaikat seperti Gabriel dan Mikhael. Lucifer yang memberontak adalah malaikat pemimpin pujian yang berdiri di dekat arasy. Di sini, Harry menciptakan dua kategori malaikat, Sprixie dan Quierro (mungkin dalam sekuel akan dimunculkan kategori anyar). Slaven Dulton termasuk golongan Quierro, malaikat tingkat dasar, tidak punya status dan kekuatan serta tidak bisa terbang. Golongan Sprixie yang arasnya di atas Quierro bisa terbang, memiliki kekuatan dan pelbagai kemampuan seperti main musik dan memprediksi masa depan. Tidak mengherankan yang menjadi pemimpin pujian atau Orpheus adalah malaikat golongan Sprixie. Antagonis dalam novel, Zuiver, adalah salah satu Sprixie. Pengarang memiliki alasan kuat sewaktu menggambarkan Slaven dari kategori Quierro bisa terbang dan bermain biola: berada di bumi, Slaven mengalami transformasi, dari Quierro menjadi Sprixie. Sebagai pelengkap, Harry meminjam Cupid dari mitologi Yunani. Sosok bayi bersayap yang membawa panah ini menjadi salah satu karakter penting.

Keterbiasaan pengarang dengan dunia anak muda yang didedahkannya dalam novel membuat cerita memiliki bonafiditas yang tinggi. Ia, misalnya, tanpa keraguan mengurai pengetahuan tentang balet dengan mengimbuhkan istilah balet dalam narasi. Namun yang paling mengesankan adalah keberhasilannya berkisah menggunakan sudut pandang orang pertama melalui Viola, seorang remaja putri. Kendati lelaki, ia bisa menampakkan kedalaman penjiwaan karakter Viola. (Maafkan saya karena sempat mengira Harry K. Peterson hanyalah pseudonim seorang pengarang perempuan).

Penggunaan perspektif orang pertama, bagaimanapun, memiliki keterbatasan. Mungkin, sesekali pengarang perlu mengalihkan cerita ke perspektif orang ketiga, seperti ketika ia menceritakan pertarungan kedua Sprixie dalam memperebutkan Jovett (bab 23). Saya percaya, pertarungan dengan porsi sedikit lebih banyak –tidak sampai berlebihan- akan membuat novel ini lebih bersinar.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan